Prolog

196 87 48
                                    

       Sang mentari telah menampakkan wajahnya. Langit terlihat berbahagia dengan warna birunya. Sedangkan hati gadis itu masih saja kelabu karena kehilangan orang yang dia sayang, yaitu ibu angkatnya yang meninggal karena penyakit tumor otak. Sekarang hidupnya menjadi tidak bermakna. Baru sebentar saja rasanya dia merasakan kedamaian dicintai ibu. Kini, hal itu telah berlalu.

      Tiba-tiba ada sebuah mobil lamborghini menuju rumahnya.

"Ravanya? Ini ayah nak." Ucapnya seraya memeluknya.

Deg.

Rasanya jantung Ravanya berhenti berdetak.

"Apakah aku sedang bermimpi? Bagaimana mungkin dia tau keberadaanku disaat semua orang menyembunyikan identitasku?" Gejolak di hatinya.

"Ini ayah nak. Di mana ayah angkatmu?"

"Di dalam. Silakan masuk pak."

"Ayah ada tamu."

"Siang pak, apa kabar? Masih ingat saya kan?"

"Vany kamu ke kamar dulu ya."

Ravanya pun pergi.

"Ayah kandungku masih hidup? Demi apa, aku sangat bersyukur setelah ibu kandungku menghilang entah kemana." Ucapnya.

Ravanya memang dibesarkan oleh keluarga yang notabennya angkat, yaitu sejak berumur 9 tahun, kelas 4 SD. Sejak kecil dia tinggal bersama kakek, nenek, dan bibiku. Dia belum pernah melihat ibu kandungnya secara langsung karena lahir dengan mata buta. Hanya seberkas album foto usang yang menampakkan rupa ibunya.

"Kak Vanya disuruh ke ruang tamu sama ayah." Kata adik angkatnya, Vena yang masih berusia 5 tahun.

"Oke."

"Vany kamu mau tetap tinggal disini atau bersama dia?"

"Aku bingung yah. Secara aku belum pernah bertemu ayah kandungku. Kalau boleh tau ayah tinggal di mana yah?"

"Di Semarang. Kalau bisa si mending sama ayah saja."

"Gimana ya? Bingung."

"Sebentar saya tinggal dulu, kami diskusi dulu." Kata ayah angkatnya.

"Yah kalau aku sih nggak masalah tinggal sama dia."

"Sebenarnya ini masalah buat kamu Vany."

"Kenapa yah? Dia bukan ayah kandungku?"

"Ayah belum bisa nglepasin kamu. Dia itu pengusaha pastinya sibuk."

"Ayah juga pengusaha kan? Aku tau yah gimana rasanya jadi anak pengusaha."

"Jadi, kamu nggak masalah tinggal sama dia?"

"Nggak masalah. Justru kalau tinggal di Semarang, aku nggak LDR lagi sama pacarku."

"Sejak kapan kamu punya pacar?"

"Maaf yah nggak ngasih tau. Udah lama semenjak aku ikut Popda tingkat provinsi. Dia atlet voli, namanya Fakih. Aku bentar lagi juga SMA kan? Aku sekolah di SMA Nusa Bangsa aja biar sama Fakih. Artinya aku udah punya teman kan? Ayah nggak usah khawatir."

"Lebih baik kamu tetap di sini nak."

"Kenapa yah? Aku masih kecil? Aku udah remaja, bisa jaga diri. Ayah bilang sendiri kan, di Semarang aku akan menemukan semua jawaban tentang keluargaku. Aku harus tau semuanya. Jangan halangi aku menghilangkan tanda tanya yang sangat mengganggu."

"Kehidupan di sana keras. Kamu belum siap menerima kenyataan, mentalmu masih lemah. Di sana kamu akan diterpa isu serta teror yang membuatmu jatuh."

"Apapun yang terjadi itu adalah ujian. Ujian yang akan mendewasakan Vanya yah."

"Nanti tunggu kamu kelas 2. Ayah janji kamu akan tinggal di sana."

"Aku butuh semua jawaban tentang hidupku secepatnya."

"Yakin kamu sudah siap menerima semua kenyataan? Kamu sudah siap diteror? Di sana masyarakat tidak asing dengan wajahmu. Ada banyak konsekuensi yang harus kamu tanggung."

Memang wajah Ravanya lumayan mirip dengan ibunya, jadi wajar ayah berbicara seperti itu.

"Mungkin itu adalah hidup yang sesungguhnya. Hidup dengan dipenuhi rintangan. Aku siap dengan semuanya karena itu memang jalan hidupku. Manusia memang punya rencana, tetapi Tuhan yang akan mewujudkannya."

"Baiklah jika itu keinginanmu. Kamu harus ingat, jangan bertindak bodoh yang bisa membuat namamu tercoreng! Jangan mudah menerima orang lain! Bisa jadi dia adalah mata-mata orang yang membenci keluargamu. Jangan mudah tertipu! Jangan sembarangan menceritakan tentang hidupmu! Ingat, kita tidak tau apakah orang tersebut memakai topeng atau tidak. Bersikaplah sewajarnya. Permainan hidupmu akan segera dimulai nak. Jangan pernah menyalahkan takdir karena kamu sendiri yang telah memulai permainan ini. Otak dari permainanmu adalah dirimu sendiri. Bersiaplah!"

"Semua adalah takdir Tuhan, skenario Tuhan. Tuhan yang telah mengatur semuanya, Tuhan adalah sutradara terbaik."

"Dia siap menerima semua konsekuensinya. Tolong jaga dia! Lindungi dia dari orang-orang yang berniat jahat kepadanya!"

"Tentu. Itu sudah menjadi tanggung jawabku. Terima kasih telah merawat dia dengan sepenuh hati."

Otak dari permainanmu adalah dirimu sendiri.

Ravanya merasa ragu untuk melangkah. Dia ingin merubah keputusannya. Namun, dia ingin segera mengetahui rahasia keluarganya. Inilah kisah Ravanya Anggreani Verania Zhelifa. Orang mengenalnya dengan nama Ravanya Anggreani. Inilah pilihan hidupnya. Inilah jalan hidupnya. Kehidupan yang sesungguhnya akan segera dimulai. Bersiaplah!

***

Secret [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang