Sama Saja

74 8 1
                                    

Sebulan berlalu, wabah mengerikan terus menghantui seolah-olah manusia telah menemui kiamat. Angka-angka berputar terus naik, ketakutan terus menghantui, kebencian pada mayat yang bahkan sudah tidak lagi hidup, di saat ini empati dan simpati tidak lagi berlaku. Hanya ada keselamatan untuk diri sendiri. Orang-orang tak saling sentuh, menatap sinis pada suara batuk dan bersin. Dunia macam apa yang kini kita jumpai?

Ah, tidak apa. "Manusia tidak semuanya seburuk itu," pikirku. Masih ada orang-orang yang menyerukan kebaikan. Berbagi pada sesama, menyumbangkan makanan pada ojol-ojol yang sepi pelanggan, berbagi masker gratis. Ternyata masih ada, ya? Hanya saja mengapa pikiranku masih jelek? Maksudku, mengapa sampai semua orang mengetahui mereka telah melakukan kebaikan? Postingan-postingan instagram penuh dengan seruan berbagi pada bersama, berfoto riang dengan para pemulung dan ojol. Terasa janggal, tapi mereka telah berbuat baik.

Jangan lupakan postingan para penjual masker, sarung tangan, hand sanitizer, dan disinfektan! Benarkah alasan mereka? Sedangkan banyak dokter dan perawat kesulitan mencari pelindung itu. Katanya, mereka hanya membantu yang membutuhkan. Hm, kupikir cara membantu yang benar dengan tidak menjualnya ke publik, tidak menyebabkan kelangkaan barang. Ah, menyebalkan sekali orang-orang semacam ini. Mengapa mereka masih bisa memikirkan keuntungan di saat mendesak seperti ini, sih?

Semua terasa menyesakkan. Cukup! Kumatikan ponselku. Aku tidak bisa terus bergelut dengan kabar-kabar corona, orang-orang mati empati, ataupun orang-orang pemberi simpati entah tulus atau tidak.

Yah, mungkin dibandingkan dengan aku, mereka jauh mendalami makna hidup. Tidak sepertiku yang masih menikmati kehangatan selimut, padahal jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Semenjak wabah corona masuk, aku sudah memilih mengunci diri di rumah. Menyelesaikan skripsi yang terus-menerus kutunda. Menghujat orang-orang yang menjual masker dengan harga gila, bahkan aku memakai dalih corona sebagai alasan tidak melakukan aktivitas. Hanya saja, bukankah lebih baik aku? Tidak menipu diri berbuat kebaikan, atau juga tidak mencari keuntungan di saat kritis. Setidaknya, aku hanya diam dan mengomentari mereka untuk diriku sendiri. Cukup adil untuk kelakuan mereka.

Ponselku berdenting. Sebuah pesan masuk dari Andri. Ah, ada apa lagi ini? Pasti muncul ide aneh-aneh dari manusia satu ini.

Kamu mau ikut acara bakti sosial minggu depan? Si Clara ngajak, tuh. Muncul dong di grup!

Dan inilah! Terjadilah waktu aku dipaksa keluar rumah, padahal jelas-jelas dilarang keluar rumah. Oke, oke, lihat tuh! Pikiranku jelek lagi, jelek lagi. Orang berbuat kebaikan kok malah dihujat terus.

Pintu kamarku berderit kasar, gesekan dari lantai dan kayu membuat telingaku berdenging. "Kezia, mau di kamar sampai kapan? Kamu gak mandi? Skripsimu gimana? Kapan sidang?" omel mama untuk ke sekian kali. Oke, oke, aku memang berusaha kabur dalam pengejaran menjadi wisudawan.

"Ini lagi kerjain, kok, Ma. Lagi bikin kuisioner. Gak harus di depan laptop kali, Ma," ucapku dengan nada super sewot. Padahal sedari tadi aku sibuk dengan instagram dan update status.

"Beneran? Kerjain, loh! Mama gak mau kamu molor-molor."

"Ini Kezia, Ma, bukan mozarella!" ketusku sembari menutup wajah dengan selimut. Terbungkuslah aku seperti sushi yang siap dipotong.

Mama menutup pintu kamar, mungkin sudah lelah menghadapi aku. Bahkan teman-temanku yang lain sudah berbondong-bondong mendaftar sidang online. Jangan tanya aku, aku masih sibuk dengan bab 2 yang belum kelar-kelar.

Lagi-lagi, ponselku berdering. Kali ini Andri menelpon.

"Apa?" tanyaku tanpa basa-basi 'halo'.

"Ikut bakti sosial, gak?"

"Gak. Sibuk skripsi," balasku.

"Halah! Skripsi juga gak niat gitu. Ikutlah! Daripada di kamar kayak babi guling. Lama-lama berlemak, loh," bujuk Andri yang sama sekali tidak mempan denganku.

"Gak bisa! Corona. Dilarang Mama keluar rumah."

"Ayolah, Kez! Clara butuh banget buat kontennya. Kata dia, temen-temennya yang lain udah pada buat. Nanti dia dijulid kok gak ada aksi empatinya sama sekali."

Bingo! Lagi-lagi, kan? Jadi selama ini semuanya nyata tidak, sih? "Nanti, nanti, aku pikir dulu."

"Kalo gak dijawab aku tanya langsung ke mamamu, ya?" lanjut Andri yang langsung memutus sambungan teleponnya.

Ah, sial. Jangan sampai dia beneran menelpon mama. Buru-buru aku berusaha melepaskan selimut yang membelit tubuhku. Sial, sial, mengapa selimutnya malah membungkus tubuhku.

Kubuang kasar selimut yang sudah membungkus tubuhku sembari berlari menghampiri mama yang entah sedang berada di mana. "Ma!" panggilku yang kutemukan sedang asik memasak di dapur dengan sebelah tangan sedang menelpon seseorang.

"Iya, iya, ini nanti tante suruh Kezia ikut, kok. Gak apa-apa, buat apa tante larang Kezia ikut bakti sosial. Ajak aja. Kapan acaranya? Oh rabu depan? Iya, tante kasih tahu Kezia."

Mama menoleh ke arahku sembari memamerkan ponselnya. "Diajak temenmu Andri, tuh. Pakai masker, pakai baju panjang. Minggu depan acaranya."

"Mama," protesku tidak suka karena mama selalu membuat keputusan seenaknya.

"Sekali-sekali kamu harus tahu rasanya jadi orang yang berjuang hidup mati di saat corona begini. Pokoknya kamu jaga diri, jangan terlalu berdekatan. Kamu buat kebaikan, kok. Bantu orang yang membutuhkan, yang penting niatnya." Mulai deh, mulai, dimulailah acara cermaah pagi yang ingin kuhindari. Aku bersandar di dinding sembari terus mendengarkan ocehan mama. "Kamu enak di rumah, ada papa mama siapin makanan. Coba kamu bayangin kalau jadi mereka? Gak ada corona aja pusing hari ini makan apa, apalagi saat corona begini?"

Ya benar, sih. Omongan mama tidak salah. Hanya saja, aku tidak suka tujuannya. Clara melakukan semua ini demi konten semata.

"Kalau memang temanmu buat acara ini cuma untuk dilihat baik, biarin aja. Asal kamu tujuannya ikhlas. Asal kamu baik dan benar-benar mau membantu. Bukan untuk dilihat orang. Anggap aja dia perantara kamu melakukan kebaikan."

"Ya," jawabku singkat sembari kutinggal melangkah kembali ke kamar.

Yah, mungkin pada dasarnya aku sama saja dengan Clara. Aku hanya mencari alasan dengan tidak mau ikut, hanya karena tidak ingin seperti Clara. Padahal benar kata mama, kalau memang tujuanku berbuat baik, seharusnya aku tidak perlu merasa bimbang dengan yang dilakukan orang lain. Orang lain ya orang lain, aku ya aku. Ah, picik sekali. Ternyata aku tidak ada bedanya dengan orang-orang di luar. Aku sendiri mati empati dan simpati, tapi berusaha berkedok baik-baik saja.

Pura-pura mencaci orang lain dengan kata-kata tidak tulus, menjadikan mereka kambing hitam dalam pikiranku sendiri. Tulus atau tidak, itu bukan urusanku. Toh, mereka mau membantu orang lain. Dibandingkan aku yang hanya bersembunyi di balik selimut. Apa yang dilakukan orang, seharusnya bukan urusanku kalau aku sendiri hanya diam saja. Kalau aku sendiri hanya menghabiskan waktu dengan tidak produktif. Padahal banyak waktu bisa kuhabiskan untuk skripsi, olahraga, berdonasi, tapi aku hanya diam saja. Memang aku seperti lempar batu sembunyi tangan, hanya sibuk menatap sosial media dan mencemooh orang-orang.

-Tamat-

Problematik SosialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang