bacalah.

117 19 12
                                    

kamu tau? disini aku merasa sangat sangat bersalah. terutama kepada kamu.

aku yang memutuskan untuk menyerah, aku yang berat melihat kamu asik bercengkrama dengan dia.

aku yang memutuskan untuk berhenti, aku yang berpegang teguh untuk tidak menghapuskan perasaanku padamu.

aku yang memutuskan untuk mundur, aku yang setiap hari bergelut dengan kecamuk rinduku sendiri.

bodoh. sebut saja diriku begitu.

entah mantra ajaib apa yang telah kamu gunakan sehingga sulit sekali bagiku untuk melupakanmu, barang sedikit saja.

setiap hari aku berusaha untuk menyibukkan diriku sendiri. setidaknya berusaha sedikit saja melupakan dirimu—tidak, tidak sedikit. secuil. cukup secuil. kamu mengerti, bukan? nyatanya kamu masih saja betah tinggal di pikiranku.

sudah berapa hari kita berhenti berkontak? ah, bahkan belum terhitung minggu. aku sudah merindukanmu segini beratnya.

seperti makan buah simalakama. sungguh, peribahasa mewakilkan diriku. jika aku menghubungimu, aku terlalu takut dengan masalah yang akan terjadi kedepannya. lagipula, aku telah memutuskan untuk menghentikan ini, bukan? namun, jika aku tidak menghubungimu, rindu ini berteriak kencang dalam dadaku.

mungkin tidak berkontak sekarang merupakan pilihan terbaik bagiku, entah bagimu. tapi, berat bagiku sebenarnya mengatakan hal itu. sungguh, aku tidak kuat.

aku pernah membaca satu tulisan, "jatuh cinta bisa dengan orang yang tepat, tapi di waktu yang salah."

kamu tidak salah, aku pun begitu. waktulah yang tidak tepat dalam mempertemukan kita. jika aku bisa mengabulkan satu pintaku, aku harap kita dapat dipertemukan kembali di waktu yang tepat.

jujur, saat menulis ini aku merasa ribuan jari menggelitik sekujur badanku. geli. tapi kamu sendiri yang mengatakan kepadaku, "kulitmu seperti kulit badak. tahan geli." ribuan jari tidak ada rasanya sama sekali. lebih tepatnya aku tidak merasa apa-apa karena memang ini aku tulis dari apa yang tersimpan dalam hatiku. tulus. tanpa akal bulus.

kamu mengatakan kamu siap untuk menunggu waktu yang tepat itu datang. bukannya aku meragukan dirimu. seperti yang aku sering katakan sebelumnya, "aku percaya padamu." aku hanya takut aku malah memberatkan kamu. jika aku perkirakan, 'waktu yang tepat' itu akan memakan waktu yang cukup lama untuk tiba. aku tidak akan memaksa. keputusan ada di tanganmu sendiri.

kalau boleh jujur, aku senang dengan keadaanku sekarang, setelah melepas kamu. rumah, tempatku berpulang yang sesungguhnya, kembali terasa seperti rumah. ceria, bahagia, tenang. ekspresi macam itulah yang selalu aku tunjukan kepada mereka. tapi, kamu tau? di dalam lubuk hatiku, aku merasa sangat tidak tenang. aku merasa sangat bersalah. kepada kamu. aku sangat ingin menemui dirimu dan mengatakan semua yang terpendam dalam hatiku. masih banyak yang belum sempat aku katakan padamu. sungguh, sebelum dapat mengatakan ini semua padamu, bertatap muka, aku belum dapat tenang.

namun, kita tidak bisa bertemu untuk saat ini. setiap hari aku selalu berharap agar bumi kembali pulih, masalah ini selesai, dan aku pun bisa kembali menemui kamu. setiap hari. namun, apa daya. kita tidak bisa berkehendak apa-apa. semua ada di tangan-Nya.

sebenarnya lima hari dalam seminggu ini, kita dapat bertemu. walau hanya bisa melalui pembicaraan publik jarak jauh, sungguh aku tak apa. aku senang mendengar suaramu, tawamu, dan melihatmu tertawa, bercanda, dan tenggelam dalam duniamu walau atensimu tidak jatuh kepadaku. kembali ku katakan, sungguh aku tak apa. dan maaf aku ingin mengakui satu hal. aku sempat mengabadikan beberapa momenmu yang tengah asik bercengkrama dengan yang lainnya. maaf ya.

tapi salahkah aku jika aku masih terbakar dalam api cemburu? di dalam pembicaraan publik jarak jauh itu, aku berusaha mengajakmu bicara, meladeni omonganmu. namun, harus kuakui responmu sangat sangat tidak nyaman untuk ku dengar. kalau aku harus berpikiran positif, mungkin ini hanyalah perasaanku saja yang berlebihan. tapi, melihatmu yang biasanya selalu menjatuhkan atensimu kepadaku, aneh rasanya mendengar hal itu. lebih lagi, kamu memilih untuk lebih sering mengajak dia berbicara. kamu pasti tau siapa dia yang ku maksud dari tadi, kan? terbayang sangat jelas di otakku saat kamu memanggil namanya berkali-kali. bara api cemburu menguasai penuh diriku. ah, aku egois ya? maaf. maaf. dan maaf. siapapun tolong ajari aku cara menghilangkan—ah tidak, setidaknya mengurangi rasa posesif dan cemburu yang terlampau besar.

aku takut kamu berpaling dan meninggalkanku padahal aku sendiri yang melepaskan kamu. betapa jahat, kejam, dan antagonisnya diriku.

rindu? sangat. bukannya aku memperbesar gengsiku untuk tidak menyampaikan hal itu padamu. lagi, aku sangat takut dengan masalah yang akan terjadi di dalam rumah jika aku melakukannya. sungguh, aku sangat ingin menanyakan kabarmu. kamu selalu hadir dalam mimpiku. namun, mimpi buruk tentang kamu yang selalu datang. aku tak tau apakah itu benar-benar pertanda buruk atau tidak. tapi, mendengar suara, tawa, candamu di ruang publik itu aku yakin kamu baik-baik saja. semoga.

kini aku baru merasakan. memendam rindu sungguh tidak menyenangkan. kamu tau bagian paling membahagiakannya? saat melihat kamu mengaktifkan sosial mediamu. secara tidak langsung, aku mendapat kabar bahwa kamu baik-baik saja. walaupun itu hanyalah hal yang tidak penting, aku senang. sangat senang.

aku pun baru merasakan. memendam panas hati karena terbakar api cemburu tidak kalah menyebalkan. aku tertekan. memendam sendiri rasa cemburuku tanpa bisa aku katakan pada siapapun. dan akhirnya, tulisan ini menjadi satu-satunya tempatku melampiaskan rasa.

memendam rindu tidak menyenangkan, terbakar api cemburu menyebalkan. dan kini aku terperangkap di antara keduanya. bisa kamu bayangkan perasaan sesak yang tersimpan rapat di dalam dadaku? aku simpan sangat rapat. sehingga tak satu pun orang yang menyadari hal ini. aku harap.

jika kamu menanyakan kabarku, disini aku juga baik-baik saja. setidaknya itu yang aku tunjukan kepada dunia. jika kita bertemu nanti, mungkin aku pun akan menunjukan sisiku yang seperti ini. meskipun aku tau, sulit meyakinkan diriku sendiri bahwa aku baik-baik saja. aku akan tetap berusaha. supaya tak ada lagi hati yang terluka. namun, percayalah. disini aku tidak baik-baik saja.

tangerang selatan, 26 maret 2020

dari aku, yang dihantui
perasaan bersalah.

senandika.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang