1

88 14 5
                                    

Koridor sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa siswa yang tampak berlalu lalang. Bel pulang sudah berdentang 15 menit yang lalu. Murid-murid lain sudah berhamburan, membubarkan diri. Tidak ada yang berminat berlama-lama mengurung diri didalam kelas. Menyisakan sosok Biru disana, sendirian.

Dengan posisi kepala menelungkup, diatas dua tangan yang ditumpukkan jadi satu diatas meja. Sebagian rambutnya terburai ke samping, sebagian yang lain ikut terbenam bersama wajahnya. Diam tak bersuara. Punggungnya bergerak naik-turun, tanda ia masih bernapas. Sepi sekali rasanya.

Saat-saat seperti ini, biasanya, akan ada sosok Saga yang datang dengan langkah tergopoh-gopoh, menggebrak meja, mengagetkan Biru. Atau setidaknya menarik pelan helaian rambut Biru yang terburai. Lalu, menyeret paksa Biru ke tepi lapangan untuk menemaninya latihan sembari menunggu hingga Saga selesai berlatih, kemudian mereka akan pulang bersama.

Dengan posisi seperti itu, orang-orang akan mengira ia sedang tertidur. Mereka tidak tau saja bahwa didalam kepala Biru ada ratusan pertanyaan tengah berputar-putar, memenuhi otak.

Ponselnya bergetar secara tiba-tiba. Biru tersentak kaget, lamunannya buyar. Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel tersebut. Dahinya berkerut, saat mendapati nama Satya Anugerah tertera disana. Baru ingin menekan panel hijau. Panggilan terputus.

Suara deheman mengalihkan perhatiannya. Arah jam 2, dipintu, berdiri sang ketua kelas, Satya Anugerah, tengah menatap ke arahnya sembari menggenggam ponsel.

"Cuma mau pastiin kalo lo nggak ketiduran." Satya tersenyum, menggoyangkan ponselnya ke kanan dan ke kiri, berusaha meyakinkan Biru.

Satya melangkah mendekati mejanya sendiri. Biru mengikuti setiap pergerakan Satya. Satya terlihat menunduk, meraih sesuatu dalam laci meja, kemudian tubuhnya kembali tegak dengan kunci motor ditangan.

"Gue cuma mau ambil ini, ketinggalan." Satya kembali menjelaskan tanpa diminta. Biru mengangguk sekenanya.

Mau tau seperti apa sosok Satya? Pernah tidak melihat seseorang yang memiliki mata teduh, dengan tatapan tajam? Nah, Satya seperti itu. Dia seorang karateka terbaik. Perawakannya tinggi, kulit ke-cokelat-an, rambut hitam. Ketua kelas yang bertanggungjawab.

Iya, Satya sesempurna itu.

"Btw, diluar lagi mendung. Mau pulang jam berapa, Bi?" Satya bertanya, matanya menatap ke arah jam dinding.

Biru tergagap. Pasalnya, ini kali pertama ia bisa berbicara empat mata bersama Satya. Ia sering melihat Satya berbicara di depan kelas, berwibawa sekali. Tidak hanya dirinya. Biru rasa semua orang yang melihat Satya akan langsung menyukainya.

"Hmm .. gak tau." Biru menjawab, melempar pandang ke arah jendela. Mengamati langit mendung.

'Langitnya kayak gue ya, Sat?' Biru membatin.

"Lagi nunggu temen, ya?" Satya bertanya lagi.

"Nggak kok." Biru bisa melihat Satya mengerutkan dahinya.

"Ya, terus nunggu jemputan? Gak kejauhan ya, kalau nunggunya disini?" Satya masih belum menyerah.

"Gak lagi nunggu apapun." Biru boleh bilang tidak, kalau ternyata berbicara berdua saja bersama Satya itu, sedikit melelahkan.

"Terus ngapain disini?"

"Iseng." Suara tenang Biru, berbanding terbalik dengan raut wajahnya.

"Lo pulang naik apa?"

"Bis." suara tenang Biru raib.

"Okay, kayaknya lo mulai kesel." Satya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Gue cuma kasih tau, kalau halte bis disaat hujan deras bakal sepi. Tempat sepi gak aman, apalagi buat cewek. Ditambah ceweknya secantik lo." Satya bermaksud bercanda.

"Kok kedengerannya ngeremehin cewe banget, ya?" Biru bertanya, sebelah alis matanya terangkat.

"Jangan terlalu serius, Bi. Gue gak bermaksud gitu kok. Niat gue baik. Tapi, kalau lo malah ngerasa baru aja gue remehin, gue minta maaf." Dari cara Satya menatapnya, Biru tau bahwa Satya benar-benar tulus.

"Tadinya gue berharap bisa kasih kesan yang baik, tapi malah jadi kayak gini." Sebelah ujung bibir Satya tertarik ke atas.

"Take care. Gue harapnya setelah ini lo gak jera ngomong sama gue." Pinta Satya.

"Gue rasa waktunya gak tepat, ya. Suasana hati lo lagi gak baik." Biru tersenyum masam, Satya saja tau.

"Duluan, Bi." Berbalik badan, Satya melangkah mendekati pintu.

"Satya." Biru bersuara. Satya berbalik, menatap Biru.

"Ya?"

"Gue yang harusnya minta maaf... Lo bener, suasana hati gue lagi gak baik. Gak seharusnya gue kayak tadi." Biru menatap Satya.

"Gue minta maaf." Satya tersenyum, mengangguk.

"Dimaafkan. Gue juga, ya?"

"Iya."

"Gue udah ditungguin tim, duluan." Satya melambaikan tangannya ke arah Biru. Biru hanya membalas dengan senyuman.

Saga benar, tidak ada yang salah dengan meminta maaf untuk kesalahan yang kita lakukan. Dan betapa melegakannya menjadi seorang pemaaf.

Dan jika memang benar, Saga berubah karena keegoisannya, merasa terkekang selama belasan tahun belakangan ini, Biru janji akan berubah demi Saga. Agar Saga tetap nyaman menaungi planet abu-abu, sedikit putih, kebanyakan biru miliknya.

***

Bagaimana kabarnya hari ini?
Pasti lelah ya, dengar kabar buruk terus? Bosan juga, kan?
Tapi, jangan berhenti percaya, ya? Bahwa cepat atau lambaat kabar bahagia itu akan datang.
Yang tetap dirumah, tetap tersenyum. Yang harus keluar rumah, hati-hati.

Jaga kesehatan.
Semoga Tuhan yang Maha Esa selalu melindungi, dimanapun kita berada. Aamiin ♡

CROWN SHYNESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang