Bagian Satu : Solitude

146 10 2
                                    


"Mereka ada, mereka hadir, mereka datang dan menyapa. Namun, hatiku seolah mati rasa karena tak merasakan apa-apa. Jadi, aku yang salah atau mereka yang salah?"

***

Tik ... Tok ...

Hanya suara detik jam yang menggema di ruangan penuh kursi itu. Dari kejauhan terdengar suara derap sepatu pantofel yang sudah tak asing di telinga para murid.

Hening.

Semua siswa tak bersuara dan memilih diam dalam ketegangan. Itu terjadi saat seorang pria yang berstatus sebagai guru itu mengeluarkan sebuah kertas berisi daftar nilai.

Ada yang mengetukan telunjuknya cemas, ada yang menghentakkan sepatunya seirama dengan jarum jam, dan ada pula yang tertidur dan tak peduli dengan angka yang didapatnya.

Satu per satu nama telah disebutkan dengan nilai yang tidak seberapa. Tersisa satu nama lagi.

Seorang murid yang terlihat menunggu namanya disebutkan, terduduk sendiri di bangku paling depan.

Wanita dengan rambut hitam terang dan manik moka. Sedikit luka jahitan di pelipisnya tidak mengurangi cantiknya. Wajahnya tidak terlihat tegang ataupun tenang. Hanya senyum kecil yang ia tarik, seolah sudah tahu tiga deret angka yang akan ia dapatkan.

"Adhara Tisyha Kejora, seperti biasa kamu dapat seratus lagi."

Suasana kelas yang semula hening berubah menjadi ricuh saat seisi kelas menyoraki si pemilik nilai tertinggi itu disertai tepuk tangan.

Sudah tidak aneh jika seorang Adhara Tisyha Kejora mendapat angka sempurna. Anak berprestasi di SMA Bina Nusantara sekaligus anak pengusaha ini cukup terkenal di sekolahnya.

"Wihh ... cepek lagi!"

"Gak ada akhlak!"

"Gak aneh lagi, bisa lah bagi-bagi jawaban nanti."

Wanita bernama Adhara Tisyha Kejora itu, hanya tersenyum lebar menanggapi reaksi teman sekelasnya. Ia tidak senang ataupun sedih, nilai baginya hanyalah sebuah angka dan tidak berarti apa-apa. Baginya yang terpenting adalah perjuangan untuk mencapainya bukan apa hasil dari perjuangannya.

Brak!

Satu pukulan keras pada papan tulis berhasil membuat keadaan kembali hening. Guru itu sedikit berdeham dan kembali membuka suara.

"Tenang sebentar, masih ada hal yang ingin saya sampaikan," ucap sang guru seraya membenarkan kacamatanya. "Adhara, kamu lolos seleksi olimpiade Matematika dan akan bertanding bulan depan, jadi persiapkan dari sekarang," lanjutnya lalu bertepuk tangan yang segera diikuti oleh seluruh kelas.

"Fiks ini mah, Ra. Lo kudu teraktir kita pas istirahat!" seru pria bernama Geran, si bos kelas. Dengan postur tubuh yang besar membuat orang lain mudah menuruti kemauannya.

"Setuju!" sahut anak kelas lainnya dengan serentak.

Semua orang terlihat antusias, tetapi tidak dengan seorang wanita yang duduk di bangku paling belakang. Ia bahkan tidak tersenyum dan hanya menatap kosong.

***

Kantin dibuat rusuh dengan kehadiran anak kelas XI IPA 3, kelas Adhara. Semua meja yang berada di kantin mereka dekatkan satu sama lain membentuk sebuah meja makan yang besar.

Epsilon Canis MajorisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang