5

45 2 0
                                    

Aku berdiri dengan rambut sedikit lepek dan buku cetak Matematika yang kudekap erat dengan tangan kananku di depan sebuah Coffee Shop, tempatnya tidak terlalu besar. Akhir-akhir ini, aku merasa cuaca tidak bisa diprediksi. Beberapa waktu lalu, hujan turun tanpa gerimis, membawaku ke tempat ini. Ke tempat terakhir kali aku melihat si 'asing' Lakka menghilang di balik pintu kaca didepanku.

Jangan. Jangan tanya dari sekian banyak tempat yang bisa kujadikan tempat berteduh, kenapa memilih tempat ini. Aku bahkan tidak mengerti.

Selama beberapa menit aku hanya memilih diam menatap pintu, berpikir bahwa,

'Jangan-jangan si 'asing' Lakka ini punya bakat hipnotis, dan sekarang dia lagi dendam karena jabat tangannya tidakku balas.'

Mengumpulkan segenap keyakinan, aku memilih untuk menggapai pintu dan mendorongnya. Lalu masuk ke dalam. Suara lonceng yang terpasang didekat pintu berbunyi, mengagetkanku. Bertepatan dengan itu, aroma khas kopi menyeruak dalam indera pembauku. Enak. Aku suka baunya tapi tidak dengan meminumnya.

'Kira-kira boleh tidak, ya, kalau hanya duduk tanpa memesan apapun.'

"Selamat sore dan selamat datang di kedai kopi Tanpa Rencana kami." Seorang pelayan kedai berseru ke arahku dengan senyum kelewat lebar.

Aku tersenyum simpul menanggapi. Lalu, berjalan sedikit ragu ke arah barista.

'Pesan nggak, ya? Duh, nggak deh. Eh, tapi mbaknya kan udah senyum.'

Melanjutkan langkah, aku berdiri didepan barista dan yah, tepat disamping si 'asing' Lakka yang sedang duduk didepan mini bar. Aku bisa melihat kerutan didahinya. Keheranan, mungkin.

'Tapi kenapa?'

"Sudah tau mau pesan apa?" Sang barista bertanya, memutuskan atensiku terhadap Lakka. Ya, walaupun hanya berbentuk lirikan.

Aku berdeham, sebelum menggeleng. Lalu, barista itu menyodorkan daftar menu ke arahku. Aku menerimanya.

"Hmm, kaloo .. ice cream ada gak kak?" Cicitku.

Mendadak saja aku merasa menjadi orang bodoh setelah itu.

Hening, dan keinginan untuk kabur dari kedai ini semakin kuat. Didepanku, si kakak barista dan Lakka tampak saling adu pandang. Hingga kemudian, si 'asing' Lakka mengambil buku menu ditanganku. Sejenak membolak balikkan lembar buku menu, dan menunjuk sebuah gambar. Menu dengan foam berkarakter diatasnya.

"Ini, gue saranin yang ini. Latte Art."

Aku sedikit tersentak. Mengira akan ditertawai habis-habisan oleh mereka berdua. Tapi, ternyata tidak.

"Iya, saya yakin rasanya pasti cocok dilidah kamu."

"Hmm .. iya deh." Oke, tidak ada yang salah mengikuti saran dari mereka, kan?

"Mau karakter apa?"

"Hmm.. sapi, boleh?"

"Boleh banget. Tunggu sebentar, ya. Duduk dulu aja, gapapa." Aku mengangguk.

Membalikkan badan, membelakangi sang barista yang mulai tampak sibuk meracik kopi. Aku menyisiri seluruh tempat. Baru menyadari bahwa kedainya tidak terlalu ramai. Sebagian besar furniture-nya terbuat dari kayu. Dindingnya dihiasi lukisan hitam putih, menambah point klasiknya. Ada beberapa lampion yang digantung dilangit-langit kedai. Setiap sudutnya diisi tanaman yang ditanam didalam pot.

Aku melangkahkan kakiku kearah pojokan. Karena pojokan sepertinya akan cocok menjadi tempatku menghabiskan secangkir Latte Art sendirian.

Aku bisa mendengar suara Tulus timbul tenggelam ditengah riuhnya hujan yang turun. Aku rasa asal suaranya dibalik dinding sebelah kanan kedai ini.

Pengunjung yang datang dan duduk tampak sibuk dengan dunianya masing-masing. Ada pasangan yang sedang bersiteru lewat tatapan, mungkin bermaksud menghormati pengunjung yang lain. Ada yang tenggelam dengan buku bacaan, mengetik didepan laptop, bermain ponsel, ataupun bersenda gurau. Lalu, penglihatanku juga menangkap seorang perempuan tengah menatap awas ke arah pintu, barangkali ia sedang menunggu seseorang. Aku memilih abai. Toh, atensinya bukan untukku.

Aku meraba permukaan jendela kaca disebelahku. Hujan tampak mengembun disana. Aku mulai berpikir bahwa pasti akan menyenangkan ketika aku bisa menempelkan pipiku disini, tanpa harus terlihat bodoh.

Agak lama rasanya aku termenung hingga aku merasakan tanganku digenggam. Rasa hangat merambat dijemariku. Untuk sesaat, aku terhenyak. Dengan cepat kutarik tanganku, ketika menyadari Lakka lah pelakunya.

"Oh, oke. Gue nggak punya maksud apa-apa." Lakka mengangkat kedua tangannya ketika mendapati tatapanku yang kalo diartikan seperti 'jangan macam-macam.'

Disaat itulah aku mendapati sebuah buku cetak yang tidak asing bagiku di tangan si 'asing' Lakka. Eh, tunggu-tunggu, itu buku cetak matematikaku, kan?

"Punya lo. Ketinggalan, disana." Dia menjelaskan sembari menunjukkan tempat aku meninggalkan buku ini.

'Tuhkan, benar.'

Aku masih memasang tampang sangar. Aku tidak peduli. Apapun alasannya, ia tidak perlu menggenggam tanganku. Dia bisa meletakkan buku itu diatas meja, seperti ketika dia memberiku tissue. Toh, buku itu tidak akan bernasib sama seperti tissue pemberiannya, yang aku tinggalkan begitu saja. Buku itu punyaku dan aku masih membutuhkannya.

Aku merebut buku itu dari tangannya tanpa mengucapkan terimakasih. Lalu, melempar pandang dengan kesal ke arah jendela kaca. Aku tahu, ini mungkin terlihat jahat bagi kalian, tapi aku tidak peduli.

Bukannya pergi atau marah, Lakka malah duduk dikursi kosong didepanku. Dia bahkan tersenyum sekarang. Aku bisa melihat itu semua lewat sudut mataku.

Aku tidak suka berbicara banyak dengan mereka yang asing.

Aku bahkan tidak pernah tau bahwa didekat sekolahku ada tempat semacam ini.

"Lo pertama kali kesini, ya?" Aku seperti de Javu mendengar kalimat itu. Pertama kali.
Memangnya sejelas itu, ya? Barangkali sudah tentu iya, mana ada orang yang datang ke kedai kopi tapi yang dicari malah es krim.

'Ah, bodoh. Pasti karena itu.'

"Gue sering kesini tapi gak pernah liat lo. Apa perasaan gue aja?" Si Asing Lakka menatapku lamat-lamat diseberang sana.

Sepertinya manusia asing ini tidak akan berniat pergi sebelum kuusir. Bukan hanya wajahnya tapi karakternya juga menyebalkan.

"Cari es krim di kedai kopi. Saya pikir itu sudah jadi jawabannya." Diseberang sana, Lakka manggut-manggut. Dan tanpa bisa dicegah, kilasan wajah Park Chan-yeol terlintas sekali lagi. Dan itu artinya .. The Gringos juga.

"Saya nggak nyaman, bisa cari tempat yang lain aja?" Aku memasang wajah sedatar yang aku bisa.

"Gue .. hmm saya nggak bisa. Ini tempat favorit saya. Sorry." Lakka mengangkat kedua bahunya. Acuh tak acuh.

Masih dengan tatap penasaran yang entah bagaimana menjelaskannya, aku juga tak tahu. Tapi, satu yang jelas, itu menyebalkan.

Aku menghela napas kasar dan berdiri. Menggenggam buku cetak Matematikaku dengan erat. Berusaha untuk mengendalikan diri sebisa mungkin.

"Kamu manusia kesekian yang memandang saya seperti itu." Aku menukas pendek, setelah itu berjalan ke arah barista mengambil pesanan dan membayarnya. Kemudian, keluar dari tempat ini. Mungkin berteduh ditempat lain saja, yang penting tidak bersama Si Asing Lakka.

***

Segini dulu cukup?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 03, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CROWN SHYNESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang