Ara sudah menduga hal ini akan terjadi. Ia sudah mempersiapkan mentalnya sejak lama demi menghadapi datangnya hari ini. Namun, tatapan puluhan pasang mata para ibu-ibu itu berhasil menghancurkan benteng yang sudah susah payah ia bangun, dalam kurun waktu tak lebih dari lima menit.
Bukan mau Ara untuk memiliki tubuh yang besar jika dibandingkan dengan anak lainnya yang berada di sana. Bukan kehendak Ara pula menjadi pusat perhatian dan buah bibir para penggosip. Dan bukan inginnya pula hari ini ia dan Ayah mendaftar sekolah dasar di usia yang sudah menginjak sepuluh tahun.
Memang, berapa usia wajar anak-anak mendaftar sekolah dasar? Enam tahun, kah? Atau mungkin, tujuh? Lalu, bagaimana dengan sepuluh? Apa masih diperbolehkan? Apakah ada undang-undang resmi pemerintah yang mengatur tentang batas usia calon peserta didik?
Tidak ada undang-undang atau ketentuan resmi mengenai itu. Semua sekolah di bawah naungan pemerintah tidak menerapkan batas usia peserta didiknya. Semua bisa bersekolah, semua berhak menuntut ilmu.
Lalu, mengapa Ara mendapat tatapan-tatapan tidak pantas itu? Ada yang sinis, ada yang iba, bahkan ada juga yang mengejek, menertawai terang-terangan, dan mencibir. Sekali lagi, memang apa salahnya anak berumur sepuluh tahun mendaftar kelar satu sekolah dasar?
"Yah, Ara malu. Pulang aja, yuk? Ara sekolahnya tahun depan aja."
Begitu besar dampat sorot mata dan kasak-kusuk para wanita bergincu tebal itu. Mereka tidak peduli, mereka hanya melakukan kesenangan mereka dalam menjadikan presensi Ara di sana sebagai bahan gibahan. Payahnya, anak mereka yang rata-rata berumur enam sampai tujuh tahun justru dibiarkan mendengar, meresapi, bahkan turut buka suara. Bukankah itu terlihat ... miris?
"Udah, gak usah didenger nenek lampir ngerumpi. Kalo kamu nunda lagi, tahun depan makin susah kamunya."
Ayah mengerti betul perasaan putrinya. Dapat dilihat dari raut wajahnya yang muram dan rematan kuat pada ujung rok merah yang ia pakai untuk pertama kalinya hari ini. Merangkul Ara, Ayah berujar santai, "Tenang aja, 'kan ada Ayah di sini."
Ara hanya diam dan mencoba menguatkan hatinya yang rapuh perlahan oleh sorot tidak menyenangkan yang datang dari segala arah. Bahkan ketika tiba gilirannya untuk maju ke loket guna mengumpulkan formulir, mereka mengamati Ara Ayah lekat-lekat seakan-akan kalau mereka lengah sedikit saja, pasangan ayah dan anak itu akan kabur dalam sekedip mata.
"Kalau boleh tahu, adeknya ini, kok, baru daftar?" Wanita berkacamata petugas loket itu bertanya dengan ramah, disertai senyuman manis yang terumbar tulus.
Ayah yang memang dasarnya mudah berinteraksi pun turut mengulas senyum, menepuk-nepuk ubun-ubun Ara beberapa kali, lalu menjawab, "Dia sakit, Bu. Dari kecil sering keluar-masuk rumah sakit, sempat koma juga dua tahunan. Makanya tidak disekolahkan."
Air wajah perempuan itu berubah sendu bersama anggukan kepala. Tampak ada sebersit rasa penasaran di manik kelam itu. Namun, agaknya ia enggan mengajukan pertanyaan lebih. "Adeknya udah bisa baca sama menghitung belum?" Ia bertanya, pandangannya merujuk pada Ara yang sejak tadi tidak berani mengangkat kepala.
"Bisa, Bu. Kami orang tua ajarkan itu di rumah," jelas Ayah, mengambil alih pertanyaan yang tak kunjung dijawab anaknya.
Perbincangan singkat itu membawa Ara dan Ayah ke ruang guru, di mana banyak guru dan staf sedang berkumpul di sana untuk mengurus data-data yang masuk. Mereka melempar pertanyaan-pertanyaan sederhana yang jawabannya menjelaskan tentang mengapa Ara bisa terlambat sekolah. Jawaban yang Ayah berikan berhasil membuat semua mengerti.
Seorang guru mengambilkan sebuah buku cerita dari perpustakaan, judulnya "Kisah 25 Nabi dan Rasul" dan Ara disuruh membaca dengan bersuara. Semuanya mengangguk kala Ara melakukannya dengan baik. Tanda baca, intonasi, dan pelafalan, semua dilakukannya dengan baik. Tak sampai habis satu halaman terbaca penuh, seorang guru menghentikannya dan memberi Ara selembar kertas berisi soal-soal perhitungan dasar; perkalian, pengurangan, pembagian, dan perkalian. Dan lagi-lagi Ara berhasil melakukannya dengan sempurna, benar semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Problematik Sosial
Short StoryKata Emak, zaman sudah edan. Banyak tradisi yang ditinggalkan demi modernisasi. Belum lagi soal toleransi dan simpati-empati yang kian pergi. Sebagai generasi muda, emak melanjutkan, kudu punya pegangan biar enggak tersesat diri. Mengambil tema: 1...