3

84 13 2
                                    

'Teruntuk masalalu, berhentilah menepuk pundakku.'


------------------------------


Biru melangkah tergesa-gesa, memaksakan kakinya yang sedikit dilanda tremor untuk tetap tegap berjalan. Rasa melankolis itu masih tetap ada meski ia sudah berhasil melewati tangga penghubung antara kelas 11 dan 10, yang terpenting melewati gerombolan yang terus tertawa tanpa memedulikan sosoknya. Biru terus merapalkan kalimat penenang dalam hati :

'Jangan sedih! Semua itu palsu, tawa itu palsu, kehangatan itu palsu, kamu tak butuh itu semua. Tidak ada yang salah dari menjadi diri sendiri, Bi. '

Lalu tanpa bisa Biru kendalikan, satu persatu wajah The Gringos, sebutan lain yang Biru sematkan untuk orang-orang yang tak lulus kualifikasi-masuk dalam planet miliknya, atau setidaknya untuk orang-orang yang telah menolak kehadirannya, mengingat dulu Birulah yang berusaha untuk menjadi sebulu dengan kawanan The Gringos, tiba-tiba hadir dalam benaknya.

Seperti kaset rusak, ingatan buruk itu berdatangan secara random. Biru kelimpungan, ini akan jadi rumit jika dibiarkan. Biru berusaha menekan kuat agar ingatan itu tak kembali merebak atau semua yang ia susun harus berantakan.

Menggeleng kuat, lalu memukul kepalanya agak keras, berjalan terburu-buru. Rambut coklat gelap sebahu yang awut-awutan. Rasanya Biru tak lagi peduli, orang-orang akan menatapnya dengan tatap aneh. Bahkan disertai bisik-bisik yang tak pernah benar-benar terdengar seperti berbisik sekalipun. Sebab bisikan itu selalu mampu bergema di indera pendengarannya selama ini.

Sebenarnya Biru benci mengakui, kalau bisikan itu selalu mampu membuatnya merasa menjadi sosok pesakitan, sosok pendosa yang patut disalahkan atas apapun yang terjadi. Biru muak, Biru marah tapi tak pernah tau kepada siapa ia harus marah.

Anggapan bahwa manusia itu makhluk yang egois, itu tak sepenuhnya salah. Sebab pada prakteknya, Biru seringkali mendapati orang-orang tertawa dan menertawakan atau membuka topik mengenai sesuatu yang sama sekali tak pernah berhubungan dengan mereka hanya agar kehidupan mereka terlihat lebih hidup.

Sibuk bergosip sana-sini, merasa paling berhak menghakimi seperti makhluk tanpa cela. Merasa paling memahami kehidupan, pandai-pandai menarik sebuah kesimpulan hingga membentuk paradigma belok yang mereka sepakati sebagai acuan menjalani keseharian. Mereka, makhluk yang memuakkan.

Lebih memuakkan lagi, ketika mereka saling jatuh menjatuhkan, hasut menghasut hanya untuk membuktikan siapa pihak yang lebih tangguh dan kuat sebagai kandidat pemenang. Biru pernah terjebak diantaranya, sebab dulu ditengah usahanya menjadi sebulu dan sewarna dengan kawanan The Gringos, kawanan itu pernah pecah beberapa kali, lalu kembali membaik seperti sedia kala, seperti tak pernah ada pertarungan sebelumnya, yang dimata Biru terkesan palsu dan memaksa.

Hanya dengan kata ma'af dan sedikit kalimat mengelu-elukan, semua kembali membaik setelah sebelumnya saling membicarakan keburukan masing-masing dari telinga satu ke telinga yang lain. Bagi Biru, itu terlalu berlebihan dan naif untuk memulihkan apa yang sebelumnya pernah terjadi.

Mengesampingkan segala yang lalu, Biru baru saja membelah gerimis yang cukup lebat dengan pikiran berkecamuk, didepan sana halte bis terlihat sepi tapi masih menyisakan beberapa siswa-siswi dengan tatap lelah dan berbagai macam sendu maupun gairah hidup yang siap dilelapkan diatas kasur barang sejenak.

Biru sempat berpikir memesan ojol atau taxi online saja, tapi ia segera menyadari itu bukan opsi yang tepat. Selain tak memiliki aplikasinya, Biru juga tak memiliki keberanian lebih. Bukan tak pernah memakai jasa itu, selama ini selalu ada Saga disampingnya. Memastikan ia akan baik-baik saja. Tapi, sekarang keadaan berbeda. Mencoba berpikir positif, barangkali Saga terdesak waktu hingga tak sempat menemuinya seusai lonceng pulang berdentang.

Pun harus Biru akui, kehadiran siswa-siswi itu dapat meminimalisir ketakutan yang sempat datang untuk menggugat. Lagipula, siswa-siswi itu tidak berkoloni. Tampak normal dimatanya. Beberapa dari mereka tampak bermain ponsel, berselancar didunia maya, atau menelpon ria, atau sekedar menikmati alunan musik, terlihat tidak peduli pada sekitar. Sebagian yang lain tampak tenggelam dalam buku bacaan, entah itu novel atau buku mapelnya.

Biru segera memposisikan diri dibangku paling pojok halte. Gestur tubuhnya tampak kikuk, tidak bisa sesantai yang lainnya. Lalu, Biru tertegun, menyadari sesuatu. Mereka terlihat nyaman dengan kesendiriannya. Terlihat baik-baik saja.

Lalu, apa yang membuat mereka bisa setenang ini?

Lagi, Biru hanya bisa menyuarakan tanya dalam hati, sebab dengan bertanya secara langsung, ia hanya akan terlihat semakin bodoh dan tampak menyedihkan. Dan Biru tidak suka itu.

Melempar pandang pada rintik hujan yang mulai jatuh, makin deras. Tidak lagi gerimis. Rintik itu bahkan meninggalkan bekas cipratan disepatunya. Sesekali gemuruh terdengar. Sisa-sisa petrikor masih tercium. Baunya menenangkan. Tapi tak berhasil membuat Biru nyaman dengan kondisi yang terjadi. Harap-harap cemas.

Bisnya kapan datang? Berapa lama ia harus menunggu?

Siswa-siswi tadi juga menampilkan raut jengah. Kebosanan dan terlihat menghela napas panjang. Dari semua yang terlihat, Biru menarik sebuah kesimpulan, ada masalah dengan bisnya. Dalam hati, ia merapalkan harapan :

'Semoga bisnya gak kenapa-napa.'

15 menit terlewati, hujan sedikit mereda, penantiannya tak sia-sia, bis itu datang dari arah timur. Siswa-siswi itu segera berkemas, terlihat menghela napas lega. Mereka memasuki bis, Biru diurutan terakhir. Duduk dibangku paling belakang. Berusaha menyembunyikan raut cemasnya.

Bisnya gak bakal bawa dia ketempat yang salah, kan?

Lalu, seorang petugas bis menghampirinya. Awalnya ia mengira petugas itu akan meminta uang, tapi dugaan itu salah. Petugas itu meminta Kartu Pelajar miliknya. Membaca sekilas, lalu kartu itu dikembalikan lagi pada Biru.

"Neng pertama kali naik bis, ya?" Petugas itu bertanya, Biru hanya tersenyum kikuk sebagai jawaban.

"Gak usah khawatir, neng. Bisnya aman kok. Fasilitas ini memang ditujukan untuk anak sekolah. Program pemerintah." Petugas itu berbicara dengan suara lantang, jauh dari kata berbisik.

Beberapa penumpang bahkan terlihat menatap ke arahnya. Penuh minat. Dan sekali lagi, Biru tak suka atensi itu. Ia risih.

"Yang paling penting, fasilitasnya gratis, neng. Gak bayar." Petugas itu kembali menjelaskan, kali ini dengan menekankan kata 'gratis dan gak bayar.'

Biru merasa sedikit tersinggung. Meskipun ia tau petugas itu tak pernah bermaksud menyinggungnya. Lalu, deheman terdengar dari arah depan bis. Petugas itu menggaruk-garuk kepalanya.

"Ma'af, neng. Bapak jadi nyerocos begini, ya." Petugas itu tersenyum sungkan.

"Gak papa, pak." Biru menggeleng pelan.

"Oh ya, nanti bisnya berhenti, neng tinggal turun. Ingat gak pake bayar. Nanti malah pungli jatuhnya." Petugas itu kembali mengingatkan.

"Iya, pak." Biru tersenyum seraya mengangguk.

Sesuai intruksi petugas itu, Biru dan penumpang lain diturunkan sesuai alamat yang tertera dikartu pelajar. Untuk saat ini, tak ada yang lebih melegakan ketika akhirnya bis itu benar-benar membawanya ke arah yang benar. Didepan sana, gang kompleks perumahannya terlihat. Ia hanya perlu berjalan untuk sampai ke rumah.

Biru tak henti-hentinya merapalkan kata terimakasih entah untuk dirinya atau untuk petugas itu atau bahkan untuk pemerintah.

Lalu, Biru mendongak ke atas, menyadari sesuatu. Semilir angin yang membawa rintik hujan tampak menyapu lembut wajahnya.

Atau haruskah ia berterimakasih pada Tuhan terlebih dahulu?

***

Hai, bagaimana kabarnya?

Semuanya tampak melelahkan, ya? Karena kondisi semakin terasa pelik dan sama sekali tak membawamu pada keberuntungan. Tak apa, mengeluh itu manusiawi.

Tapi, jangan pernah berhenti percaya bahwa Tuhan dan segala rencana-Nya, tengah menginginkan kebaikan untukmu, ya.

CROWN SHYNESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang