"Ayah tadi dikabarin kalau kamu kecelakaan."
Nara mengulas senyum tipis mendengar suara yang begitu sarat akan kekhawatiran. Suara yang sudah lama ia tunggu kepulangannya. Suara yang Nara harap bisa ia dengar tiap hari, saat dirinya bangun di pagi hari dan terpejam pada malamnya. Suara yang dulu terasa sedekat nadi namun kini terasa begitu asing untuk didengar.
"Nara, kamu denger ayah?"
Remaja itu masih mengabaikan pertanyaan sang ayah dari ujung sana. Lebih memilih menikmati suara itu walau sang ayah mungkin saja akan semakin khawatir dengannya. Karena kalau bukan sekarang, kapan lagi Nara bisa diberi kesempatan yang sama?
"Ra, jawab kalau ditanya. Jangan buat ayah makin khawatir."
"Nara baik. Ayah gimana kabarnya?" sapa Nara hangat. Pandangannya beradu pada putih langit kamarnya yang berhias bintang-bintang kecil.
"Ayah gak suka, ya, Ra, dibercandain kayak gini. Waktu ayah gak cuman dipake buat ngurus semua lelucon kamu. Berapa kali harus ayah bilang?"
Nara diam-diam tertawa pahit mendengar tanggapan sang ayah. Bahkan dari banyak rangkaian kata indah yang bisa diucapkan, sang ayah tetap menggunakan kalimat yang menyakitkan untuk didengar.
"Aku gak bercanda, yah. Aku beneran kecelakaan, kepalaku sekarang masih dibebat. Makanya ayah pulang kalau gak percaya. Masa gak kangen sama anak sendiri yang imut gini?"
Desah nafas keras bisa Nara dengar jelas saat dirinya mengeluarkan sederet kalimat itu dengan nada riang. Nara tahu bagaimana sang ayah pasti tengah merasa kesal dengannya. Nara tahu kalau ayahnya akan kembali mengulang alasan yang sama kenapa laki-laki itu tidak bisa datang menemuinya. Nara tahu-terlampau tahu.
"Kamu tahu, 'kan, Ra, keadaan ayah gimana sekarang? Kamu tahu kan Calista lagi sakit? Kamu tahu 'kan kalau ayah gak bisa ninggalin keluarga ayah disini? Kenapa kamu gak pernah ngertiin ayah, Ra? Ayah udah ngasih semua yang kamu butuhkan. Ayah udah kirim uang buat beli semua kebutuhan kamu. Ayah cuman pengen kamu hidup baik-baik disana, gak perlu cari masalah kayak gini, Ra! Ayah gak suka dimainin."
"Nara tahu, Yah. Tahu banget," balas Nara dengan nada kian melemah. "Kan cuman itu yang ayah bilang ke Nara setiap kita ngomong. Mana mungkin aku gak inget?"
Hening setelahnya membuat Nara harus mengecek apakah sambungan telepon itu masih berjalan atau tidak. "Harusnya aku yang nanya. Ayah tahu keadaan aku gimana selama ini? Ayah tahu apa yang aku rasain? Ayah tahu kenapa bukan aku yang ngabarin ke ayah kalau aku kecelakaan? Padahal itu udah seminggu yang lalu," tanya Nara pahit. "Karena aku takut ganggu ayah sama keluarga ayah."
"Nara-"
"Maaf, ya, Ayah. Aku emang egois banget. Aku selalu pengen ayah hadir disini, nemenin aku. Nara takut sendirian di rumah sebesar ini. Nara takut kalau tiba-tiba ada maling masuk. Nanti Nara harus minta tolong ke siapa? Kalau nanti Nara kenapa-kenapa gak ada yang nolongin," jelas Nara namun lebih terdengar seperti rintihan kesakitan yang selama ini ia pendam. Bahkan ketika sang ayah berkata untuk kembali menikah dan membangun keluarga baru tanpa dirinya, Nara masih bisa tersenyum ikhlas tanpa air mata. "Ayah kesini, dong. Dokter bilang aku butuh wali untuk ngelakuin operasi karena aku masih dibawah umur. Padahal aku udah bilang ayah itu sibuk banget gak bisa diganggu, sampe-sampe Nara dipaksa ngasih nomor ayah. Ayah lupa, ya, Nara masih enam belas tahun?"
"Nara, Nak. Maafin ayah..."
"Kepala Nara pusing. Mau tidur. Mau sama bunda aja."
"Nara, sabar, ya. Ayah kesana sekarang. Kamu jangan tidur, Nak. Tungguin, ayah, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
the story never ends
Short StoryKarena apa yang hilang akan dicari. Karena yang terluka ingin berbagi kisahnya.