Dua Tahun Lalu

75 6 1
                                    

"Sampaikan salam ku padanya, katakan aku turut bahagia untuk pernikahan mereka" ujar wanita berambut coklat sepunggung itu. Berulang kali ia mengadahkan kepalanya agar cairan bening itu berhenti menetes membanjiri kulit pipinya. Sebuah tangan mengulur perlahan mengusap punggung wanita itu dan menariknya mundur hingga terjadi benturan kecil menyentuh dada bidang pria itu.

"Menangislah dengan puas karena kau berhak untuk meluapkan kemarahanmu. Aku tak akan menghakimimu hanya karena kau meneteskan air mata" guman Maurice seraya mendekap erat tubuh ringkih itu, yang kini tengah bergetar hebat setelah mendapatkan dukungan dari pria yang sudah menjadi sahabatnya selama satu tahun terkahir ini.

"Apakah aku se idiot itu sampai benar-benar tak menyadari apa yang terjadi di antara mereka?"isak Axella dengan suara getirnya. "Apakah aku tidaklah layak menjadi pendamping hidupnya sampai-sampai ia lebih memilih orang lain dari pada diriku?" Maurice semakin mengeratkan dekapannya, seolah ia menyalurkan energynya pada tubuh mungil itu.

"Maurice ... dari sekian banyak wanita di muka bumi ini, kenapa harus Helena sahabatku? dan kenapa harus aku yang terluka? Kenapa?!" kali ini Axella sedikit histeris.

"Dia bukan untukmu xel, itulah kenyataannya"

Hening

"Kau berhak mendapatkan pria baik-baik yang sanggup menjaga diri dan hatimu"tambahnya.

"Kenapa harus dia ayah dari bayi itu ... kenapa?"
Sepenggal kalimat terakhir sebelum Axella kehilangan kesadarannya. Wanita itu akhirnya terjerembab setelah sekian lama menahan kesakitannya seorang diri. Menelan bula-bulat pil pahit akan kenyataan yang terjadi dalam hidupnya  seolah mimpi buruk datangnya dari dasar neraka yang paling dalam.

Calon suaminya, Lucas Benjamin menghamili sahabatnya Helena tepat 2 minggu sebelum pernikahan mereka.

***

"Maafkan aku tidak bisa menemanimu" ujar Maurice sendu seraya mengenggam tanganku dengan lembut.

Ku tatap mata biru nya dengan senyum simpul di wajahku. "Kau sudah bisa mengantarku saja ke bandara aku sudah senang, aku yang seharusnya minta maaf kepadamu karena membuatmu menuda rapat pentingmu" Maurice terkekeh hingga menampilkan dua lesung pipinya yang menawan. Seketika aku sadar pria ini memiliki paras yang rupawan seperti si brengsek itu. Cih! masih saja ku puji pria laknat itu? Seketika aku mengutuk ucapanku dalam hati.

"Kau tidak hanya cantik,pintar dan kuat tapi kau juga hebat" Aku mengerutkan kedua alis ku.

"Ya.Mungkin kau satu-satunya orang yang tetap pergi untuk menikmati bulan madumu meski pernikahannya tidak pernah ada"

Aku terkekeh

"Jepang adalah pilihanku, dengan atau tanpanya aku akan tetap pergi ke negara itu"

Kami berdua terdiam, namun Maurice masih menggengam tanganku dengan erat seolah tidak rela melepas kepergianku. Tatapan matanya .. entahlah sulit bagiku untuk menarsirkannya, seperti ada amarah, kecewa dan kelembutan terpamcar bersamaan.

"Cah,aku sudah harus boarding" ujarku memecah keheningan .Aku memeluk singkat tubuh tegap itu namun saat aku ingin melepasnya Maurice menahannya dengan lembut.

"Terimakasih untuk tidak membenciku"

"...."

"Aku akan merindukanmu dan aku akan disini untuk menyambutmu kembali"

Ku lepas pelukkannya perlahan dan ku berikan senyum terbaikku pada pria yang ada di hadapanku ini.

"Kau hanya sahabatnya sekalipun kau saudara kembarnya aku tetap tidak akan membencimu. Sebab dialah satu satunya orang yang harus bertanggung jawab atas kekekacauan ini"

Maurice tersenyum mendengar jawabanku sekali lagi dua lesung pipinya yang begitu menawan tersaji di hadapanku.Pria ini ... baru kusadari jika ternyata ia begitu menawan segera ku palingkan wajahku dan perlahan berjalan meninggalkan nya. Jantung ku masih berdegub hebat menahan emosi kesedihan yang masih bergemuruh di dalam dada. Entah setan macam apa yang merasuki pikiran ku hingga memutuskan untuk pergi mengikuti perjalanan bulan maduku yang seharunya dengan si brengsek itu.

-TBC

Golden CageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang