Pesta yang ditunggu-tunggu

2.1K 197 5
                                    


    "Niken menang taruhan." Umpatku ketika mendapat banyak chat dari si pengkhianat Bima dan juga telepon yang terus saja masuk. Aku membiarkan saja Bima meneleponku terus menerus. Mau tau sampai sejauh mana dia memohon-mohon, walaupun aku tidak akan menerima permintaan maafnya itu.

    Selesai mandi, masih dengan memakai bathroob ada yang mengetuk pintu kamarku. "Masuk." Aku kira Mbok Nina, ternyata Bima. Ah aku harus benar-benar tenang. Kenapa sih dia tiba-tiba muncul di rumahku?. Didepan kamarku lagi?. Biasanya juga dia menunggu di ruang tamu. Ah mungkin dia tau kalau aku tidak akan pernah keluar kamar. Cerdik memang. Aku duduk di depan kaca rias, sementara dia duduk di sofa yang ada di sebelah tempat tidur. "Mau apa lagi sih?. Cepet ngomong. Udah ngantuk, mau tidur." Kataku dengan dingin.

    "Sayang please dengerin dulu. Aku mohon sama kamu jangan maen putus aja. Aku sayang banget sama kamu." Gombalan pria ini memang luar biasa. Kalau udah di jual mungkin beberapa menit juga udah ludes. Serem.

    "Iya, tapi kamu juga sayang sama Hani." Aku dapat melihatnya dari kaca riasku kalau dia menegang setelah aku mengatakan itu. Dia pikir aku bisa dibohongi apa?. "Terus aku mesti gimana dong?. Diem aja gitu disaat kamu jalan sama Hani. Nganterin anaknya sekolah. Apalagi sih?. Pegangan ya?. Terus apa lagi?. Gituan?." Bima langsung berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat. Dia mengambil kedua tanganku.

    "Kenapa sih kamu ngomongnya gitu banget?. Emang selama ini aku macem-macem sama kamu?. Aku cuman berani cium kamu aja, kok kamu bisa mikir aku sama Hani gitu?."

    Aku membuang pandanganku sembari menghela nafas. "Ya mungkin karena kamu gak dapet dari aku makanya kamu sama Hani...," Bima menciumku. Dalam hati aku langsung berteriak kalau ini gak boleh. Aku gampang luluh kalau dicium Bima, apalagi kalau pipiku gesekan sama jambang halusnya Bima. Tapi karena terlanjur ya udahlah, aku coba aja buat mengimbangi ciumannya supaya dia semakin gak bisa lepas dan juga semakin yakin kalau aku ini good kisser. Itu bakalan buat dia tersiksa bukan?. Nah terlepas dari itu semua, tentu aku harus ingat poin paling pentingnya karena tanpa poin penting itu percuma. Yang ada aku masuk lagi ke perangkapnya. Poinnya, aku harus biasa aja habis ciuman ini. Seolah gak terpengaruh sama sekali.

    "Aku sayang banget sama kamu Nad." Ucapnya pelan setelah kami selesai berciuman.

    "Males aku denger obralan kata-kata manis kamu, Bim. Siklus nya sama terus. Basi." Aku berdiri dari dudukku, tapi Bima menahan tanganku. "Nad, please kasih aku kesempatan sekali lagi."

     Aku duduk kembali dan mengelus wajahnya, "Bim kita masing-masing aja dulu ya. Biar kamu bebas mojok sama Hani dan aku bebas deket sama cowok lain." Bima mengambil tanganku dari wajahnya dan mencengkram sedikit. "Kamu gak boleh deket sama cowok manapun!."

    Aku tertawa mendengarnya, "Bim kamu sehat?. Kamu minta dingertiin soal kamu deket-deket sama Hani, tapi giliran aku udah putusin kamu dan mau deket sama cowok lain kamu ngelarang aku. Hei siapa kamu sekarang?, dan apa hak kamu?. Aku aja kemaren jadi pacar kamu gak bisa larang-larang kamu."    

    Bima berdiri, "pokoknya aku gak akan biarin kamu deket sama cowok manapun. Aku pulang dulu. Besok aku jemput lagi. Dan kita gak putus." Bima keluar dari kamarku tanpa menunggu jawabanku. Dia itu memang bener-bener sudah gila.
**

    Besoknya benar saja ketika aku sedang sarapan bersama mamah dan papah, Bima datang dengan kemejanya yang rapih dan licin. Harum parfumnya sudah tercium dari beberapa meter walaupun dia belum menunjukan batang hidungnya. Aku merapal doa dalam hati, supaya aku tidak tergoda karena penampilannya hari ini yang mencukur jambangnya itu dan semakin membuatnya terlihat tampan. Shit, apa itu yang kamu katakan barusan?.

     "Pagi om, tante." Bima mencium tangan papah dan mamah satu persatu. Mamah papah pun menyambutnya dengan senyuman hangat. Mungkin reaksi mereka akan berbeda jika tau bagaimana sikap Bima pada Hani.

Spektrum NadilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang