Prolog - Awal Dari Semua.

458 67 130
                                    

Tap tap tap

"Gue kepagian,"

"Gue kepagian." Ia terdiam.

"Gue kepagian atau kesiangan?" Gumamnya.

Suara sepatu melangkah menuju halaman utama sekolah, hentakan yang pelan namun cepat berjalan seiring dengan harapan belum berbunyi bel sekolah berbunyi.

Cewek itu mengetatkan pegangannya pada ranselnya seraya mengangkat kepalanya, mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya.
Terdapat segerombolan cewek-cewek yang tengah mengerubungi seseorang. Mata cewek itu menyipit, memaksimalkan penglihatannya pada objek yang menjadi perhatian cewek-cewek disana.

Oh, ternyata hanya cowok sok ganteng yang sedang cengar-cengir disana. Tampilan pakaiannya terlalu bagus untuk ukuran anak SMA biasa. Gaya rambutnya yang berponi, rambutnya kecoklatan, lesung pipi di wajah putihnya, dan bibirnya yang merah alami. Memakai jaket biru tua yang tak seharusnya dikenakan saat masa sekolah berlangsung.

Marsha menggeleng, tak mau lagi memerhatikan lebih cowok yang sombong tersebut.

Tetapi, ia tak menyadari bahwa dirinya dilirik oleh cowok itu. Matanya mengikuti arah cewek itu pergi, senyuman samar terbit di lekukan bibirnya.

"Oh, harusnya gue teriakkan panggil namanya kan?" Ia panik. Walaupun badannya berdesakan dengan para cewek yang menatapnya penuh rasa kagum dan suka,"bego! Gue gak tau namanya!" Umpatnya.

Sedangkan ditempat lain, cewek bernama Marsha itu langsung bersin di langkahnya saat menuju kelasnya. "Apa kena flu ya? Tapi pas dirumah udah minum teh hangat." Gumamnya.

"Ayo semuanya, masuk kelas! Kita siap-siap." Ujar ketua kelas yang berdiri ditengah-tengah pintu. Memerintahkan semuanya agar terarah masuk kelas.

Marsha mempercepat jalannya, menyelip diantara murid-murid yang masuk berbarengan.

************

"Kakek, kakek kenapa?" Gadis berumur 17 tahun tampak mengguncangkan badan pria lansia yang berbaring di atas kasur.

"A-akh.. cucuku.." Napas pria itu terputus-putus. Dia memegangi lehernya, matanya mendelik.

"Kakek.. sudah ndak tahan.." Badan pria yang berkeriput. Hanya menyisakan tulang-belulang yang menonjol, tubuh kakeknya yang rapuh itu kejang-kejang.

Air mata gadis itu menetes, tak tega melihat keadaan kakeknya yang seperti ini. Tangannya meremas kuat baju pria yang telah menyayanginya sejak dulu itu.

"Tolong.. jaga.. Alice.. M-Marsha.." suaranya yang di paksakan oleh kakeknya sudah membuat tangisnya pecah memenuhi kamar milik pria tua tersebut.

"Marsha akan usahakan, Kek." Marsha menenggelamkan wajahnya di lengan sang kakek yang menghembuskan napas terakhirnya.

Marsha yang sempat mendapati mata kakeknya yang masih membelalakkan matanya dan segera menutup mata rabun yang pernah menatapnya penuh kasih sayang.

"Semoga kakek tenang disisi-Nya." Marsha mengaminkan doa yang terucap dari mulutnya.

Marsha menatap kakeknya sedih, hati kecilnya berusaha untuk ikhlas akan kepergian sang kakek yang terasa sangat cepat.

Mengambil sebuah kain putih yang berada diperut kakeknya, lalu perlahan menyelimutinya sampai ke rambutnya yang memutih. Mencium dahi kakeknya yang dingin untuk terakhir kalinya.

"Sudah, Kezia?" Tanya neneknya yang mengintip dari balik pintu. Marsha mengangguk. Nama Kezia adalah nama tengahnya, entah kenapa neneknya suka memanggilnya memakai nama itu. Alasannya tak pernah Marsha tahu.

Lentera Maut ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang