Pesona

1.7K 193 5
                                    

Pesona

    "Pak saya mau ke Rendi dulu ya. Saya titip temen saya ini. Gawat solnya kalau dibiarin sendirian, bisa makan orang. Galak kayak singa." Niken gila. Aku mendengus padanya dan mengeluarkan kata 'gila' tanpa suara.
    "Duduk aja yuk disana." Ajak Alif. Aku menuruti dan mengikuti langkahnya. Saat aku menoleh ke belakang aku melihat Bima sedang menatapku seperti singa ngamuk. Mungkin dalam pikirannya aku malam ini menangis di kamar sendirian karena dia tidak datang. Kamu salah besar Bim!. "Mau minum gak?. Aku ambilin." Alif mengalihkan pandanganku.
   
"Boleh."
   
"Wine?."
   
"Gak masalah." Alif pamit sebentar mengambil minum kemudian kembali lagi. "Thanks." Ucapku padanya. Dia tersenyum, ternyata dia memiliki lesung pipi yang bagus.
   
"Kayaknya kamu udah temenan lama sama Niken?." Tanyanya ketika kami sudah duduk dan meminum sedikit wine.
   
"Iya, dari jaman SMA. Jamannya dia masih culun sampei sekarang. Tapi dia juga yang paling tau jelek-jeleknya aku dari dulu sampei sekarang." Akuku dengan terus terang. "Oh ya, dia kemarin ngomong apa?. Ngomong macem-macem gak soal aku?."
   
Alif malah tertawa geli, "dia bilang kamu baru putus cinta dari cowok pschyo yang gak mau diputusin."
   
"Sial, awas loe Ken." Aku mengumpat tanpa filter dihadapannya. Alif bukannya ilfil malah ketawa. "Sorry, dia itu emang kalau ngomong gak ada filternya. Ya harusnya jangan gitu banget ya bahasanya. Di perhalus kek dikit gitu." Cerocosku. Gara-gara Niken, aku jadi gak ada jaim-jaimnya sama sekali. Malah terlalu apa adanya banget di hadapan Alif. "Tapi emang iya sih. Diperhalus juga tetep aja sama maksudnya kalau diartiin." Lanjut ku lagi.
   
"Emang pschyo nya kayak gimana?."
   
Aku berpikir, meminum wine ku dulu lalu kembali berpikir. "Ya gitu, dia itu maunya ngatur-ngatur, posesif, tapi sendirinya gak sadar kalau udah sering jalan sama cewek lain. Pake label sahabat segala lagi. Basi banget. Eh pas diputusin gak mau." Alif meminum winenya juga sambil menatap ku. Aku balik menatapnya. "Kamu pernah jadi cowok pschyo kayak gitu?." Aku sedikit tersenyum dan dia membalas senyumku dengan senyuman yang seperti gula. Shit, gue gak boleh klepek-lepek dulu di pertemuan pertama.
   
"Menurut kamu?."
   
"Pernah."
   
"Tau darimana?." Alif meminum lagi winenya.
   
Aku menggerakkan tanganku ke wajahnya dari jauh. "Wajah kamu."
   
Alif tertawa. "Kayaknya aku gak segila itu deh."
   
Giliran aku yang tertawa, "kayaknya kan?. Belum pasti. Siapa tau nanti kamu jadi segila itu."
   
"Kena jebakan Batman." Alif mengangkat gelas winenya. "Bersulang buat kamu, cewek yang gak ada jaim-jaimnya dari pertama ketemu. Tapi tenang aku gak masalah." Aku juga mengangkat gelas wine ku. "Dan buat kamu yang jujur kalau kamu juga emang laki-laki gila. Dan ya aku juga gak masalah sama kejujuran kamu itu." Kami tertawa kemudian meminum wine sambil menikmati live musik dari artis terkenal.
   
"Nadila." Teriaknya kemudian berjalan mendekatiku. Bingo, si gila mendekat. Dia malam ini memakai jas abu dengan kemeja putih. Oh ya perlu diketahui, jas abu yang dipakainya itu pemberian dariku sebagai kado ulang tahun. Ah aku mendadak kesal mengingatnya. Apalagi aku mendapatkan jas abu itu setelah bersusah payah berkeliling ke dua mall. Dan sekarang dia memakainya bersama Hani. Malang sekali kamu Nadila.
   
Aku memajukan wajahku kemudian berbisik pada Alif, "ini orang gila yang tadi aku ceritain." Alif langsung melihatku dengan pandangan bertanya seolah memastikan. "Bima?." Aku mengangguk. "Ya udah aku pindah meja dulu." Alif berdiri kemudian berpindah meja sebelum Bima benar-benar ada dihadapanku.
   
"Kenapa kamu disini?. Sama Pak Alif lagi tadi." Tanya Bima duduk di sampingku.
   
"Emang kenapa aku kan jomblo?." Tanyaku balik. "Kamu berharap aku dirumah aja gitu nunggu kamu dateng sementara kamu disini?. In your dream." .... "O ya. Inget kesepakatan kita kan?." Lanjut ku menyerangnya. Wajah Bima sudah pucat pasi.
   
"Dengerin, aku belum bisa dateng ke kamu karena aku harus ada disini sekarang." Bima terus saja beralasan. Aku sampai bosan mendengarnya. "Bentar, kamu kok pake baju seksi banget!." Bima meneliti ku. " Ayo aku antar pulang aja."
    Aku melirik pada Alif yang duduk diseberang meja kami. Dia tampak menikmati pertengkaran aku dan Bima. Mungkin dia berasa nonton sinetron kali ya. Ah sebal, aku harusnya lagi tebar-tebar pesonanya sama Alif sekarang. Ya sudah lah kalau Alif gagal, masih ada Alif Alif lain di ruangan ini. "Kesepakatan tetap kesepakatan dong Bim. Oh ya emang kenapa sama baju yang aku pakai?. Bagus kan?." Aku mengangkat kaki kiriku kemudian menumpangkannya di atas kaki kanan. Dress yang aku pilih memang sengaja yang berwarna hitam, dengan punggung terbuka seperti sundel bolong dan belahan di bagian kaki yang agak tinggi.
   
Bima membuka jasnya dan menyimpannya di bahuku. Aku langsung membukanya, "kamu jangan sok jadi cowok romantis deh. Malesin banget. Aku gak perlu." Bima menahan emosi dengan mengepalkan tangannya. Lalu tiba-tiba handphonenya berbunyi dan ada panggilan masuk dari Hani. Yes, dia bakal pergi sebentar lagi. Dulu saja aku pernah ditinggal di tengah-tengah dinner berdua karena panggilan si dedemit itu. Jadi sebentar lagi juga dia pasti bakal pergi. "Tuh ada panggilan dari komandan. Sana pergi."
   
"Ya udah kamu tunggu disini, jangan kemana-mana. Aku bakal balik lagi."
   
"Gak yakin." Balasku dalam hati.
   
"Jadi Bima sama Hani?." Tanya Alif mendekatiku setelah Bima pergi. Aku mengangguk santai sambil meminum wine ku. "Maaf, di kantor emang udah banyak gosip tentang mereka berdua tapi pas aku denger gosip itu agak gak percaya, masa Bima sebodoh itu sih."
   
Alif kembali duduk dihadapanku, "dan ternyata dia emang bodoh." Aku tertawa saja menikmati bagaimana pandangan orang sekitarnya tentang dia dan Hani. "Harusnya pertemuan pertama itu aku tebar-tebar pesona ya sama kamu, eh malah kamu liat aku kayak sekarang." Jujurku sudah terlanjur basah. Lagipula ini sebenarnya salah di awal. Gara-gara Niken. Ngapain juga dia cerita-cerita.
   
"Jujur aku takjub sebenernya sama kamu." Aku kaget, Alif ini menyindirku atau bagaimana?. Masa dia takjub dengan sikap ku pada Bima yang super menyebalkan itu tadi?. "Cara kamu hadepin Bima." Lanjutnya seakan bisa membaca pikiranku.
   
"Emang kenapa?."
   
"Ya kamu bersikap bukan kayak cewek pada umumnya yang lagi ngadepin cowoknya selingkuh."
   
Ya ampun jadi aku ini wanita yang aneh mungkin ya di kepalanya. "Biar dia tau, aku ini bukan cewek yang bisa dia injek seenaknya. Emang aku keset apa."
   
Alif tertawa, "mau aku anter pulang?." Aku melongo tak percaya, jadi dia ini benar-benar gak ilfil?.
   
Yes kayaknya aku berhasil tahap satu. Memang ya terkadang kita jangan berusaha jadi orang lain buat disukai karena dasarnya setiap orang itu punya pesona nya sendiri. Dan setiap orang juga punya standar yang berbeda dalam hal menyukai sesuatu.
   
"Boleh, aku juga gak bawa mobil. Tadi ikut sama Niken."
**

    Kalau film romantis itu si cewek nunggu cowoknya kasi jas atau jaket biar ceweknya gak kedinginan. Aku?. Ngapain nunggu, aku bisa mati kedinginan kalau nunggu. Kita kan punya mulut, tinggal bilang. "Lif boleh pinjem jas kamu gak?. Kayaknya aku mulai dingin sama baju sundel bolong ini."
   
Alif yang sedang berjalan disampingku langsung berhenti. "Ya ampun iya kamu pasti kedinginan ya. Sorry.." Alif melepas jasnya dan menyampirkannya di bahuku.
   
Aku membetulkan jas Alif. "Thanks ya."
   
Alif menggaruk alisnya yang tidak gatal. "Sorry ya aku gak peka."
   
Aku mengibaskan tangan, "santai aja kali. Mungkin para cowok emang udah dari lahir kodratnya itu gak peka dan gak bisa baca semua kode yang cewek kasih. Untung aku bukan cewek yang suka ngasi kisi-kisi atau kode. Kalau iya bisa cape hati tiap hari. Malesin, ribetin deh pokoknya. Lagian sebenernya kadang juga cewek belum tentu loh ngerti kalau dikasi kode-kodean. Tuhan ngasi kita mulut, ya fungsinya buat ngomong."
   
Alif membukakan pintu mobil Pajero hitamnya untukku. Lalu membantuku naik. Saat aku memegang tangannya untuk yang pertama kali, aku merasa tangannya terasa besar dan tidak lembut, tapi terasa hangat di tangan ku yang agak dingin. "Makasi." Ucapku
   
"Aku bener-bener takjub sama segala argumen kamu dan juga soal Bima tadi."
   
Sambil memakai safety belt, "bilang aja aneh." Kataku dengan tawa di akhir.
   
"Unik. Eh laper gak?. Mau ikut makan dulu di fast food?." Aku mengangguk semangat, menyetujui idenya. Aku memang lapar sekali dan fast food adalah pilihan yang bagus.
   
Setelah makan di salah satu makanan cepat saji kakek-kakek, Alif pun mengantarkanku ke rumah di jam sebelas. Niken aku tinggalkan saja tadi. Dia juga nanti bakal pulang, lagian dia yang bawa mobilku. Dan dia pasti ngerti kalau aku pulang duluan berarti aku berhasil sama Alif. Ya berhasil tahap satu, aku tertawa sendiri dalam hati. "Ya udah, thanks ya Lif udah dianterin pulang."
   
"No problem."
   
Aku sudah akan membuka jasnya, tapi dia menahanku. "Udah gak apa-apa pake aja dulu." Setelah Alif mengatakan itu rasanya aku ingin tertawa dengan keras. "Biar ada alasan aku buat ketemu kamu lagi." Tuh kan.
   
"Oke." Pasti dia bakal nahan ku lagi.
   
"Nad." Tuh lagi kan. Aku berbalik sok polos. "Ya Lif?."
   
"Bisa tukeran nomor?."
   
Aku tertawa, "buat ngembaliin jasnya?." Alif ikut tertawa namun mengangguk. Lalu kami pun saling bertukar nomor. Dan akhirnya Alif benar-benar pulang. Tepat ketika aku membuka pagar, ada manusia gila yang sudah duduk sendirian di teras rumahku. Bukan rumah nya loh ya, rumahku. Haduh, ngapain lagi sih dia?.
   
Dengan malas aku berjalan masuk ke rumah dan dia langsung berdiri mendekatiku. "Kamu darimana dulu?. Terus kenapa dianter Alif?. Itu juga kamu pake jas dia." Ya ampun Bima nyerocos mirip truk gandeng. Banyak banget pertanyaannya. Bima tidak sabar menunggu jawabanku, dia memegang tanganku. "Jawab dong Nad."
   
"Pertama, aku makan dulu sama Alif barusan. Kedua, aku dianter dia karena ya dia mau nganter aku. Emang salah?. Ketiga, aku pake jas dia ya karena aku dingin. Puas?." Jawabku santai. "Udah sana kamu pulang aja Bim. Aku mau tidur, ngantuk." Baru selangkah aku mau masuk rumah, Bima menahanku lagi. Aduh apa sih maunya anak satu ini. "Apa lagi sih Bim?." Tanyaku kesal.
   
"Aku minta maaf. Aku bukan milih Hani dan gak dateng ke kamu. Tadi di pesta itu aku jadi salah satu staf yang nyiapin jadi aku gak bisa mangkir." Alasan Bima lagi. Kalau urusan ngeles, Bima memang jagonya. "Terus tadi aku pergi dulu karena suami Hani minta aku anterin Hani, dia ada perlu. Pas aku balik kamu udah gak ada. Jadi aku nunggu disini."
   
"Iya lah sesuka kamu Bim. Aku gak peduli lagi, kita udah putus ini."
   
"Nad." Aku mengabaikan Bima dan masuk kedalam rumah. Biar saja dia berdiri di luar kek, mau ngapain kek. Aku gak peduli. Cukup dia buat aku jadi nelangsa kemarin-kemarin. Aku udah gak mau nangis sejak terakhir kemarin aku putusin dia di saung. Awalnya sih pengen nangis, tapi untung si Niken ngingetin jadi sekarang udah enggak.
**

Spektrum NadilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang