Coercion

60 13 2
                                    

"Senja? Dah bangun?" suara itu mendekat dengan pelan, disertai langkah kaki yang nyaris tak terdengar.

"Ehh elu, Al. Udah cukup lama sii," jawab Febri sembari mengunyah roti berselai coklat.

"Makan dulu woi, baru ngomong. Tadi gue mau keluar kamar lebih awal, tapi takut lo pada belum bangun," ucapnya menjelaskan.

"Sejak kapan kalimat lo jadi panjang?"
"Hem,"

"Al? Bisa ga si lo ngobrol sama orang lain, kayak lo ngobrol sama kita-kita di rumah. Lo itu asik, tapi kenapa di sekolah nggak?"

"Nggak semua orang bisa terbiasa dengan dunia luar. Banyak orang mungkin ngeliat gue nggak asik, tapi gue selalu ngebuat diri gue asik di depan kalian. Dan gue bakal mempertahankan ini semua," jelasnya dengan ekspresi yakin.

"Lo yang dingin aja banyak yang suka. Apa lagi kalo sikap lo hangat sama mereka." tutur Febri.
"Lo juga suka nggak sama gue? Gue kan nggak pernah dingin sama lo, Nja." Febri tersipu malu dan pipinya memerah.

"Paan sii gajelas banget! Kita kan lagi bahas-"
"Bahas kita?"
"Udah ah mulai ngaur mulu lo, Al"
"HAHA."

Aldhi. Ia selalu meyakinkan Febri, bahwa kehidupan tidak selalu tentang perdebatan dan kekerasan. Ada banyak hal indah lainnya. Kehidupan tidak semua tentang perpecahan, ada kebahagiaan di sela-sela rintangan. Dan Febri harus percaya akan itu.

"Nanti bakal gue ajak kalian ke Danau yang ngebuat hati lo tenang. Gue janji bakal jagain lo, Nja. Karena lo ratu dari pengawal-pengawal bersenjata."

"Kumat lo ah. Jangan ngomong ginian di depan gue mulu. Di depan yang lain napa?"

"Kalimat gini nggak boleh didenger semua orang,"
"Loh kenapa gitu?" tanya Febri spontan.
"Kalimat kejujuran hanya bisa didengar sama orang spesial," jelas Aldhi yakin.
"Emangnya gue spesial?"
"Mungkin, bisa dibilang begitu,"
"Al, gue ga suka kata mungkin,"

Aldhi tersenyum mendengar respon Febri, "Bisa dibilang begitu."

Dering notifikasi WhatsApp membuat Febri buru-buru mengecek ponselnya, melihat pesan masuk. Ia berpikir mungkin teman kelasnya memberi tahu mengenai tugas, namun nyatanya bukan. Ia memalingkan pandangannya sesekali kearah Aldhi, sampai mata mereka beradu pandang.

Febri melihat sebuah pesan yang berisi perintah untuk meninggalkan rumah Bimo segera. Buru-buru Febri membalas pesan si pengirim.

Papa.
Kamu dimana?!
Dirumah temanmu?
Pulang sekarang!

Febri.
Nggak ganggu kehidupan saya sehari aja, bisa?

Papa.
Dasar anak bandel. Kamu itu perempuan, dimana naluri kamu?!

Febri.
HAHA. Mau saya perempuan atau laki-laki apa urusannya dengan anda?

Papa.
Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh pulang selamanya!

Febri.
Lakukan sekarang.

Papa.
Senja?!!

Febri tidak membalas pesan itu lagi. Matanya berkaca. Mengapa orang tuanya begitu memaksa kehidupan yang ia lalui. Apakah ini masih dalam batas wajar? Batinnya.

Ini yang membuat Febri merasa tidak nyaman berada di rumah.

"Paksaan lagi?" tanya Aldhi benar.
"Iya,"
"Kasih tau gue, Nja. Apa yang bisa ngebuat lo bahagia tanpa mikirin beban hidup. Tanpa lo minta, pasti gue lakuin. Asal lo nggak kebawa beban begini,"
"Gue gapapa, Al,"

Jatuh dan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang