BAGIAN 7

295 22 0
                                    

Sementara itu, cukup jauh dari Pantai Walet, Nyai Wangsa dan dua orang pembantunya tampak berjalan terburu-buru menuju tengah Desa Watu Jajar. Nyai Wangsa bukannya tak khawatir setelah peristiwa percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Kini jiwanya betul-betul terancam. Kalau saja saat itu Rangga tak menyelamatkannya, entah apa jadinya. Mungkin tak dapat bernapas seperti saat ini. Tapi, apakah saat ini jiwanya betul-betul telah aman?
Bagaimana kalau ternyata ada orang berto­peng lain yang mengikuti dan tiba-tiba membunuhnya dari belakang? Wanita itu berkali-kali menoleh ke belakang, kemudian matanya menyapu ke se­keliling selama perjalanannya. Dia bersama dua orang pembantunya memang tengah menuju rumahnya di tengah-tengah Desa Watu Jajar.
"Ada apa, Nyai...?" tanya Patijan yang mengetahui perubahan wajah majikannya.
Nyai Wangsa memandang sekilas, kemudian mengalihkan perhatian ke sekeliling tempat itu lagi. Sementara, Patijan dapat merasakan kecemasan wanita itu. Juga ketika matanya melirik Mbok Jayeng, wanita tua itu pun menunjukkan wajah cemas. Laki-laki bertubuh kecil dan dekil itu meng­hela napas pendek.
"Nyai tak perlu cemas. Bukankah Nyai mempercayai pemuda itu? Dia pasti dapat melindungi kita," hibur Patijan, berusaha meredakan kece­masan hati wanita itu.
"Aku percaya padanya. Tapi saat ini, dia tak bersama kita. Bagaimana kalau tiba-tiba ada manusia bertopeng lain yang menghadang dan mem­bunuh kita semua?" tanya Nyai Wangsa cemas.
Patijan baru menyadari hal itu. Dia terdiam be­berapa saat lamanya. Wajahnya mulai pucat. Dilihatnya Mbok Jayeng yang membisu sejak tadi. Tapi, melihat wajah majikannya yang terus-menerus cemas, dia hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Seolah dia ingin menyalakan keberanian dan mengusir jauh-jauh rasa takut di hatinya.
"Nyai tak perlu cemas. Aku akan melindungimu dari siapa pun yang mencoba membunuhmu!" tegas Patijan, mantap.
Nyai Wangsa terdiam. Tampak sikap Patijan berusaha gagah. Dia terharu, sekaligus tertawa geli dalam hati. Bagaimana mungkin Patijan yang selama ini penakut tiba-tiba saja bisa bicara lantang seperti itu?
"Terima kasih, Patijan. Kau memang baik...," sahut Nyai Wangsa.
"Oalah, Patijan! Lagakmu seperti pendekar saja. Melihat orang mencabut golok saja, kau sudah lari terbirit-birit!" timpal Mbok Jayeng yang sejak tadi diam saja.
"Eee... Jangan sembarangan omong, Mbok! Mbok belum tahu kalau aku punya jurus ampuh yang bisa diandalkan? Nih, lihat!" tangkis Patijan.
Kemudian laki-laki kerempeng itu memperagakan beberapa gerakan. Tapi dasar Patijan memang tak becus apa-apa soal ilmu silat, maka gerakannya kacau-balau dan asal jadi saja.
"Tuh! Hebat, kan?" kata Patijan, setelah selesai memperagakan gerakan-gerakannya. Laki-laki kerempeng itu mengibas-ngibaskan debu di tubuhnya sambil tersenyum-senyum kecil.
Mbok Jayeng hanya mencibir melihat tingkah laki-laki itu. Tapi Nyai Wangsa sepertinya terhibur, meski kecemasan hatinya tak sirna juga. Kim mereka melanjutkan perjalanan, hingga tak lama sudah tiba di rumah yang paling besar dan mewah di desa itu.
Mereka mengendap-endap, masuk lewat jalan belakang. Ki Wangsa agaknya belum kembali ke rumah. Maka wanita itu mengajak kedua pembantunya untuk langsung ke kamar.
"Patijan! Pergilah ke kotaraja. Katakan pada pihak kerajaan kalau desa ini dalam bahaya. Kita tak bisa membiarkan pemuda itu berjuang sendiri, sementara kita diam-diam saja menunggu hasilnya," ujar Nyai Wangsa. Patijan terkejut, langsung memandang wanita itu seolah tak percaya.
"Kenapa? Takut?" tanya Nyai Wangsa.
"Nyai, selama ini tak seorang pun yang pernah berhasil tiba di kotaraja untuk melaporkan keadaan desa kita. Mereka semua tewas di tengah jalan...," sahut Patijan, cemas.
"Hm... Kalau begitu, pergilah ke kadipaten, ceritakan semua persoalan ini pada adipati agar beliau membawa pasukannya ke sini untuk menghancurkan orang-orang itu!"
"Sama saja, Nyai. Ke kotaraja atau kadipaten, tak ada bedanya. Mereka menunggu orang desa mau keluar dari sini di perbatasan. Dan mereka langsung membunuhnya!" jelas Patijan.

"Patijan! Apakah kau selamanya ingin melihat desa kita begini terus? Tak tergerakkah hatimu untuk menolong dan membebaskan desamu sendiri?" tanya Nyai Wangsa mencoba menggugah semangat laki-laki kerempeng itu.
Patijan terdiam dan merenung beberapa saat. "Tapi, Nyai...," desah Patijan terputus.
"Kalau kita berusaha, pasti ada jalan untuk lolos!"
"Bagaimana aku bisa melewati mereka yang berjaga di tapal batas?"
"Bilang saja kalau kau utusan Ki Wangsa yang menyuruhmu pergi ke desa lain!"
"Ke desa lain? Dan..., memakai nama Ki Wangsa? Bagaimana kalau beliau tahu? Oh, Nyai. Aku bisa celaka!" kata Patijan.
"Tenang! Tenang dulu Patijan. Aku akan mengirim surat atas nama suamiku, yang ditunjukkan pada Kepala Desa Sukasari. Dia itu masih ada hubungan saudara dengan suamiku. Katakan kalau isi surat itu bersifat pribadi. Nah! Dengan begitu, kau akan lolos dari pemeriksaan mereka. Kemu­dian, pergilah ke kadipaten. Begitu sampai di sana, laporkan apa yang terjadi di sini Soal surat itu, aku yang bertanggung jawab pada suamiku," jelas wanita itu singkat. Patijan menimbang-nimbang beberapa saat.
"Bagamiana. Patijan? Kau bisa bukan? Aku tahu, semangatmu besar dan keberanianmu hebat. Kau pasti mampu melakukannya," desak wanita itu lagi.
Laki-laki kerempeng itu memandang Nyai Wangsa beberapa saat lamanya. Tak lama, kepalanya mengangguk pelan.
"Aku percaya, kau memang pemuda berani. Tunggulah sebentar. Aku akan menuliskan suratnya. Ingat! Surat itu tak perlu disampaikan. Ini hanya untuk mengelabui para penjaga perbatasan, kalau mereka memeriksamu," Nyai Wangsa mengingatkan.
"Baik, Nyai...."

110. Pendekar Rajawali Sakti : Sekutu IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang