pada cerita yang menuju titik akhir

131 13 1
                                    

Hanan menyandarkan badannya pada tepian westafel. Ia sibuk memperhatikan Adit yang sedang mengisi kulkas miliknya dengan berbagai jenis makanan dan minuman. Keningnya mengernyit heran, tadi bukannya ia hanya menitip cokelat batangan dan obat sakit kepala? Kenapa Adit seperti habis belanja bulanan?

"Lo ikut pinjol, Dit?" celetuk Hanan memecah keheningan. Ia melipat tangan dengan tatapan heran.

Adit menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah Hanan, ikut bingung dengan celetukan laki-laki itu. "Enggak tuh, Mas. Uang gue masih banyak di bank," jawab Adit polos. Ia merogoh kantong belanjaan yang sedari tadi belum ia sentuh dan menunjukkan lima cokelat batangan dengan merek dan rasa yang berbeda-beda. Dengan cengiran khasnya ia berkata, "liat nih, Mas. Ternyata di minimarket depan lengkap pilihan cokelatnya. Gue beli banyak buat stock. Ini juga ada permen mentol biar lo gak keseringan ngerokok."

Hanan makin mengernyitkan dahinya, kepalanya bahkan ikut miring sebelah. "Lo jangan keseringan dateng kesini deh, Dit," putus Hanan akhirnya.

"Hah kenapa Mas?"

"Takut digosipin tetangga kalau gue jadi simpenan om-om."

"Mulutnya!"

Hanan tidak menanggapi tatapan kesal Adit. Dia malah berjalan dengan lesu ke arah meja makan yang tak jauh dari kulkas. "Laper, Dit."

Adit memutar matanya, sebal. Tapi ia tetap melanjutkan kegiatannya untuk menata setiap barang yang tadi ia beli, tidak mempedulikan rengekan Hanan yang memintanya untuk memasak.

"Pengen sop iga, lo tadi beli daging, 'kan?"

Adit pura-pura tuli tidak mendengarkan. Hanan yang tahu bahwa Adit sengaja mengabaikannya menarik ujung bibirnya dengan ekspresi nakalnya.

"Adek~"

"Astagfirulah, Mas!"

Hanan tertawa terbahak melihat reaksi Adit. "Sop iga, Dit. Satu porsi gak pake lama," titahnya tanpa bantahan.

Walaupun jengkel dengan kelakukan Hanan yang seenaknya, Adit tetap mengiakan permintaan laki-laki itu. Ia menyiapkan bahan masakan yang diperlukan, dengan tangkas memotong sayur-sayuran dan daging sapi yang baru saja dibelinya. Satu jam kemudian, Hanan sudah bisa menyium harum masakanan Adit memenuhi rumahnya. Ia yang awalnya menidurkan kepalanya di atas meja makanan, langsung membawa dirinya untuk duduk dengan benar dan mata yang berbinar.

Adit yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya, heran dengan sifat Hanan yang terkadang kekanakan.

"Makanya lo belajar masak, Mas."

"Gwak mawu (Gak mau)," balas Hanan cepat dengan mulut penuh nasi. Ia menelan nasi di mulutnya dan menatap Adit sungguh-sungguh, "kita ini kan sepaket, Dit!"

Adit merasa tekanan darahnya naik setiap kali menghabiskan waktu lama-lama dengan Hanan.

Kita ini kan sepaket.

Kalimat itu sudah lama sekali tidak keluar dari mulut Hanan. Kapan terakhir ia mendengarnya? Mungkin lima sampai enam tahun lalu.

"Sepaket pala lo, Mas," balas Adit jengkel. "Giliran ada maunya aja baru sepaket."

"Hehehe~"

Setelah cengegesan yang tidak jelas itu, Adit dan Hanan tidak lagi melanjutkan percakapan. Keduanya hanya menghabiskan waktu di meja makan dalam diam. Adit yang tenggelam dalam lamunannya tidak sadar bahwa Hanan sedari tadi sudah menyelesaikan acara makannya dan kini menatapnya dalam diam. Andai saja Adit menyadarinya, ia akan berkesempatan untuk menatap sepasang mata itu yang kini tampak begitu layu.

Hanan yang dihadapan Adit saat ini, bukan Hanan yang beberapa saat lalu sibuk menggodanya, bukan Hanan yang baru saja merengek padanya untuk dibuatkan sop iga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

the story never endsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang