BAGIAN 5

310 26 0
                                    

Rangga dan penjaga rumah kepala desa itu belum sampai di tempat kediaman Ki Wangsa, namun sudah berpapasan dengan seorang perempuan setengah baya. Wajahnya cantik. Dan didampingi se­orang perempuan tua. Ketika telah beberapa tombak, laki-laki yang berada di sebelah Rangga menjura hormat.
"Nyai.... Aku telah membawa pemuda ini. Kenapa Nyai sampai keluar begini jauh."
"Terima kasih, Patijan. Kau di sini saja bersama Mbok Jayeng. Aku ingin bicara sebentar dengannya. Ingat! Jangan ceritakan hal ini pada suamiku!"
"Baik, Nyai," sahut kedua orang itu bersamaan.
Perempuan setengah baya itu kemudian berpaling ke arah Rangga, lalu tersenyum getir. Kemu­dian tubuhnya membungkuk, memberi salam penghormatan.
"Aku Nyai Wangsa, istri Kepala Desa Watu Jajar."
"Ya.... Aku pun telah tahu dari Patijan. Namaku Rangga, Nyai," sahut Rangga sopan.
"Rangga, aku ingin meminta pertolonganmu. Apakah kau bersedia?" tanya Nyai Wangsa.
"Pertolongan apa gerangan, Nyai?" tanya Rangga heran.
"Orang-orang desa mengatakan kalau kau adalah pengacau. Tapi aku tahu kalau sesungguhnya kau ingin berbuat baik pada kami. Sebenarnya, me­reka hanya takut akan malapetaka yang akan menimpa jika bercerita pada orang luar. Sebab, hal itu seringkali terjadi. Bagi siapa saja yang menceritakan kejadian di desa ini pada orang luar, tak lama ke­mudian kedapatan tewas. Sehingga, tak seorang pun yang berani membuka mulut. Terlebih-lebih suamiku yang menjabat kepala desa ini, ikut andil di dalamnya," jelas Nyai Wangsa lirih.
"Nyai, aku tak mengerti maksudmu...," kata Rangga, ragu mengutarakan kecurigaannya.
"Hm, ya. Aku sadar. Kau tentu curiga, karena aku istri kepala desa bukan? Ketahuilah. Aku telah lama menentangnya. Tapi, dia tak peduli. Dan lagi pula, aku tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki keadaan di desa ini. Aku hanya seorang perempuan lemah" sahut wanita setengah baya itu lirih.
Rangga diam memperhatikan, seolah mencoba meyakini kebenaran kata kata wanita itu.
"Tolonglah kami, Rangga. Tak seorang pun warga desa ini yang mampu menolong dirinya sen­diri. Lepaskanlah kami dari belenggu yang tak mampu kami buka. Untuk saat ini, hanya kaulah satu-satunya harapan yang bisa menolong kami...." lanjut Nyai Wangsa.
"Nyai, aku akan berusaha semampuku. Yang penting berdoalah semoga aku berhasil. Nah! Tolong ceritakan, apa yang kau ketahui mengenai dewa gadungan itu," sahut Rangga dengan suara pelan.
"Hm.... Betul dugaanku. Ternyata kau pun sependapat kalau dewa itu memang gadungan. Namanya, Datuk Kraeng. Dia seorang tokoh hitam yang berkepandaian tinggi. Saat ini, orang itu sedang mempelajari ilmu hitam yang dahsyat sekali. Kau harus mencegahnya, sebab akan semakin ba­nyak korban yang berjatuhan!"
"Dari mana kau mengetahui semua itu?"
"Patijan itu orang kepercayaanku. Dan dia kusuruh menguntit suamiku, ketika sedang pergi ke rumah kakaknya."
"Lalu?"
"Ternyata, dia dan kakaknya sama saja! Mereka berkomplot!" dengus wanita itu geram.
Rangga memandang heran, dengan kening berkerut dalam.
"Siapa yang kau maksud dengan kakak suamimu, Nyai?"
"Siapa lagi kalau bukan Ki Ageng Sukoco!"
"Ki Ageng Sukoco? Siapa dia?" tanya Rangga, semakin heran.
"Ah, maaf Rangga. Tentu saja kau tak tahu, karena bukan orang sini. Ki Ageng Sukoco adalah Ketua Perguruan Kelabang Emas yang sangat terkenal dan ditakuti seluruh penduduk Desa Watu Jajar," jelas Nyai Wangsa seraya menunjuk letak perguruan yang berada di sebelah timur desa.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan itu.
"Ada hal lain yang perlu kau ketahui, Rangga..."
"Apa itu?"
"Dewa gadungan itu tidak hanya sekadar meminta korban. Mereka, melalui Ki Ageng Sukoco, berdagang benda terlarang di desa ini. Benda keparat itulah yang membuat penduduk Desa Watu Jajar sengsara, lemah, dan tak berdaya. Semangat mereka mati, sehingga mudah diperbudak," jelas Nyai Wangsa.
"Benda apa itu, Nyai?" tanya Rangga, semakin ingin tahu.
"Candu! Desa ini telah dipenuhi pemadat yang membuat pikiran sehat terlena," jelas Nyai Wangsa lagi.
"Astaga! Sungguh keji perbuatan mereka. Orang-orang seperti itu tak bisa dikasih hati!" geram Rangga.
"Rangga, bersungguh-sungguhkah kau ingin menolong kami?"
"Nyai, aku berjanji! Mereka tak akan kubiarkan begitu saja menyengsarakan orang banyak!" tegas Rangga.
"Tapi..., ada satu permintaan lagi," tambah wanita setengah baya itu sambil memalingkan wajah lesu.
"Apa itu?"
"Kalau kelak suamiku ikut terlibat, aku mohon jangan celakakan dia. Sebetulnya, dia bukan orang jahat..,," lirih suara Nyai Wangsa.
Rangga diam tak menjawab
"Rangga! Kau bersedia bukan, memenuhi permintaanku itu...?"
"Aku akan berusaha mengingatnya, Nyai..."
"Terima kasih. Kalau begitu, kami permisi dulu..." ucap Nyai Wangsa.
"Nyai, awasss...!" teriak Rangga.
Mendadak Pendekar Rajawali Sakti melesat ke arah wanita itu sambil mendorong tubuhnya. Hingga, wanita itu jadi terjajar beberapa langkah ke samping. Pendekar Rajawali Sakti lalu bergerak cepat, mengibaskan kedua tangannya ke depan. Dan.... Tap! Tap!
Wanita itu tersentak kaget dengan apa yang dilakukan Rangga, namun segera menyadari ketika beberapa bilah pisau menyambar ke arahnya. Kalau saja pemuda itu tak mendorongnya, niscaya pisau-pisau itu akan menembus tubuhnya!
Rangga telah menangkap dua bilah pisau yang tadi melesat, lalu setelah itu dilemparkannya pisau-pisau itu kembali pada sesosok tubuh yang hendak melesat pergi dari sebuah cabang pohon yang tak begitu jauh dari tempat mereka bicara tadi.
Wesss...! Wesss...!
"Hiyaaa...!"
Orang berpakaian serba hitam itu langsung berjumpalitan menghindari serangan balik Pendekar Rajawali Sakti. Tapi pada saat itu Rangga telah me­lesat cepat ke arahnya sambil mengirim pukulan jarak jauh lewat telapak tangan kanan.
"Heaaa...!"
Bukkk!
"Uhhh...!"
Tubuh orang berpakaian serba hitam itu kontan terlempar ke bawah sambil mengeluh kesakitan, be­gitu kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti meng­hantam dadanya. Dia terus bergulingan, kemudian langsung melenting bangkit berdiri. Pada saat yang sama, Rangga kembali melesat sambil melepaskan pukulan ke arah dada. Dengan gerakan mengagumkan, laki-laki berbaju serba hitam itu mengibaskan tangan kiri untuk menangkis, seraya mengayunkan satu tendangan keras.
Plak!
Sebuah benturan keras terjadi. Namun, tidak ada seorang pun yang terpengaruh oleh benturan itu. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti juga cepat menghindar ke samping untuk menghindar dari tendangan. Tubuhnya lalu berputar cepat, menga­yunkan tendangan setengah lingkaran ke pinggang lawan. Namun orang berpakaian serba hitam itu te­lah melompat ke belakang, sehingga terhindar dari nasib sial. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti terus melenting mengikuti. Agaknya, pemuda itu kali ini tak mau melepaskan lawannya. Bahkan tangannya cepat menyodok dada, sedang orang itu menangkis dengan tangan kiri.
Plak!
"Uhhh...!"
Tapi pada benturan kali ini, orang berpakaian serba hitam itu mengeluh kesakitan. Dan Rangga tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Tangan kirinya cepat bergerak, menotok jalan darah di tubuh lawan.
Tuk!
"Akh!"
Orang berpakaian serba hitam itu kontan ambruk ke tanah dengan tubuh tak berdaya. Matanya mendelik garang ketika Pendekar Rajawali Sakti melangkah dan berdiri di hadapannya.
"Pengecut! Bunuh saja aku daripada dilumpuhkan begini!" dengus orang itu geram.
Rangga tak langsung menjawab. Matanya malah memandang ke arah Nyai Wangsa beserta kedua pembantunya. Wajah mereka kelihatan ketakutan sekali. Rangga lalu menghampiri sambil tersenyum kecil berusaha meyakinkan mereka.
"Nyai, percayalah. Aku akan membereskan orang itu. Sekarang, kalian pulanglah. Orang itu tak akan membahayakanmu..."
"Tapi..."
Rangga kembali tersenyum. "Tidak. Aku berjanji, dia tak akan membahayakan keselamatanmu!" tegas Pendekar Rajawali Sakti.
Nyai Wangsa memandang sekilas pada orang berpakaian serba hitam dan bertopeng hitam pula. Kemudian matanya memandang ke arah Rangga sambil mengangguk pelan.
"Baiklah. Aku percaya kata-katamu. Kami permisi dulu. Oh, ya. Sekali lagi, kuucapkan terima kasih atas kebaikanmu mau membantu kami...," ucap Nyai Wangsa.
"Kau tak perlu berkata begitu. Membantu sesama adalah kewajiban setiap manusia. Silakan, Nyai...," sahut Rangga.
Nyai Wangsa dan dua orang yang membantunya segera berlalu dari situ. Langkah mereka tampak terburu-buru, seperti takut ada yang mengawasi. Rangga memandang ketiga orang itu beberapa saat lamanya, sampai ketiganya hilang di ujung jalan. Kemudian kakinya melangkah mendekati orang bertopeng hitam itu, dan kembali berdiri tegak di hadapannya.
"Lepaskan aku, Keparat!" dengus orang itu garang dengan mata melotot lebar.
"Apa yang akan kau lakukan jika kulepaskan...?" tanya Rangga tenang.
"Huh! Aku akan mengadukan wanita itu, biar suaminya menghukum kelancangannya! Baru setelah itu, membunuhmu!"
"Sadarkah kau bahwa aku bisa membunuhmu sekarang juga?" kata Rangga, sambil tersenyum kecil.
"Huh! Lakukanlah kalau memang itu maumu!"
"Membunuhmu adalah persoalan mudah, Kisa­nak. Tapi, itu amat enak bagimu. Kau akan mati dengan cara amat menyakitkan!" ancam Rangga, dingin.
"Apa maksudmu?!" sentak orang bertopeng itu.
"Maksudku begini... "
Rangga tak melanjutkan kata-katanya. Namun tiba-tiba ditendangnya perut orang itu dengan ujung kakinya.
Begkh!
"Aaakh...!"
"Dan begini...!"
Duk!
"Aaakh...!"
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti menghantam dengan tendangan bertubi-tubi, sehingga tubuh orang itu terpental dan terjungkal beberapa kali sambil menjerit kesakitan. Kemudian Rangga menghentikan hantamannya ketika orang itu terlihat mulai megap-megap dan sulit bernapas. Dari mulutnya berkali-kali memuntahkan darah kental.
"Ini baru permulaan. Dan kau akan mendapatkan yang lebih hebat kalau tak memberi tahu orang yang menyuruhmu membunuh wanita itu...," kata Rangga dingin sambil memandang tajam pada lawannya.
"Keparat! Bunuhlah aku! Bunuhlah aku, daripada disiksa begini! Ayo, bunuh aku!" teriak orang itu dengan amarah meluap-luap.
"Bukankah telah kukatakan, kalau hanya untuk membunuhmu adalah soal mudah. Tapi, sebaik­nya nikmati dulu buah hasil dosa-dosamu selama ini!"
Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti berjongkok. Lalu dua buah jari kanannya kembali menotok beberapa jalan darah di tubuh orang bertopeng itu. Akibatnya, orang itu memekik kesakitan, karena aliran darahnya jadi tak beraturan. Maka tentu saja hal itu menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Apalagi, karena dia telah mengalami luka dalam yang cukup parah, akibat hajaran Rangga tadi.
"Nah! Selamat menikmati kematianmu sesaat lagi...," kata Rangga tenang, seraya bangkit dan berjalan meninggalkannya begitu saja.
"Keparat! Hei, mau ke mana kau?! Hentikan perbuatanmu! Hentikan! Aku akan mengatakannya padamu...!" teriak orang bertopeng itu.
"Nah. katakanlah," sahut Rangga tenang sambil berbalik.
"Kembalikan keadaanku seperti semula, baru kukatakan padamu!"
"Hm.... Kau masih mempermainkanku, Kisanak. Kalau begitu, biarlah kau kutinggal saja di sini sampai menemui ajal," sahut Rangga kembali ber­balik.
"Baiklah, akan kukatakan...!"
"Katakan saja, dan jangan berbelit-belit. Siapa orangnya?!" bentak Rangga tanpa berbalik.
"Orang itu..., Ki Ageng Sukoco...."
"Hm, bagus. Kalau begitu, istirahatlah saja di sini dulu!"
Bersamaan dengan selesai kata-katanya. Rangga cepat menghampiri orang itu. Kemudian dikembalikannya aliran darah laki-laki berbaju hitam itu seperti semula. Namun, totokannya tak dibebaskan. Malah, ditambahkannya dengan totokan yang da­pat membungkam suara orang itu. Rangga lalu membawanya ke semak-semak yang tertutup, kemudian meninggalkannya di situ.
"Totokan itu akan membuatmu terbaring di sini seharian lamanya. Dan setelah itu, teman-temanmu akan kuringkus. Begitu juga dengan kau!" kata Rangga sebelum melesat ke satu arah. Sedangkan Dewa Bayu dibiarkannya merumput sendiri.

***

Senja telah berlalu, ketika Rangga tiba di depan pintu gerbang Perguruan Kelabang Emas. Dengan mengendap-endap, Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengintai apa yang terjadi di dalamnya. Perguruan yang halamannya luas dan dipagari oleh jajaran batang kayu rapat-rapat setinggi satu tombak itu terlihat sepi. Di depan rumah terlihat beberapa penjaga saja yang hilir mudik. Dan agaknya mereka mulai tugas jaga malam.
Pendekar Rajawali Sakti lalu melompat ke atas, dan mendarat manis di sebuah cabang pohon di atasnya. Dia terus meloncat dari cabang pohon ke cabang pohon lain, menuju arah samping bangunan utama yang terletak di tengah-tengah halaman. Kini Pendekar Rajawali Sakti telah berada di dalam lingkungan bangunan itu. Di sebelah rumah utama yang besar itu masih terdapat barak-barak tempat tinggal para murid. Rangga terus menerobos masuk sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Dia mendarat di atas genteng, dan langsung merapatkan tubuhnya.
"Hm, sepi sekali. Jangan-jangan mereka te­lah mengetahui kedatanganku...," gumam Rangga perlahan, terus tiarap di atas salah satu atap sebuah bangunan.
Sambil mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara' yang dimilikinya, Pendekar Rajawali Sakti terus mendekati bangunan utama dengan hati-hati sekali. Begitu tiba di bangunan utama, Rangga segera membuka sebuah genteng dan melihat ke bawah. Tak terlihat siapa-siapa. Suasana terlihat sepi, sehingga pemuda itu semakin curiga saja jadinya. Di periksanya ruangan lain, tapi juga hanya terlihat beberapa orang saja. Tak ada satu ciri-ciri pun yang dikatakan Nyai Wangsa tentang orang tua bernama Ki Ageng Sukoco. Pemuda itu tak habis pikir.
Dan kecurigaannya semakin menjadi-jadi saja. Maka dia bermaksud mencari tahu keadaan di tempat itu. Dan tentu saja dia harus menanyai salah seorang murid Perguruan Kelabang Emas. Rangga lalu segera turun dari atap, dengan gerakan tanpa suara. Tubuhnya langsung menyelinap di balik sebuah dinding bangunan ketika salah seorang murid Perguruan Kelabang Emas berjalan mendekati tempat itu. Begitu telah dekat, Rangga cepat melumpuhkan orang itu.
Tuk!
"Ohhh....!"
Begitu orang itu ambruk, Rangga menahan. Lalu Pendekar Rajawali Sakti menyeretnya ke tempat gelap sambil mendekap mulut orang itu.
"Jangan berteriak! Kalau tidak, kupecahkan kepalamu!" ancam Rangga.
Orang itu memelototkan matanya dengan geram. Sementara, tangan kanan Rangga langsung mencekik keras lehernya.
"Aku tak ada waktu! Katakan, di mana Ki Ageng Sukoco?! Atau, kau mampus sekarang juga?!" desis Rangga geram.
"Eeekh... kekh...!"
"Kalau kau mau menjawabnya, cukup memberi isyarat dengan berdiam diri. Tapi kalau kau tak ingin mampus, jangan coba-coba berteriak!" ancam Rangga lagi.
Orang itu diam tak bersuara, sehingga Rangga melepaskan dekapan mulutnya. Namun, cekikan dari belakang leher orang itu tak dilepaskan. Hanya dikendurkan saja sedikit.
"Nah! Katakan, di mana Ki Ageng Sukoco?" "Dia tak di sini..."
"Jadi di mana?"
"Di pantai. Menjemput barang yang datang bersama beberapa orang murid utama..." sahut orang itu.
"Pantai? Pantai apa? Dan, di mana tepatnya mereka berada?"
"Dekat dua buah karang yang tinggi dan besar, serta di tengahnya bolong mirip sarang burung walet. Nama tempat itu, adalah Pantai Walet," jelas orang itu lagi.
"Satu lagi. Siapa yang memberi perintah agar Nyai Wangsa dibunuh?"
"Eh! Aku..., aku tak tahu...."
"Jangan berbohong!" Rangga mengancam dengan mengencangkan cekikannya.
"Ekh...! Hek..., lepaskan dulu. A..., aku tak berdusta...."
"Katakan yang benar!" sentak Rangga kembali mengendurkan cekikannya.
"Sungguh! Aku tak berdusta! Aku sama sekali tak tahu, siapa yang akan membunuh Nyai Wangsa. Ki Ageng Sukoco tak mungkin melakukannya, karena dia adalah adik iparnya sendiri!"
"Keparat! Orang itu mengenakan pakaian serba hitam dan mengenakan topeng hitam pula. Dan dia mengaku, kalau Ki Ageng Sukoco telah membe­ri perintah padanya untuk membunuh Nyai Wang­sa!" geram Rangga.
"Astaga! Itu pasti orang-orangnya Datuk Kraeng! Kisanak! Aku berkata yang sesungguhnya. Ki Ageng Sukoco tak mungkin hendak membunuhnya. Lagi pula, kami tak pernah berkeliaran di desa dengan menggunakan pakaian serba hitam. Itu adalah seragam anak buah Datuk Kraeng...," sahut orang itu, terkejut.
"Hm.... Di mana Datuk Kraeng berada?"
"Di bukit kecil dekat Pantai Walet. Di situ terdapat sebuah goa yang menghadap ke utara. Di sanalah tempat tinggalnya."
"Bagus. Nah, sekarang istirahatlah dulu!"
Tuk!
Rangga cepat menotok urat suara orang itu, sebelum membuka dekapan pada mulut. Dan Pen­dekar Rajawali Sakti cepat melesat menuju Pantai Walet.

***

110. Pendekar Rajawali Sakti : Sekutu IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang