-venus

1.2K 133 15
                                    

Tumbuh sebagai anak sulung mengajarkan Venus untuk terbiasa hidup mandiri. Meskipun umurnya belum menginjak usia enam tahun, Venus sudah dibiasakan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Dimulai dari hal-hal kecil seperti mengikat tali sepatu, belajar membaca dan menghitung, menaiki sepeda roda dua, dan hal lainnya. Venus kecil terbiasa berjalan sendiri di bawah tumpuan kakinya tanpa seorang pun menjaganya, yang terkadang membuatnya terjatuh dan harus kembali bangkit dengan kakinya sendiri.

Papanya sering berkata bahwa seorang laki-laki haruslah mandiri. Terlebih ia adalah sulung keluarga dan harus menjadi contoh yang baik untuk adik bungsunya, Bumi. Papanya juga berkata, sesakit apapun yang ia rasakan, Venus tidak boleh mengeluh dan menangis pada mamanya. Venus harus menjadi anak yang kuat, seperti apa yang papanya harapkan.

Awalnya Venus berpikir apa yang salah dengan menangis? Bukankah tangisan termasuk salah satu emosi yang dimiliki seseorang? Pun, papanya tidak pernah melarang Bumi menangis bahkan karena hal-hal sepele sekalipun. Jika Bumi menangis, papanya akan memeluk Bumi dan berusaha menenangkannya. Namun, jika itu Venus, ia akan ditinggal sendirian dan dibiarkan berteman dalam kesendirian yang begitu menakutkan.

"Kamu gak lihat mama sibuk ngerawat adek kamu yang sakit?" pertanyaan bernada tinggi itu keluar dari mulut Viona, mamanya, yang tengah mengompres dahi Bumi yang malam itu lagi-lagi terserang demam tinggi. Sedang Venus berada disana karena ingin meminta tolong pada sang mama membantu mengerjakan tugasnya. Bocah itu sudah menunggu selama setengah jam tapi Viona tidak berniat beranjak dari sana. Perhatian sang mama tak pernah lepas dari Bumi yang terbaring. Seolah-olah, hanya Bumi yang terlihat eksistensinya.

Dan itu menyakiti hati kecil Venus.

"Venus bisa nunggu mama selesai ngerawat Bumi," balas Venus masih kukuh pada permintaannya. Anak itu memandang mamanya dengan binar polosnya lalu menarik ujung baju Viona agar melihat ke arahnya.

"Venus bisa gak ganggu mama dulu?" tanya Viona kesal dan menoleh ke arah Venus yang kini masih menariki ujung baju yang dipakainya. Wanita itu menyingkirkan tangan Venus dari bajunya karena merasa terganggu. "Kamu 'kan bisa cari di internet. Masa apa-apa harus mama? Kamu udah gede, Venus."

"Tapi Venus baru enam tahun," balas Venus. Anak itu tampak belum menunjukkan tanda-tanda menyerah.

"Berarti udah lebih gede dari Bumi, 'kan?" tanya Viona lagi. Wanita itu kembali mengganti kompresan yang mulai mendingin pada dahi Bumi dan membelakangi anak sulungnya. "Yang lebih besar harus bisa lebih dewasa. Bukannya papa sering bilang gitu ke kamu?"

Venus tidak menjawab dan malah asik memperhatikan kegiatan Viona. Pun anak itu akhirnya mendekat agar bisa melihat wajah adiknya lebih deket. "Bumi kenapa sakit terus?" tanya Venus sambil mengerjapkan mata bingung. Ia menatap Viona meminta penjelasan sebelum kembali melihat wajah Bumi yang tampak lebih merah dari biasanya dengan tarikan nafas berat.

"Karena adik kamu gak sekuat kamu, sistem imun Bumi lemah dari kecil," jawab Viona lalu mendudukkan dirinya pada tepi ranjang. Dia menepuk punggung si bungsu yang tampak tak nyaman dalam tidurnya. Sesekali Viona akan bersenandung kecil dan itu berhasil membuat Bumi kembali larut dalam tidurnya. Wanita itu tampak larut pada kegiatannya dan kembali mengabaikan si sulung.

"Venus juga mau," celetuk Venus tiba-tiba. Dia memandang wajah lelap Bumi dengan mata bulatnya. Anak kecil itu membayangkan jika dirinya yang kini tengah terbaring di ranjang dengan Viona disisinya. "Venus juga mau sakit kayak Bumi."

"Venus jangan sakit. Sakit itu gak enak, harus minum obat, pahit lagi rasanya," nasihat Viona mencoba memberi pengertian. Terkadang ia gemas dengan pertanyaan si sulung yang tiada habisnya.

"Tapi Bumi sering sakit walau itu gak enak," balas Venus polos. Anak itu kini menusuk-nusukkan jarinya pada pipi bulat Bumi dan mendapat teguran dari Viona karena menganggu tidur adiknya. Wanita itu menjauhkan tubuh Venus dari sana.

"Bumi pasti sering sakit karena seneng bisa dirawat mama."

"Mana ada kayak gitu."

"Makanya Venus mau sakit biar bisa tahu enak atau enggak."

"Pokoknya Venus gak boleh sakit, mama gak mau Venus sakit."

"Kenapa?" tanya Venus lagi sembari mengangkat pandangannya menelisik wajah sang mama. "Mama gak mau ngerawat Venus?"

Viona sedikit tersentak mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir putra sulungnya. Tapi wanita itu dengan cepat mengendalikan raut wajahnya dan mengelus pipi Venus dengan penuh pengertian. "Karena mama gak suka ngeliat Venus kesakitan. Mama sedih kalau Venus sakit."

"Bohong," balas Venus cepat sambil menjauhkan wajahnya dari sang mama. Kini raut wajahnya berubah serius. "Mama gak boleh bohong. Nanti Tuhan marah."

"Mama gak bohong, Venus," balas Viona meyakinkan. "Masa mama bohong sama anak mama sendiri?"

"Kemarin Venus jatuh dari sepeda," kata Venus sembari menaikkan lengan bajunya yang panjang dan menunjukkan sikunya yang terluka kepada Viona. "Venus kemarin luka tapi mama gak sedih. Kemarin mama seneng-seneng bareng Bumi, padahal Venus lagi luka. Mama bohong, 'kan?"

Viona terdiam dan memandang luka merah yang belum diobati itu dan merasa bersalah. Kemarin ia hanya menghabiskan waktu bersama Bumi karena anak itu mendadak rewel tidak ingin ditinggal. Viona kira kemarin Venus bermain bersama suaminya, jadi wanita itu tidak begitu menanyai keadaan Venus. "Itu... mama gak tahu Venus luka. Venus gak bilang kalau jatuh dari sepeda."

"Tapi mama tahu pas Bumi jatuh sakit, padahal Bumi gak bilang apa-apa. Kenapa aku enggak?" balas Venus lagi. Lidah anak itu tampaknya sudah terlampau lincah untuk anak seumurannya. "Apa karena Venus anak sulung jadi gak boleh ngadu sama mama? Tapi Venus kan juga anak mama. Venus sama kayak Bumi."

Viona hendak membuka mulut tapi Venus lebih dulu menyalurkan keluh kesahnya pada sang mama.

"Temen-temen Venus sering bilang Venus bodoh karena gak bisa ngerjain tugas. Mereka ngetawain Venus karena belum lancar baca. Gak ada yang mau temenan sama Venus. Venus selalu sendirian di kelas. Makanya... Makanya Venus mau mama ngajarin Venus. Biar Venus gak dikatain bodoh lagi, biar Venus bisa main sama temen-temen!" kata Venus dengan jari mengepal di kedua sisinya. Mata anak itu tampak berair dan tangannya mengusap kasar air mata itu.

"Venus bisa kok nunggu mama selesai ngerawat Bumi. Venus mau kok nunggu. Tapi kenapa mama gak pernah bolehin? Kenapa mama cuman kasih waktu mama buat Bumi? Venus kan..., Venus juga anak mama sama papa!" sentak Venus kasar dan berlari keluar kamar Bumi. Anak itu meninggalkan Viona yang terdiam membeku pada tempatnya sebelum tersadar kalau ia harus meminta maaf pada anaknya. Namun suara batuk kecil sudah lebih dulu menghentikkan kakinya dan Viona mendapatkan Bumi yang terbangun dengan kondisi yang semakin memburuk.

"Uhuk... M-ma...mama..." lirik Bumi dengan tangan terulur ke arahnya dan Viona refleks mendekati si bungsu dengan penuh kekhawatiran. "S-sakit...sa-kit..." isak Bumi sembari terbatuk-batuk. Anak itu menyandarkan tubuhnya pada sang mama dengan nyaman.

"Iya, sayang. Sebentar, ya," kata Viona sembari meraih ponselnya dan menelepon suaminya yang masih berada di kantor. Dia menepuki punggung sempit itu untuk meredakan isak tangis Biru. "Sebentar, ya, Bumi. Papa sebentar lagi nyampe rumah nanti kita berobat abis ini."

Viona kembali fokus merawat si bungsu. Melupakan niatnya tadi untuk mengejar Venus. Karena kini hatinya begitu khawatir saat keadaan si bungsu kian memburuk.

Venus mengunci pintu kamarnya setibanya disana. Ia mendudukkan dirinya di depan pintu dan menunggu suara sang ibu muncul namun meski ia telah menunggu sepuluh menit lamanya, yang Venus dapat hanya keheningan yang begitu familiar. Hening yang sudah lama menjadi temannya semenjak Bumi hadir ditengah-tengah keluarganya. Hening yang Venus lalui tiap harinya karena tidak ada yang mau menemuinya barang sekalipun dan menganggapnya hanya sebagai sosok tak kasatmata di rumah ini.

Ia mulai sadar kenapa papanya berkata bahwa ia tidak boleh menangis. Bahwa Venus tidak boleh menunjukkan kesedihannya pada siapapun. Bahwa Venus... harus bahagia walau nyatanya tidak.

Karena meski ia meraung sekuat yang dirinya bisa, walau ia mengatakan bahwa ia kesakitan... tidak akan ada yang mau mendengarnya. Tidak satupun tangan yang mau memeluknya.

Karena kehadirannya sudah lama tergantikan oleh sosok Bumi.

Seiring umurnya bertambah, Venus sadar betapa beracunnya sebuah angan dan harapan. Ia tumbuh menjadi remaja yang selalu berpegang pada realita yang mengatakan bahwa bahagia adalah sebuah tabu untuk dirinya.

***

the story never endsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang