Bagian Dua : Hujan

96 7 0
                                    


"Mereka yang hanya datang di saat susah, apakah layak disebut sebagai teman?"

•••

"Wanita bajingan!"

Plak! Sebuah tamparan keras menghujam wajah seorang wanita yang berdiri kaku di tengah ruangan yang minim cahaya. Ia mengepal tangan, menyimpan emosi.

"Dasar pelacur! Dari dulu saya tidak pernah mencintai kamu!" Pria yang sudah di kuasai emosi itu menunjukan perasaannya yang menggebu-gebu, matanya seolah memantik api, menatap dan menusuk pandang pada wanita di depannya.

"Kamu pikir saya mau? Kalau bukan karena ibu, saya lebih memilih mati daripada menikah dengan seorang pemabuk." Kalimat yang lama tersimpan di hati wanita itu, ia lontarkan dengan tatapan mendebat.

Dan satu pukulan tepat di pipinya ia dapatkan sebagai balasan. Wanita itu tersungkur ke lantai yang dingin. Pertengkaran yang semula adu mulut, sekarang dibumbui dengan kekerasan.

Sementara itu, disudut ruangan yang gelap, seorang gadis kecil tampak gemetar melihat pertengkaran itu. Pipinya sudah banjir air mata. Napasnya menggebu-gebu dengan satu tangannya meremas dada, menahan luka di hati kecilnya.

Kepalanya berdenyut cepat, perlahan pandangannya menjadi gelap. Penglihatannya lenyap, tetapi rasa sakit itu tidak hilang.

Sakit dan gelap.

Dan bisikan-bisikan itu kembali terdengar samar di telinganya.

"Pergi ...."

"Lebih baik kamu mati ...."

"Brengsek ...."

"Adhara ...."

"Adhara ...."

"Adhara Tisyha Kejora!"

Brakk!

Adhara terlonjak dari tidurnya. Dan ruangan gelap itu, sudah berubah menjadi ruang kelas.

Epsilon Canis MajorisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang