Bagian Tiga : Some Sugar

59 3 0
                                    

"Terlalu sulit untuk memahami orang lain, tapi aku tahu rasanya kesepian itu bagaimana."

•••

"Aww ... !"

Adhara merintih ngilu saat telapak tangannya menyentuh bagian tubuhnya yang terlihat kebiruan dan ada beberapa bekas luka. Ia mengekspos sebagian tubuhnya di depan cermin.

Manik mokanya menatap lekat pantulan tubuhnya yang penuh luka itu. Karena hujan tadi lukanya jadi terasa perih. Tubuhnya basah kuyup oleh air hujan. Setetes air dari rambutnya mengalir ke setiap lekuk wajahnya dan berakhir di ujung dagu.

Luka yang mengerikan.

Bukan. Itu bukan karena kecelakaan atau ketidaksengajaan. Dilihat dari jejak lukanya, semua orang akan tahu itu adalah luka pukulan.

Dan yang lebih parah pelakunya adalah ...

Brak!

Adhara tersentak kaget saat mendengar suara pintu yang dibanting keras. Refleks ia melangkah ke depan pintu kamar mandi dan mengintip ke ruang tengah.

"Lagi?" monolog Adhara saat melihat Bara—ayahnya— masuk ke dalam rumah dengan sempoyongan.

"Adhara!!" Panggilan ayahnya itu membuat jantung Adhara berdetak kencang.

Secepat mungkin Adhara menghampiri pria itu. Ia hanya berharap  sesuatu yang buruk tidak terjadi padanya.

Tidak memberi kesempatan berbicara, Bara mencengkeram rahang Adhara dan menatapnya tajam dengan matanya yang merah, tidak ada bedanya dengan iblis.

"Kamu mau kasih makan saya angin!?" Bentak Bara dengan telunjuknya mengarah ke meja makan yang kosong.

"Maaf, Yah. Bahan makannya habis," jawab Adhara samar karena rahangnya tertahan.

Satu tamparan mendarat di pipi Adhara. Sakit. Dan itu semakin sakit saat ia sadar tangan yang menamparnya itu adalah tangan ayahnya. Setetes air mata menerobos pertahanan Adhara. Padahal ia berusaha untuk tidak menangis di depan ayahnya. Namun, percuma saja Adhara yang rapuh tidak akan mampu menahannya.

"Percuma kamu disini kalo gak ada gunanya," ucap Bara tepat di depan wajah anaknya.

Usai meluapkan emosi, Bara kembali meninggalkan rumah menyisakan Adhara yang masih berdiri dengan lukanya.

"Kenapa Ayah benci Ara?" gumamnya pelan lalu mulai melangkah menuju kamarnya.

Di kamarnya, Adhara duduk di tepi ranjang. Sudut matanya menoleh ke meja belajar. Buku-bukunya tersusun rapi. Dinding di depannya di tempeli kertas-kertas berisi rumus matematika.

Kemudian matanya beralih ke sebuah benda segi empat di atas meja. Benda baru di kamarnya. Ipod pemberian  dari Alpha.

Senyum kecil muncul di wajahnya, ia jadi teringat kembali kejadian tadi sore.

"Alpha, apa gue bisa berharap sama  Lo?"

•••

Belum sampai lima menit berada di sekolah, telinga Adhara dibuat sakit dengan teriakan gerombolan orang kurang kerjaan di tengah lapangan.

Entah apa yang terjadi, tetapi sesuatu hal menarik perhatiannya saat ia mendengar suara pukulan dari pusat lapangan. Sontak ia menahan tangan seseorang yang hendak berlari ke tengah lapang.

"Itu ribut kenapa sih?"

Wanita berkacamata itu tampak heboh dengan menggerakkan tangannya kesana kemari. "Itu si Alpha bikin ulah lagi!" usai menjawab, wanita itu melanjutkan langkahnya.

Dengan rasa penasaran yang kian membesar, Adhara berjalan membelah kerumunan untuk melihat drama pagi di sekolahnya.

Ia melotot kaget saat mengetahui pembuat keributan ini adalah Alpha dan Gavin, lebih tepatnya Alpha dan anak OSIS.

Adhara lebih bingung saat melihat penampilan Alpha yang out of the box. Alih-alih mengenakan seragam, Alpha  justru memakai kaos hitam polos dibalut jaket denim dengan celana jeans panjang.

"Lo itu udah gak mempan pake cara yang halus. Lo gak bosen ngelanggar peraturan?" sindir Gavin dengan mencekal kuat kerah Alpha.

"Maaf pak ketos, peraturan mana lagi yang Gue langgar?" tanya Alpha congkak seraya melepas paksa cengkeraman tangan Gavin.

Salah satu anak OSIS yang bernama Jeno tampak mengeluarkan buku kecil dari sakunya. Buku tata tertib sekolah. Ia membuka buku kecil itu seraya membenarkan kacamata yang tersampir pada telinganya. "Peraturan sekolah nomor 3 halaman 2 tentang tata tertib berpakaian berbunyi, setiap siswa wajib menggunakan seragam sekolah yang telah ditentukan sebagai tanda seorang pelajar." Jeno membacanya dengan kacamata yang membuat wajah koreanya terlihat kentara.

"Gue gak peduli. Patuh sama peraturan gak bikin Gue pinter," tanggap Alpha cuek dengan tatapan dinginnya.

Perkataan Alpha mendapat sorakan dari murid lain yang terlihat menikmati drama pagi ini. Sedikit senyuman sinis terpasang di wajah sok cool milik Alpha.

"Lo nginjek kaki di sekolah ini artinya Lo harus mau ngikutin peraturan mainnya," tegas Gavin tak mau kalah.

Alpha membuang napas samar lalu kembali bersuara, "Apa perlu gue panggil seseorang buat ngejelasin semuanya?" ujar Alpha. Sedetik kemudian mata elangnya melirik ke arah Adhara yang terdiam bingung dengan alis yang bertautan.

Dengan langkah pelan, Alpha menghampiri Adhara hingga tangannya meraih pergelangan tangan Adhara dan membawanya ke hadapan Gavin.

Gavin mengerutkan dahi bingung, sedangkan Adhara menatap Alpha penuh tanya. Alpa mendekatkan bibirnya ke telinga kiri Adhara.

"Gue harap Lo nggak lupa sama kejadian kemarin," ucap Alpha sedikit berbisik pada telinga wanita di sampingnya. Adhara seolah mendapat sengatan ke seluruh tubuhnya.

Adhara mengulum bibirnya dengan netra yang kemudian memandang Gavin canggung.

"Euhh—Seragam Alpha kehujanan, jadi ... dia pake baju kayak gini," tutur Adhara seraya melirik Alpha ragu. Pikirannya mengingat kembali kejadian kemarin saat dirinya dan Alpha berada di tengah hujan.

"Hah? Terus—"

Prriiiiiit!


Epsilon Canis MajorisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang