are too good to be true

1.5K 177 23
                                    

Devan tidak pernah merasa semenyedihkan ini dalam hidupnya.

Sudah lima hari dirinya tidak bisa tertidur dengan tenang. Kantung matanya kian menghitam dari hari ke hari membuat sang istri, Irene, tidak bisa berhenti mengkhawatirkan kondisi Devan. Beribu cara sudah Irene lakukan agar Devan bisa merelakan kepergian anaknya, namun sang istri sadar sebesar apapun usahanya menghibur suaminya, semanis apapun kata-kata yang ia lontarkan, tidak pernah bisa mengobati rasa kehilangan orang yang disayangi.

"Mas, dimakan ya. Aku buatin makanan kesukaan mas," kata Irene dengan nada lembut sambil meletakkan sepiring nasi beserta lauk pauk dan segelas air putih di atas sebuah nakas kecil di samping ranjang. Senyum teduh ia ulas, menyampaikan pada Devan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa Devan tidak sendirian, bahwa Irene akan selalu ada untuk dirinya. Untuk mendengar semua keluh kesah yang dirasakan Devan.

Irene membawa langkahnya pergi ketika Devan tidak memberi balasan. Terlampau sadar kalau Devan tidak akan mendengar ucapannya. Suaminya itu seperti hidup dalam zona waktu berbeda. Mungkin tubuhnya berada di sini, tapi jiwanya tengah melayang entah kemana.

"Nara..."

Devan bergumam dengan kelu. Matanya sudah terlampau sembab, bahkan air matanya terasa mengering. Masih teringat jelas suara orang yang mengabari bahwa Nara ditemukan dengan keadaan tidak bernyawa. Polisi berkata bahwa mereka menerima laporan dari tetangga yang mencium bau busuk dari rumahnya dan menemukan sang anak berada di depan pintu masuk rumahnya, tergeletak dengan genangan darah di sekitarnya, dan sudah membiru.

Devan masih ingat bagaimana hari itu Nara mencegahnya untuk pergi. Devan masih ingat seberapa ringan tangannya melayangkan tamparan untuk anaknya sendiri. Devan masih ingat saat dirinya buru-buru menekan pedal gas karena sang istri mengabarkan bahwa kondisi Calista tiba-tiba memburuk, membuat Devan tidak lagi peduli dengan sosok remaja yang ternyata masih menunggunya di balik pintu itu. Tanpa tahu bahwa hari itu adalah hari terakhirnya bisa melihat sosok Nara dalam hidupnya, bisa mendengar semua rengekan yang keluar dari bibir itu.

Devan baru sadar bahwa presensi Nara begitu penting. Anak itu... mengisi sebagian besar ruang-ruang dalam hatinya. Kini ketika sosoknya pergi, hati Devan menjadi begitu hampa dan beku.

Bagaimana remaja itu senang mengiriminya pesan-pesan singkat tanpa arti. Bagaimana remaja itu selalu mengirim pesan suara penuh rengekan agar Devan mau menemuinya. Bagaimana anaknya akan terus memborbardir ponsel miliknya dengan panggilan suara jika Devan telat beberapa menit membalas pesannya.

Hal-hal konyol yang sering Nara lakukan... tanpa sadar sudah menjadi rutinitas dalam hidup Devan.

Nara

yah ayahh

halo halo? mau denger kabar baik tidak?

nara tadi dapet nilai seratus lohh di ulangan sejarah

keren kan yahh

iya dong(sahut sang ayah)

kan nara anak ayah!

hehe 0(><0)

Devan seringkali membalasnya hanya dengan kata ya tanpa imbuhan lainnya. Devan tidak pernah berpikir apa yang akan Nara rasakan saat pesannya tidak pernah dipedulikan. Devan tidak pernah... ingin mengerti perasaan Nara yang sesungguhnya.

Andai saja Devan sadar bahwa cinta tidak pernah setara dengan harta. Bahwa setiap anak membutuhkan kasih sayang orangtuanya, tanpa tapi.

***

"Ayah tadi dikabarin kalau kamu kecelakaan."

Devan berkata sambil menutup pintu ruang rawat Calista dan bertemu sang istri yang menatapnya dengan raut bertanya.

the story never endsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang