BAGIAN 6

304 24 0
                                    

Pendekar Rajawali Sakti memacu Dewa Bayu bagai dikejar setan saja. Untung saja, kuda hitam itu mampu berlari lebih cepat dari kuda biasa. Apalagi, kuda itu bukan kuda sembarangan. Seekor kuda yang memiliki daya tahan luar biasa! Sehingga tak heran bila sekarang Pantai Walet sudah kelihatan. Kini Pendekar Rajawali Sakti mengendurkan lari kudanya. Dari kejauhan terlihat sebuah perahu layar yang berlabuh di pantai. Dan ketika Pendekar Rajawali Sakti memandang ke sekeliling, tampaklah sebuah bukit yang tak terlalu tinggi. Letaknya memang tak begitu jauh dari karang bolong yang berbentuk sarang burung walet itu.
"Hm... Ternyata murid Ki Ageng Sukoco itu berkata benar. Tapi, aku mesti hati-hati. Jangan-jangan dia berdusta. Bisa saja ketika aku memasuki goa, ternyata sebuah perangkap..." kata Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan laju kudanya, lalu melompat turun dengan gerakan indah. Kemudian kudanya ditambatkan di sebuah pohon nyiur, dan perlahan-lahan mendekati arah pantai. Tampak perahu-perahu kecil di bibir pantai. Beberapa orang juga tengah membongkar isi perahu-perahu, dan membawanya ke atas bukit.
"Hm... Kalau begitu, apa yang dikatakan orang itu ternyata benar. Aku harus bertindak sekarang...!" desis Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti langsung bergerak dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya yang telah sempurna, menuju ke bukit kecil itu. Sementara berbagai macam pertanyaan terus bergayut di benaknya.
"Apakah peti-peti yang dibawa orang tadi berisi candu? Apa benar Ki Ageng Sukoco yang merupakan ketua perguruan silat justru malah meracuni penduduk Desa Watu Jajar dengan candu? Mengapa dia begitu tega?"
Rangga belum bisa menjawabnya. Sementara, kakinya terus melangkah menaiki bukit kecil yang kini menghadang. Namun baru saja Rangga menemukan goa yang dimaksud...
"Heh, siapa kau?!" Terdengar bentakan keras, sehingga membuat langkah Pendekar Rajawali Sakti terhenti.
"Dia pasti memata-matai kegiatan kita di sini! Sebaiknya tangkap dan bunuh saja!" sambut sebuah suara lagi.
Maka mendadak saja dua sosok tubuh langsung melesat ke arah Rangga. Mereka langsung mengayunkan pedang yang ujungnya melengkung. Pendekar Rajawali Sakti terkejut sejenak, lalu buru-buru menundukkan kepala. Maka serangan dahsyat dari dua penyerangnya dapat dihindari.
Untuk beberapa saat kening Rangga jadi berkerut, menyaksikan ilmu olah kanuragan mereka yang aneh. Bahkan sama sekali berbeda dengan yang terdapat di negeri ini. Diperhatikannya jurus-jurus itu secara seksama. Pendekar Rajawali Sakti juga melihat kalau wajah mereka berbentuk agak persegi empat, dengan kedua rahang menonjol. Mereka memakai ikat kepala berwarna merah dan bergaris-garis hijau.
Rompi yang mereka kenakan juga berwarna hijau lusuh. Bagian tepinya, terdapat garis berwarna merah. Sementara mereka juga bercelana pendek, sebatas paha. Kalau diperhatikan, usia mereka masih terhitung muda. Sekitar dua puluh lima tahun. Mungkin karena ditempa oleh kehidupan yang keras, membuat mereka tampak jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya.
"Hiyaaa...!"
Kembali dua buah serangan sekaligus menyambar leher Pendekar Raiawali Sakti. Maka cepat-cepat Rangga menundukkan kepala. Namun salah seorang cepat mengayunkan satu tendangan keras. Akibatnya, Rangga harus memiringkan tubuh untuk menghindarinya. Sementara pada saat yang sama, lawannya yang seorang lagi mengayunkan satu tendangan ke arah dada. Terpaksa Rangga menangkis dengan tangan kiri.
Plak!
"Heh?!"
Pendekar Rajawali Sakti sedikit terkejut ketika merasakan kalau tangannya seperti menghantam besi baja ketika menangkis tadi. Namun Rangga tak bisa terus-menerus terpaku dengan keterkejutannya. Tubuhnya langsung melenting ke atas, ketika dari arah belakang terasakan adanya satu sambaran senjata mengincar punggungnya. Rangga cepat berbalik. Dan tangannya langsung bergerak ke atas, untuk memapak tebasan pada punggungnya.
Plak.
Begitu Rangga berhasil memapak pergelangan tangan orang yang membokongnya, dia jadi terkejut sendiri. Seperti tadi, tangannya seperti menghantam benda keras saja!
"Ha ha ha...! Ayo! Pilihlah sesuka hatimu, bagian tubuh yang kau sukai!" ejek pembokongnya, sambil tertawa keras.
"Heh?!"
Rangga menatap tajam pembokongnya. Pada jarak kira-kira sepuluh langkah, tampak berdiri seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap. Rambutnya pendek dan berdiri kaku. Sepasang matanya agak sipit. Rahangnya yang menonjol, memperlihatkan kebengisannya. Dadanya bidang, dengan otot bertonjolan di balik baju rompi berwarna hijau dan bergaris merah itu. Seperti kedua lawannya tadi, orang ini pun mengenakan celana pendek. Namun, sedikit lebih tinggi di atas lutut dengan ukuran agak ketat. Di pinggangnya terlihat sabuk kulit yang tebal dan berbulu hitam kasar. Di pinggang kirinya terselip senjata yang mirip kedua lawannya tadi.
Ketika Rangga merayapi ke sekeliling, tampak tempat itu telah dikepung. Mereka bersikap tenang, memandang orang yang tadi tertawa mengejek.
"Siapa kau?" tanya Rangga pelan.
"Namaku Sompong Suchinda, kepala perompak dari Negeri Siam. Nah, sekarang giliranmu. Siapa kau, dan apa kerjamu di sini?!" sahut orang yang mengaku bernama Sompong Suchinda dengan suara keras.
"Aku Rangga. Dan aku hanya kebetulan lewat..."
"Ha ha ha....! Jangan coba-coba mengelabuiku, Kisanak. Tempat ini bukan jalan umum yang biasa dilalui orang. Lagi pula, gerak-gerikmu mencurigakan. Orang-orangku tak pernah menangkap orang yang salah jalan sepertimu!"
"Hm... Orang-orangmu? Sejak kapan kau berkuasa dengan menangkapi orang yang lewat di sekitar tempat ini? Dan, apa yang kau lakukan malam-malam begini di tepi pantai, lalu menurunkan barang-barang dari perahu? Kalau bukan sedang menyelundupkan barang terlarang, kau tentu sedang bersiap hendak menggempur negeri ini!" balas Rangga, enteng.
"Ha ha ha...! Kau pintar membalikkan kata-kata, Kisanak. Tapi aku tak tertarik untuk menjawabnya. Yang kutahu, kau telah mencelakakan dua anak buahku. Untuk itu, kau harus mendapat balasan setimpal. Baru setelah itu, kau kuserahkan pada Datuk Kraeng. Terserah, apakah dia akan membunuhmu atau membuangmu ke tengah lautan," kata Sompong Suchinda.
"Bicaramu seperti orang berkuasa sekali, Kisanak," sindir Rangga sambil tersenyum sinis.
"Kenapa tidak? Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka. Dan tak seorang pun boleh menghalanginya!" sahut Sompong Suchinda sambil terkekeh mengejek.
"Ya! Seperti dewa gadungan yang kau sebut Datuk Kraeng itu, bukan?" kata Rangga, bernada mengejek.
"Huh! Aku tak peduli dengan segala kegiatannya! Kedatanganku ke sini hanya untuk berdagang. Dan kalau di sini menguntungkan, kenapa tidak kujalani? Dan kalau ada seseorang yang menguntungkanku, maka kepadanya kami berkawan. Dan se­orang kawan, sudah seharusnya dibela!" sahut Sompong Suchinda enteng.
"Huh! Kalian memang keparat-keparat terkutuk! Hm.... Jadi selama ini kalianlah yang membawa candu-candu itu ke sini, sehingga penduduk Desa Watu Jajar menjadi lemah akalnya," geram Rangga.
"Ha ha ha...! He? Kenapa kau, Kisanak. Agaknya kau tak senang dengan usaha kami? Bukankah ini lebih baik daripada merampok? Lagi pula, apa urusannya dengan penduduk Desa Watu Jajar? Orang-orang Perguruan Kelabang Emaslah yang menyebarkan candu-candu itu. Kami ke sini karena Datuk Kraeng yang memintanya. Kalau kau ingin jadi pahlawan kesiangan, pada Datuk Kraeng dan pada orang-orang Perguruan Kelabang Emaslah urusanmu!"
"Keparat! Kalian memang sama terkutuknya!" bentak Rangga semakin geram saja.
"He! Kau tak perlu marah-marah padaku. Sebentar lagi, kau boleh marah sepuas-puasmu di depan Datuk Kraeng. Itu pun kalau kau mampu menerima hajaranku!" sahut Sompong Suchinda sambil menyeringai lebar.
Setelah berkata demikian, Sompong Suchinda bersiap memasang jurus untuk menyerang lawan. Tapi belum juga ada serangan...
"Sompong! Apa yang kau lakukan di sini?"
Orang asing itu menoleh ke arah sumber suara. Tampaklah seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun. Tangannya menggenggam sebilah pedang yang masih tersimpan dalam warangka. Beberapa orang lagi di belakangnya, tampak berjalan mengiringi.
"Hm... Ki Ageng Sukoco, kau kiranya. Kukira siapa..." sahut Sompong Suchinda perlahan.
"Apa yang terjadi? Dan, siapa pemuda itu?"
"Dia memata-matai kita!"
"Hm...," orang tua itu bergumam sambil memandangi pemuda berbaju rompi putih di depannya. Perlahan-lahan, didekatinya pemuda itu.
"Jadi, kaukah yang bernama Ki Ageng Sukoco?" tanya Rangga dingin.
"Oh! Rupanya kau mengetahui juga diriku! Kaukah orang yang belakangan ini mengacau Desa Watu Jajar? Hm.... Sungguh gegabah berani datang ke sini," tanya Ki Ageng Sukoco, sinis.
"Sungguh hebat bicaramu, Ki. Siapakah sebenarnya yang pengacau? Kau atau aku?"
"Kau pintar bicara, Anak Muda. Tapi, bicaramu justru akan mencelakakanmu. Kau terlalu ingin tahu urusan orang. Maka, kau akan menerima akibatnya," sahut Ki Ageng Sukoco, seraya berbalik. Ditinggalkannya pemuda itu, lalu berpaling ke arah Sompong Suchinda.
"Hm..... Agaknya kau mengenalnya juga, Ki Ageng Sukoco?" tanya Sompong Suchinda.
"Tidak. Tapi, beritanya banyak kudengar belakangan ini. Dia pengacau yang tak boleh diberi hati!" sahut orang tua itu.
"Ha ha ha...! Aku mengerti. Kau pun tentu berurusan dengannya, dan ingin menggunakan tanganku untuk menghajarnya. Tentu saja, tawaran ini kuterima, Ki Ageng Sukoco. Mudah-mudahan kau bisa melampiaskannya, setelah dia menjadi bangkai!" sahut Sompong Suchinda.
Ki Ageng Sukoco hanya tertawa kecil. Sedangkan Sompong Suchinda sudah melangkah mendekati Rangga dengan wajah keras dan sorot mata tajam.
"Rangga! Keluarkan seluruh kemampuanmu, jika tak ingin cepat mampus di tanganku!" ancam Sompong Suchinda, jumawa.
"Sompong! Kau boleh bicara apa saja. Tapi kukira, bicaramu tak lebih dari tempayan kosong," sahut Rangga enteng.
"Kurang ajar! Yeaaa...!"
Sambil membentak nyaring, Sompong Suchinda melompat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Angin serangannya terasa deras dan kuat. Jelas, tenaga dalamnya cukup kuat. Sementara kedua tangannya yang terpentang membentuk cakar, siap mengancam pertahanan Pendekar Rajawali Sakti dalam pengerahan lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
Plak!
Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti menangkis serangan itu dengan tangan kiri. Dan Rangga kembali merasakan kalau tangan lawannya begitu keras bagai baja. Untung saja seluruh tenaga dalamnya dikerahkan ke seluruh bagian tubuhnya. Sehingga, benturan tadi tidak terlalu banyak mempengaruhinya. Dan ketika tangan kiri Sompong Suchinda kembali menghantam bagian dada, tangan kanannya menangkis ke atas.
"Hiyaaa...!"
Plak!
Begitu habis berbenturan, Sompong Suchinda bergerak cepat berputaran sambil mengayunkan satu tendangan keras ke arah perut. Maka, Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke atas, mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kaki kanannya cepat diangkat ke atas, karena tangan kiri lawan cepat menyapu bagian kakinya. Namun tanpa diduga sama sekali, tubuh Sompong Suchinda langsung melenting ke atas. Dan tubuhnya cepat berbalik, lalu meluncur ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mendarat di tanah. Kaki kanan Sompong Suchinda yang berisi tenaga dalam mengincar dada Pendekar Rajawali Sakti. Semen­tara, Rangga tak punya pilihan, selain memapak. Begitu cepat gerakan mereka, sehingga tanpa dapat dihindari benturan keras kembali terjadi.
Blarrr!
"Hup!"
"Yeaaa...!"
Kedua orang itu sama-sama terlempar ke belakang, namun cepat berputar ringan dan menjejakkan kaki di tanah dengan mantap. Sompong Suchinda telah langsung kembali melompat menyerang, dengan satu tendangan menggeledek. Nyaris tendangan itu memecahkan batok kepala, kalau saja Rangga tak cepat menunduk. Begitu Sompong Suchinda menjejakkan kakinya setelah serangannya luput, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa.
Tubuhnya langsung melesat ke arah Sompong Suchinda, dengan kedua kaki bergerak menyilang menghantam kepala. Orang asing itu terkejut bukan main melihat perubahan jurus yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. Maka tubuhnya cepat bergulingan untuk menghindarinya. Dan begitu bangkit berdiri, Rangga sudah melenting dan mencegat di depannya. Langsung diayunkannya satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
Bukan main kagetnya Som­pong Suchinda. Dengan cepat tubuhnya melenting ke atas. Namun Pendekar Rajawali Sakti yang telah membaca gerakannya cepat melesat ke atas pula, membawa sebuah pukulan maut dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali. Sehingga, tangan Rangga sudah berubah merah bagai besi terbakar. Melihat serangan ini, laki-laki bertubuh tinggi besar itu segera merangkapkan kedua tangannya untuk menangkis.
Plak!
Des!
"Uhhh...!"
Tubuh Sompong Suchinda terpental ke atas disertai keluhan kesakitan begitu pukulan Pendekar Rajawali Sakti telak menghantam dadanya. Sayang Pendekar Rajawali Sakti tidak melanjutkan serangannya, seperti ingin memberi kesempatan pada lawan untuk bersiap kembali. Begitu mendarat di tanah, hanya diperhatikannya keadaan laki-laki dari negeri seberang itu.
Sungguh sama sekali tak disangka, kalau Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak begitu cepat. Untung saja Sompong Suchinda mampu mengendalikan tubuhnya, sehingga waktu meluncur ke tanah, kakinya lebih dulu sampai walau agak terhuyung-huyung.
Melihat ketuanya terhuyung-huyung begitu rupa, anak buah Sompong Suchinda segera bergerak hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Tahan...!" cegah Sompong Suchinda, membentak nyaring.
Anak buah Sompong Suchinda seketika menatap ke arah ketuanya, seperti ingin meyakinkan cegahan tadi. Tapi, Sompong Suchinda telah mengangkat telapak tangan kirinya ke atas, pertanda kalau anak buahnya tak boleh menyerang. Kemudian terlihat kakinya melangkah pelan mendekati pemuda berbaju rompi putih itu. Lalu, dia berhenti ketika jaraknya telah lebih kurang tiga langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm... Belum pernah kulihat orang yang mampu menyerang sedemikian cepat, seperti apa yang kau lakukan tadi. Tentu kau bukan orang sembarangan. Siapakah kau sebenarnya?" tanya Sompong Suchinda.
"Aku hanya pengembara yang tersesat. Hm... Kalau boleh kusarankan, sebaiknya pulanglah ke negerimu. Jangan kembali lagi ke sini untuk berdagang barang-barang terlarang itu," ujar Rangga kalem.
Sring!
Nasihat Rangga ternyata dijawab Sompang Suchinda dengan mencabut senjatanya. Dan mata­nya langsung memandang tajam ke arah pemuda itu.
"Kisanak! Aku tak tertarik nasihatmu! Maaf. Nah, sekarang mari kita lanjutkan pertarungan dengan menggunakan senjata. Cabutlah pedangmu!"
"Pedangku tidak pantas berhadapan denganmu," sahut Rangga, enteng.
Dengan kata-kata itu, sama saja Pendekar Rajawali Sakti menganggap rendah lawannya. Maka sudah tentu Sompong Suchinda jadi naik darah. Matanya kian melotot lebar, dan kedua urat di pelipisnya mengembung. Bahkan rahangnya sudah berkerotokan menahan amarah. Hal itu memang disengaja Rangga, untuk membangkitkan amarah lawannya.
"Huh! Aku tak peduli kau bersenjata atau tidak! Hanya perlu diingat, aku tak segan-segan mencabut nyawamu! Jagalah kepalamu! Yeaaa...!"
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Sompong Suchinda berlangsung semakin seru, ketika orang asing itu sudah menggunakan senjatanya yang demikian hebat. Dia mampu membuka pertahanan Rangga. Dan hal itu dirasakan betul oleh Pendekar Rajawali Sakti. Ujung senjata lawan yang melengkung terkadang nyaris membabat lehernya kalau tak cepat menghindar.

***

110. Pendekar Rajawali Sakti : Sekutu IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang