"Turut berduka cita untuk mereka yang kalah sebelum bertempur, dalam sebuah pertempuran perasaan."
***
"... anak saya itu pintar, karena didikan saya. Makanya sekarang dia bisa masuk Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia ...," Bu Dakna bercerita panjang lebar mengenai anaknya.
Memang sudah menjadi kebiasaan para guru, saat mengajar di kelas, pasti akan melenceng ke arah lain saat menjelaskan. Entah menceritakam tentang hidupnya, atau tentang anaknya.
"Capek gue dengerin Bu Dakna nyeritain anaknya mulu," bisik Febi pada Syakilla.
"Gue sampai hapal," balas Syakilla tak kalah berbisik.
"Pengen banget bisa ngerasain bolos kayak yang lain."
"Heh!" Syakilla melotot, "jangan macem-macem, deh. Orangtua lo nyekolahin lo biar pintar, jangan kecewain mereka dengan bolos."
"Ya ampun, Kil. Gue becanda ... lo serius amat." Febi mendengus, "lagian, masa SMA tuh masa yang paling indah. Harusnya, dipake buat seneng-seneng. Bukan flat-flat aja kayak kita, belajar, ikut lomba, belajar, ikut lomba. Bosen."
"Seneng sih seneng, nggak bolos juga kali."
"Atau pacaran sama salah satu cowok terganteng di sekolah? Ah, kayaknya itu juga nggak bakal terjadi di masa SMA gue yang tinggal beberapa bulan ini." Febi menghembuskan napasnya pasrah.
Syakilla terkekeh pelan seraya menggeleng. "Lo mau pacaran sama siapa emang?"
"Cowok ganteng di sekolah kita siapa lagi emang selain anak-anak President?" ujar Febi, "Bima? Nggak mungkin, dia dingin banget. Awan? Lebih nggak mungkin. Venus? Nggak mungkin kuadrat. Antariksa? Nggak mungkin kubik. Marco? Udah lah nggak mungkin, cewek yang sabunnya masih diisi air biar nggak cepet abis kayak gue gini nggak bakal cocok bersanding sama pangeran kayak mereka."
"Lo jangan merendah gitu dong, Feb. Mereka yang ketinggian, bukan lo yang nggak pantes." Syakilla mendengus, ia paling tidak suka jika pembahasan sudah ke arah kasta dan harta.
"Emang gitu kenyataannya, Kil." Febi terkekeh.
Bel tanda pelajaran berakhir telah berbunyi, Bu Dakna menutup pelajaran dan para murid kelas dua belas IPA satu mulai bersiap untuk pulang ke rumah.
"Eh, gue temenin lo nunggu gojek ya, Kil," ujar Febi yang telah lebih dulu membereskan barang-barangnya.
"Hmm, gue latihan tennis, Feb. Jadi, nggak pulang sekarang." Syakilla memasang tampang bersalahnya.
"Yah ... eh, tapi ntar malem lo free, kan?" tanya Febi. Syakilla mengangguk sebagai jawaban.
"Kenapa, emang?"
"Lo lupa? Kan kita mau ngerjain tugas kelompok," ingat Febi. Syakilla menepuk jidatnya, hampir saja ia lupa. Padahal masih muda, namun penyakit lupa sudah merajalela.
"Hampir lupa." Syakilla nyengir. "Yaudah, see you nanti malem. Di apart gue kan, Feb?"
"Hooh." Sahut Febi. Keduanya berjalan berbarengan menuju luar kelas, Febi yang berjalan menuju halte dan Syakilla ke arah lapangan tennis akhirnya berpisah di depan pintu kelas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Scenario : Nefarious (Tersedia di Gramedia)
Teen FictionPernah membayangkan cowok paling keren di seluruh penjuru sekolah tiba-tiba saja membenci kalian tanpa sebab? Itulah yang dirasakan Syakilla saat Marco tiba-tiba membencinya tanpa alasan, bahkan di hari pertama ia menginjakkan kaki di SMA Komet. Bah...