Biru tersentak, kala gemuruh hadir menyapa gendang telinganya. Bergegas merapikan beberapa alat tulis yang belum sempat ia masukkan ke dalam ransel, lalu menyampirkan talinya dikedua pundak.
Melangkah tergesa-gesa ke arah pintu.Setibanya disana, ternyata langit lebih mendung dari terakhir kali ia lihat. Gerimis sudah turun. Di dalam pikirannya sedang menari-nari adegan Satya tengah tertawa terbahak-bahak, tengah meledeknya. Satya menang. Biru kalah.
Terlintas juga disana bagaimana adegan Biru yang menggigil kedinginan menunggu sendirian di halte bis. Lalu ada beberapa pemuda datang menghampiri, berniat buruk kepadanya.
Biru takut. Bagaimanapun ini kali pertama ia menaiki bis sendirian tanpa Saga. Belum lagi bayangan ia dicopet didalam bis. Atau diculik, terus mayatnya dibuang. Biru bergidik ngeri. Segera menyesali keputusannya untuk memilih pulang naik bis ketimbang diantar Dio.
Sebagian dalam dirinya, membenarkan apa yang Satya katakan. Sebagian yang lain, meyakini bahwa perempuan tidak selemah itu. Tapi ...
'Apa gue susul Saga aja, ya? Eh, tapi jangan. Untuk kali ini aja, Bi. Jangan nyusahin Saga. Jangan egois. Lo pasti bisa. Ayo, semangat. Gak bakal ada yang terjadi. Semua cuma bayangan. Jangan biarin Satya menang.' Biru membatin, berusaha meyakini dirinya.
Mengambil banyak pasokan udara untuk mengisi paru-paru agar bisa berpikir jernih. Biru kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Meremas ponselnya pelan, guna mengurangi kecemasan.
Di depan sana terlihat beberapa siswa masih asyik berdialog satu sama lain, mengabaikan mendung dan gemuruh. Mereka tertawa. Kebersamaan yang tampak hangat diantara mendung dan gerimis yang turun jatuh.
Biru tertawa miris dalam hati. Menertawakan betapa kelabu dunianya. Sesaat ia tersadar. Apa yang harus ia takuti dari mendung, ketika ia sendiri adalah bagian dari mendung itu selama ini.
Dulu, Biru pernah mencoba untuk menjadi pribadi yang lebih hangat. Lebih membuka diri. Namun, ia ditolak, ia di asingkan dengan alasan ia terlalu sempurna untuk menjadi satu bagian dari koloni.
Takut merasa tersaingi. Sebab, setiap kali Biru berjalan beriringan, selalu ia yang akan menjadi pusat atensi. Biru ingin menyangkal, tapi itulah yang terjadi. Belum lagi ia dituduh sebagai pelakor, si perebut cowok incaran teman atau si teman makan teman, karena ialah yang menjadi alasan kenapa hubungan cinta anggota koloninya berakhir.
Padahal ia tak pernah menanggapi atau mengganggu apapun milik koloninya. Ia adalah orang yang tau batasan. Lagipula ia tak pernah bisa paham seperti apa jalan pikiran orang pacaran.
Bahkan dulu, ia seringkali dibuat menangis, mengurung diri dikamar, mengabaikan Saga dan mama yang berulangkali bolak-balik mengetuk pintu kamarnya hanya untuk memastikan ia baik-baik saja. Seharian menatapi cermin yang memantulkan dirinya. Biru benci wajah itu. Haruskah ia menyakitinya? Kenapa ia harus dilahirkan dengan wajah itu? Kenapa ia harus disalahkan? Kenapa Tuhan menciptakan paras ini untuknya?
Mama bahkan harus ikut terbebani karena masalahnya. Kalang kabut membawanya ke Psikolog. Menghabiskan uang ratusan ribu hanya untuk satu kali janji temu. Yang isi temunya sama sekali tak membantu. Karena menurut Biru, tak ada yang salah dalam dirinya kecuali wajahnya. Seharusnya mama membawanya ke dokter bedah plastik saja. Atau teman-teman koloninya saja yang dibawa ke psikolog agar mereka bisa merubah pola pikir.
Belum lagi keyakinan Biru, kalau bukan karena uang, ia yakin wanita berkaca mata yang mengaku seorang psikolog itu takkan pernah mau repot-repot membantunya. Berbicara monoton, lalu melakukan analisa dan menetapkan ini itu terhadap Biru.
Untuk membuat semuanya menjadi lebih mudah bagi mama dan wanita berkaca mata itu tentu saja, Biru membuat dirinya seolah-olah tak lagi memiliki ketakutan ketika melihat dan memandangi dirinya didepan cermin. Berusaha sekuat tenaga untuk mengurangi bahkan mengendalikan euforia yang selalu datang setiap kali bertemu cermin.
Dan ia berhasil meyakinkan sang mama dan si wanita berkaca mata itu dipertemuan ke-lima-nya. Mama senang dan bersyukur tentu saja. Biru juga senang, karena berhasil mengelabui mereka. Dalam pikirannya, ia selalu bilang :
'Tak apa, ini untuk kebaikan mama, untuk kebaikan keuangan keluarga.'
Untuk membuat semuanya dalam kendali dirinya, ia membatasi semua lingkup pergaulan disekolah. Bersembunyi sebisa mungkin dari peradaban. Menjadi putri malu. Pribadi tertutup, semakin mengokoh dalam dirinya. Hanya akan ia buka ketika bersama Saga. Melabeli semua orang-orang yang ia kenal.
Biru bahkan mulai meyakini bahwa ia punya planet sendiri. Planet yang hanya terdiri dari 3 warna, abu-abu mewakili dirinya, biru untuk mama dan putih untuk Saga.
Dalam keyakinannya Planet itu berukuran kecil. Tentu tak sebanding dengan planet maha luas milik Saga yang ditaburi warna-warni tumpahan glitter. Kerlap-kerlip dikejauhan. Menawan. Tapi, tak apa. Ia takkan insecure untuk itu. Bahkan ia menerima dengan senang hati ketika Saga menawarkan diri, menaungi planetnya dari kehancuran.
Biru tak akan menyangkal ketika ada yang menuduhnya egois perihal Saga. Biru rasa selama ini ia hanya punya Saga dan hanya Saga yang bersedia untuk dimilikinya. Untuk perihal yang satu ini, Biru benarkan? Iya, kan?
°°°
Setidaknya kamu harus baik untuk dirimu sendiri dan Tuhan yang telah menciptakanmu, ya.
Kita hidup didunia ini saling berdampingan. Saling membutuhkan. Jangan semena-mena. Kebebasan juga harus diiringi kesadaran akan tanggungjawab, kan?
Jadi, mau ya, memperbaiki diri? Iya, kita akan sama-sama melakukannya.
'Kamu dibatasmu, aku dibatasku.'
Seperti itu aturannya. 😇😇
KAMU SEDANG MEMBACA
CROWN SHYNESS
Teen FictionKarena berpaling darimu adalah caraku menyayangimu dan diriku sendiri. _____________________ Thankyou for your constant love and support.