BAGIAN 8

355 20 3
                                    

Di atas sebuah batu besar, tak jauh dari tempat mereka berada, terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Badannya kekar dengan otot-otot menonjol. Wajahnya kasar dan bibirnya tebal, dengan sepasang mata menyorot tajam. Orang itu memakai jubah biru yang tiap tepinya terdapat garis kuning. Rambutnya yang panjang diikat pita merah. Di pinggangnya terlihat sebuah senjata cakra.
"Datuk Kraeng...!" seru mereka yang hadir di tempat itu.
"Ha ha ha...! Kalian sungguh gegabah menganggap enteng Pendekar Rajawali Sakti. Dia me­mang bukan tandingan kalian. Tak heran kalau anak buahku pun tak ada yang mampu menghadapinya!" kata laki-laki yang dipanggil Datuk Kraeng, seraya melompat dengan gerakan indah ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan kakinya mendarat beberapa tombak di depan Rangga.
"Hm... Jadi kaukah Datuk Kraeng, yang mengangkat dirimu sebagai dewa?" desis Rangga, sinis.
"Oh! Rupanya kau pun telah mengenalku. Hm.... Suatu perkenalan yang bagus sekali!" sahut Datuk Kraeng tenang.
"Kisanak! Perbuatanmu sudah di luar batas. Tapi, aku masih berusaha sebijak mungkin. Menyerahlah, atau kau harus mati di tanganku!" lantang suara Rangga.
"Ha ha ha...! Kesombongan Pendekar Rajawali Sakti yang kudengar ternyata memang benar. Tidak tahukah kau, kalau saat ini sedang berada di mana? Kau berada di wilayahku! Dan orang-orang ini, siap merencahmu! Lagi pula, perbuatan apa yang pernah kulakukan sehingga mesti menyerahkan diri," sahut Datuk Kraeng, mengejek.
"Hm.... Dewa macam apa yang bisanya hanya meminta korban gadis-gadis perawan, serta harta benda berharga?" kata Rangga, kalem.
"Ha ha ha...! Aku hanya membiasakan mereka untuk menghisap candu, agar tidak bodoh, malas, dan mempunyai semangat lagi," kata Datuk Kraeng.
"Huh! Kau mencoba lari dari tanggung jawab!"
"He he he...! Sebenarnya, kau salah, Kisanak. Aku tak pernah mengurusi hal sepele itu. Ki Ageng Sukoco-lah yang melakukannya. Sedangkan aku hanya menjaga keamanannya saja."
"Datuk Kraeng! Apa maksudmu?!" sentak Ki Ageng Sukoco.
"Hm... Kau lihat? Bukankah dia marah setelah kedoknya terbuka?" sinis nada suara Datuk Kraeng, sambil melirik ke arah Ki Ageng Sukoco.
"Datuk Kraeng! Jangan memutarbalikkan kenyataan. Kaulah yang semula menawarkan pada kami, untuk mendatangkan barang-barang terlarang itu ke sini! Bahkan kau minta persembahan gadis-gadis desa untuk dijadikan korban dalam memenuhi persyaratan mempelajari ilmu hitam! Dan kau juga yang meminta perlindungan padaku. Lalu, kuminta pada saudaraku, agar melindungimu dari kejaran tentara kerajaan yang akan menangkapmu. Aku tahu, kau adalah buronan kerajaan! Inikah balasanmu terhadapku?" geram Ki Ageng Sukoco.
"Ha ha ha...! Orang tua tolol, kau adalah orang tamak. Aku tak pernah ikut campur hasil keuntunganmu dalam berdagang candu. Malah, aku membantumu mendapatkan keuntungan besar, dengan mendatangkan orang-orang asing itu ke sini. Apakah kau pikir aku berhutang budi padamu?! Huh! Kini, aku tak membutuhkanmu setelah apa yang kuinginkan terpenuhi!" dingin suara Datuk Kraeng.
"Keparat! Aku harus membunuhmu lebih dulu!" sentak orang tua itu.
Sring!
Ki Ageng Sukoco segera mencabut pedangnya, dan melompat menyerang Datuk Kraeng.
"Yeaaa...!"
Datuk Kraeng hanya mendengus sinis. Dan tiba-tiba saja telapak tangannya dijulurkan ke arah Ki Ageng Sukoco.
"Hiyaaa...!"
Werrr!
Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Ageng Sukoco tak mampu mengelak lagi. Dan...
Desss!
"Aaa...!"
Ki Ageng Sukoco menjerit keras ketika tubuhnya terjungkal terhantam selarik sinar kuning yang menebarkan bau busuk ke seluruh tempat itu. Tubuh orang tua itu langsung jatuh ke tanah dan menggelepar-gelepar beberapa saat. Tak lama tubuhnya diam, namun kulitnya mulai mengelupas. Bahkan dagingnya cepat sekali membusuk dan meleleh. Sehingga dalam beberapa saat saja, tubuh Ki Ageng Sukoco tinggal tulang-belulang saja!
"Biadab!" desis salah seorang murid Ki Ageng Sukoco.
"Huh, akan kubunuh kau!" lanjut yang lain sambil melompat menyerang Datuk Kraeng. Tapi Datuk Kraeng telah memberi isyarat pada anak buahnya. Sehingga, beberapa orang berpakaian serba hitam langsung berlompat menghadapi beberapa orang murid Ki Ageng Sukoco. Sementara, Datuk Kraeng sendiri perlahan-lahan kembali melangkahkan kakinya menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak! Setelah mengetahui siapa yang paling bersalah, kau tentu mau melupakan persoalan ini, bukan? Kuharap kita bisa menjadi sahabat yang baik," bujuk Datuk Kraeng.
"Huh! Siapa yang sudi berkawan dengan manusia biadab sepertimu! Datuk Kraeng, menyerahlah! Serahkan dirimu pada kerajaan. Mereka tentu akan mengampuni kematianmu!" desis Rangga.
"Hm... Bicaramu seperti tak memandang sebelah mata sedikit pun padaku. Baiklah. Ingin kulihat, sampai di mana kepandaianmu yang diagung-agungkan orang itu!"
Setelah berkata demikian, Datuk Kraeng bersiap membuka jurus untuk menyerang lawan. Namun belum sempat menyerang Pendekar Rajawali Sakti, saat itu juga terdengar suara ribut ribut. Ternyata banyak orang kini berdatangan ke tempat itu.
"Kawan-kawan! Datuk Kraeng telah membunuh guru kita secara keji dan biadab! Bunuh dia! Cincang!" teriak salah seorang murid Ki Ageng Sukoco, ketika mengetahui siapa orang-orang yang datang itu.
Mendengar berita itu, bukan main kalapnya murid-murid Perguruan Kelabang Emas yang baru tiba di tempat itu. Maka tanpa pikir panjang lagi mereka langsung menyerang Datuk Kraeng dengan kemarahan yang meluap-luap. Sementara, sebagian lagi membantu kawan-kawannya yang terdesak tiga orang anak buah Datuk Kraeng yang memang berkepandaian tinggi.
"Cacing-cacing dungu! Mampuslah kalian, yeaaa...!"
Dengan geram Datuk Kraeng menggunakan senjata cakranya yang bisa berbalik lagi, setelah dilemparkan. Dan cakra itu langsung menghajar murid-murid Perguruan Kelabang Emas.
Cras!
Breeet!
"Aaa...!
Sesaat saja terdengar pekik kematian murid-murid Ki Ageng Sukoco. Mereka kontan ambruk dalam keadaan menyedihkan. Kini darah mulai menggenangi sekitar Pantai Walet.
Melihat keadaan itu tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tak mau berpangku tangan. "Minggir kalian semua...!"
Bersamaan dengan itu pula, Pendekar Rajawali Sakti melompat menyerang Datuk Kraeng sambil menggunakan pedang yang masih dalam genggamannya sejak tadi. Datuk Kraeng terkesiap. Dia tahu betul, bagaimana hebatnya pedang Pendekar Rajawali Sakti. Itulah sebabnya, dia tak mau bertindak gegabah dengan melemparkan senjatanya. Salah salah, senjatanya sendiri yang akan putus dibabat pedang lawan. Datuk Kraeng sengaja terus mengelak dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai taraf sempurna.
Hal itu memang disengaja, untuk mencari peluang yang tepat dalam membalas serangan Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti bukannya tak menger­ti siasat Datuk Kraeng. ltulah sebabnya sedikit pun tak diberikannya kesempatan pada lawan untuk memperbaiki keadaan. Pengalamannya yang telah cukup matang dalam bertarung, membuatnya tak begitu mudah dikecoh lawan. Dan justru dialah yang sebaliknya bermaksud mengecoh, menggu­nakan siasat yang digunakan Datuk Kraeng.
"Hiyaaa...!" Datuk Kraeng membentak nyaring sambil mengerahkan segenap kecepatan geraknya ketika melihat ada peluang untuk itu.
Siiing!
Senjata cakranya melesat cepat, menyambar leher Pendekar Rajawali Sakti. Bersamaan dengan itu, tubuhnya sendiri mengikuti sambil melakukan tendangan menggeledek.
Wut!
"Uts...!"
Pendekar Rajawali Sakti yang telah menduga siasat Datuk Kraeng, gesit sekali mengelak dari sambaran senjata cakra dengan memiringkan kepala ke kiri. Dan dia terus melompat ke samping, menghin­dari tendangan berikutnya yang dilancarkan Datuk Kraeng. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya menghantam pinggang kiri atas Datuk Kraeng. Sementara pedangnya dikibaskan ke belakang, memapak serangan balik senjata cakra yang menderu ke arahnya.
Duk! Trasss!
"Aaakh...!"
Datuk Kraeng menjerit keras begitu pinggangnya terhantam kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti dalam pengerahan jurus-jurus rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Sementara senjata cakra kebanggaannya, terpecah menjadi beberapa bagian, begitu tersambar Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang menahan rasa sakit. Meskipun begitu, dia masih mampu berjumpalitan dan menjejakkan kedua kakinya dengan manis di tanah.
Tapi pada saat itu, tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah melesat ke arahnya. Pedang Pusaka Ra­jawali Sakti telah tersilang di depan wajah, dan ta­ngan kiri memegang mata pedang. Datuk Kraeng mendengus geram, melihat kedahsyatan pedang lawan. Barusan senjatanya terbelah menjadi dua tertebas pedang itu. Dan kini, satu-satunya yang bisa diandalkan untuk menghancurkan lawan adalah pukulan mautnya yang diperdalam selama ini!
"Huh! Kau akan merasakan pukulan Api Neraka Kematianku yang dahsyat tiada bandingannya!" geram Datuk Kraeng buas. Datuk Kraeng langsung menyorongkan telapak tangan kanannya ke depan. Maka seketika dari telapak tangannya melesat selarik sinar kuning yang menyebarkan bau busuk menyengat.
Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi sudah menduga, telah bersiap pula memapakinya. Maka... "Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti nyaring, seraya menyorongkan telapak tangan kiri ke depan, setelah mengusap batang pedang.
Dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti, seketika melesat selarik sinar biru yang mengeluarkan bunyi gemuruh bagai angin topan. Dan sinar itu terus meliuk-liuk memapak pukulan Datuk Kraeng.
Glarrr!
"Aaa...!"
Seketika terdengar jeritan keras, ketika kedua pukulan berlawanan jenis bertemu. Kemudian disusul terpentalnya tubuh Datuk Kraeng ke belakang, saat sinar biru dari pukulan Pendekar Rajawali Sakti masih menyelubunginya.
Orang-orang yang sedang bertarung kontan terkejut mendengarnya. Mereka seketika menghentikan pertarungan, dan melihat tubuh Datuk Kraeng sudah terkapar terselubung sinar biru yang perlahan-lahan memudar. Kemudian, terlihat tubuh tuanya menghitam bagai arang. Mati! Ketika mereka melihat ke arah lainnya, tampak Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak. Perlahan-lahan pedangnya disarungkan kembali ke dalam warangka. Maka seketika sinar biru yang menyilaukan lenyap.
"Datuk Kraeng telah tewas akibat kesombongannya dan kejahatan yang telah dilakukan. Kalian pun akan mengalami nasib yang sama, bila tak menyerahkan diri pada pihak kerajaan!" kata Rangga dengan suara lantang.
Orang-orang itu terdiam sesaat, sambil meman­dang satu sama lain. Namun mendadak saja...
"Kalian semua, menyerahlah! Tempat ini telah dikepung tentara kadipaten!" Mereka semua seketika berpaling ke arah sumber suara. Benar saja. Puluhan orang berpakaian seragam prajurit kadipaten dengan senjata tombak telah mengepung tempat itu. Karena tak punya harapan lagi, mereka meletakkan senjata satu persatu. Pasukan kadipaten itu mendekat perlahan-lahan.
"Kau juga! Buang senjatamu itu...!" bentak salah seorang prarjurit kadipaten pada Pendekar Rajawali Sakti.
Pemuda itu tersenyum.
"Jangan! Dialah yang membereskan orang-orang ini!" terdengar sebuah suara lantang, sebelum Pendekar Rajawali Sakti menjawab.
"Hm.... Kepala Desa Watu Jajar! Kau pun ada di sini!" kata Rangga sinis ketika melihat orang yang berkata lantang.
"Ya.... Maaf, atas sikapku yang keliru selama ini, Kisanak,' ucap laki-laki tua yang tak lain Ki Wangsa penuh penyesalan.
Rangga diam saja memperhatikan orang tua yang kini tengah menundukkan kepala dengan wajah tertunduk malu. Kemudian pandangannya dialihkan pada prajurit-prajurit kerajaan yang sedang meringkus ketiga anak buah Datuk Kraeng serta murid-murid Perguruan Kelabang Emas. Sedangkan Sompong Suchinda dan anak buahnya telah raib dari tempat itu, termasuk juga kapal-kapal mereka. Agaknya ketika terjadi pertarungan tadi, secara diam-diam mereka pergi menyelamatkan diri.
"Secara langsung, aku memang tak terlibat. Walaupun, hal itu kuketahui. Kakakku, Ki Ageng Sukoco adalah orang yang paling berpengaruh dan ditakuti di desa ini. Beliau pula yang memperjuangkan aku menjadi kepala desa. Sehingga, ketika dia datang dan memintaku agar merahasiakan kehadiran seorang buronan kerajaan, aku menyetujuinya saja. Tapi, ternyata yang diminta tidak hanya itu. Dia juga minta izin untuk melakukan perdagangan candu. Tak lama, dia juga memintaku untuk mengatakan pada penduduk, kalau Datuk Kraeng yang juga temannya itu adalah dewa yang harus diberi persembahan. Aku semakin tak berdaya ketika mereka dengan leluasa mengobrak-abrik desa ini, dan berbuat sesuka hati terhadap rakyat..," jelas Ki Wangsa.
"Hm... Lalu, kenapa tiba-tiba kau datang dengan membawa pasukan kadipaten segala?" tanya Rangga.
"Istriku yang memberitahukan mereka..."
"Nyai Wangsa?" lanjut Rangga kaget.
"Ya! Dia telah menceritakan semuanya padaku, ketika aku mengutarakan keprihatinanku, setelah melihat apa yang terjadi terhadap warga desaku ini. Aku sadar, bahwa aku telah membiarkan mereka menderita selama ini..."
Rangga terdiam. Sementara Ki Wangsa pun membisu.
"Kakakku telah menerima dosa akibat perbuatannya. Demikian juga Datuk Kraeng. Terima kasih, Rangga. Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan kalau kau tak membantu kami...," lanjut Ki Wangsa lirih.
"Sudahlah. Semua telah berlalu. Dan mereka yang bersalah telah mendapat ganjarannya. Tugasmu saat ini adalah membenahi rakyatmu. Bertindaklah tegas kalau memang itu benar," ujar Rangga.
"Aku akan mengingat pesanmu itu, Rangga."
Pemuda itu tersenyum kecil, kemudian bersuit nyaring. Dari kejauhan, terlihat seekor kuda hitam tengah berlari kencang ke arahnya. Kuda Dewa Bayu berhenti di dekat kedua orang itu. Dan Rangga langsung melompat ke punggungnya.
"Ki Wangsa! Tugasku di sini telah selesai. Aku mohon pamit dulu. Sampaikan salamku pada istrimu. Dia wanita terbaik yang pernah kutemui. Dia patut jadi contoh wanita-wanita di desa ini. Selamat tinggal!" kata Rangga, sebelum memacu kudanya yang berlari kencang meninggalkan tempat itu.
Ki Wangsa tak sempat menyahut, karena Rangga cepat sekali telah lenyap dari pandangannya. Dia hanya bisa melambaikan tangannya sambil mendesah pelan. "Selamat jalan, Kisanak. Selamat jalan, Pendekar Rajawali Sakti...."
Malam semakin larut. Dan angin mulai berhembus ketika titik-titik embun mulai menetes. Semua orang mulai melangkah pelan, meninggalkan pantai yang membawa sejarah baru bagi Desa Watu Jajar.

***

TAMAT

110. Pendekar Rajawali Sakti : Sekutu IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang