4 (Empat)

42 10 3
                                    

"Malam itu kuutarakan sebuah pengakuan. Entah kamu mengerti atau tidak. Entah kamu sadar atau tidak. Yang jelas rasa itu benar adanya." -Aldhi Keyvien Alfarabi.

"Kamu kesini sendirian?"
"Iya."
"Ini bukan Aldhi yang Oma kenal."
"Ini Aldhi, Oma."
"Aldhi yang Oma kenal tidak pernah dingin dengan emosi yang mengendalikan dirinya."
"Hm."
"Kamu harus kontrol emosi itu."
"Iya."
"Aldhi. Lihat mata Oma!"
"Apa?" Oma masih sama dan tidak akan pernah berubah. Dia mengerti tanpa harus dibuat mengerti.

Aldhi sudah lama menunggu hari ini. Hari dimana ia mulai bercerita tentang kerasnya dunia. Menceritakan keluhnya kepada orang terpercaya, Oma. Baginya tidak ada seorangpun yang bisa menggantikan posisi Oma. Begitupun orang tuanya.

Jantung Aldhi berdebar-debar saat bola mata miliknya bertemu dengan bola mata milik Oma. Mata Oma memberi kesan menenangkan. Sampai ia tak sadar, sudah berapa lama menatap mata itu.

"Kamu tidak sekuat itu. Jangan dipaksakan," usapan lembut di bahu dari Oma untuk Aldhi.

Aldhi mengatur napas, matanya masih menatap pada objek yang sama. Perlahan kedua matanya digerakkan, tangannya menyeka muka lambat. Ada beban yang sampai saat ini belum bisa ia tuntaskan.

"Ada masalah?" tanya Oma menaikkan satu alis.

Aldhi menggeleng cepat, berusaha menutupi semua yang ia alami. Oma beranjak dari sofa menuju meja makan yang berkisar beberapa langkah. Sengaja memperlambat langkah yang ia ambil. "Kamu masih mau bohong sama Oma?"

Aldhi berdiri, membuang tatapannya jauh dari Oma. Rasanya sukar bila ia harus menutupi dan berbohong lebih banyak pada orang yang benar-benar mengenalnya. "Aldhi emang nggak bisa bohong sama Oma. Sekarang Aldhi mau beresin semua. Secepatnya."

Kemudian ia pergi, meninggalkan Oma sendiri di meja makan. Terdapat senyum di pangkal bibir Oma saat melihat Aldhi yang sukses meninggalkan rumah. Oma membiarkan Aldhi pergi tanpa menahannya untuk tinggal dan bercerita apa yang sedang terjadi pada kehidupannya akhir-akhir ini. "Kamu tidak pernah berubah, kamu tetaplah Aldhi kecil yang Oma kenal."

🐳🐳🐳

Aldhi mengetuk sebuah pintu berbahan dasar kayu dengan ukiran rumit. Sesekali ia menekan tombol bel, namun tetap sama hasilnya nihil. Tidak ada seorangpun yang membukakan pintu untuknya.

Rumah besar dengan pencahayaan yang memadai. Suasana malam yang sunyi barangkali suara ketukannya tidak terdengar sampai ke dalam.

Aldhi memandang nanar ke arah jendela. Ya itu jendela kamar milik wanita yang ingin ia temui malam ini. Terlihat dari lantai dasar, lampu disana masih menyala. Tanda wanita itu belum tertidur.

Diketuknya lagi pintu besar yang ada di hadapannya. Sekarang lebih beruntal hingga ia merasakan sakit di bagian telapak tangan. Bel rumah sampai berbunyi tanpa jeda karena ditekan secara cepat tak berjeda.

Aldhi mulai kesal, ia berteriak kencang menyebut satu nama hingga urat di leher terasa mengejang. Berseru agar di bukaan pintu untuknya. Terlihat tidak sopan, tapi ini cara yang mungkin akan terdengar.

Tak lama dari teriakan Aldhi, seorang wanita muda membukakan pintu perlahan sampai terdengar bunyi decitan. "Iya tunggu sebentar."

Aldhi menatap wajah lelah wanita yang berada di ambang pintu. Wajahnya pilu, pucat seperti orang sakit.

"Jangan sok sakit, hapus make up di muka lo."
"Hah? Kamu ngomong apa, Al?" tanyanya dengan nada pilu.

Jatuh dan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang