PROLOG

356 111 235
                                    

Namaku Evast, aku hidup sendirian di apartemen kecil dengan biaya sewanya cukup murah di tengah kota. Aku bekerja part time sebagai tukang pencuci piring di sebuah caffe di dekat sini. Penghasilanku cukup untuk membiayai hidupku, aku bisa membeli makanan, membayar sewa apartemen dan juga biaya sekolah. Sekarang semuanya menjadi lebih baik dari kehidupanku yang sebelumnya.

Tidak ada yang mencari dan tidak ada seorang pun yang memperdulikan orang sepertiku, entah itu sahabat ataupun keluarga. Tetapi, orang yang berparas jahat malah mempunyai hati seputih malaikat. Dia membawa cahaya dan menyelamatkanku dari masa kelam itu.


Dimulai dari insiden dua tahun lalu. Ketika aku duduk di bangku satu SMP, aku membela teman sekelasku yang di buli waktu itu. Aku tidak sanggup melihat Dio menderita ketika dia dikeroyok oleh lima orang pembulinya di kelasku. Mereka memukul Dio untuk memberikan uangnya kepada mereka dengan kasar, hingga aku membelanya tanpa pikir panjang.

Aku menghajar mereka semua dengan berbekal keberanian yang aku punya. Aku pun berhasil menolongnya. Lalu, dia berterima kasih kepadaku dengan senyumnya.

Setelah kejadian itu, aku dipanggil di ruang kepala sekolah untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya.

Tentu aku tidak sendirian. Kepala sekolah memanggilku, Dio dan lima anak bandel pembulinya itu. Lalu aku menceritakan kronologisnya kepada kepala sekolah dengan sebenar-benarnya.

Tetapi, Dio malah berbohong kepadaku. Dia menuduh aku yang memukul dan memalaknya, sehingga kelima anak bandel itu meng-iya kan perkataan Dio. Mereka sengaja memfitnahku...

Sejak kejadian itu, aku dihukum keras oleh kepala sekolah dan memberitahu masalah ini kepada Orang tuaku. Aku berusaha meyakinkan kebenaran kepada mereka, tetapi mereka tidak mempercayaiku sama sekali. Tidak ada seorang pun yang mendengarkanku.

Aku dihukum memutari lapangan di terik matahari yang sangat panas sampai terjatuh, lalu saat aku dirumah Ayah tiriku dan Ibuku memukulku dengan sabuk panjang nan tebal dengan sangat keras sehingga tubuhku dan wajahku memar berwarna biru

Meringis kesakitan tidak dapat aku tahan, hingga aku tidur sesaat.

Aku teringat dahulu ketika Ayah asliku dan Ibuku masih bersama. Mereka berharap aku menjadi anak yang baik yang bisa merubah ekonomi keluarganya, mereka dulu sangatlah hangat.

Tetapi setelah mereka bercerai, Ibuku melihatku dan membenciku, karena wajah ini mengingatkannya padanya.

Setelah kejadian ini, mereka hanya mengangapku pembawa sial dan tidak mempunyai masa depan.

Di tengah malam yang sunyi, aku terbangun mendengar Ibuku dan Ayah tiriku berbicara di ruang tamu untuk membicarakan sesuatu.

Aku menguping di balik pintu karena penasaran. Setelahku telusuri, ternyata mereka berencana membawaku ke panti asuhan bulan depan.

Sejak saat itu, setiap hari aku berkali-kali mencoba bersikap baik kepada mereka, agar mereka tidak membuang aku di panti asuhan.

Tetapi, tetap saja mereka selalu mengabaikanku dan tidak melihatku sebagai anak yang baik.
Aku hanya mendapat pukulan dan kata-kata tajam dari mulut orang tuaku.

"Aku sudah terbiasa oleh itu."

Setelah dua minggu hukuman skorsku berakhir. Akhirnya aku masuk ke sekolah seperti biasa. Ku berlari ke kelas dengan tergesa-gesa untuk bertanya kepada temanku Dio, Mengapa dia berbohong pada saat itu.

sampai tiba di kelas, teman yang aku cari tidak ada di tempat duduknya. Dio dan lima anak pembulinya tersebut pindah sekolah dengan membawa semua kebohongannya.

Hatiku menjerit dan seperti ingin berteriak. Sungguh ini adalah rasa sakit yang teramat sangat.

Aku memegang dadaku dengan kepalan tangan yang bergetar kesal. Tanpa sadar air mataku jatuh tepat dibuku putih ini yang tak berdosa.

Semua orang di kelas terlihat takut kepadaku. Aku benci tatapan mereka seperti semuanya menyalahkanku,
akhirnya aku memulai hari-hariku menjadi seorang penyendiri di kelas seperti seseorang yang diabaikan.

***Terang berganti gelap***

Saat malam tiba, aku membulatkan tekadku untuk kabur sejauh mungkin dari rumah dengan berbekal tas sekolah dan sedikit uang tabungan yang aku punya. Aku duduk bersandar di tepi gedung dekat pinggir jalan raya dengan cahaya lampu jalan berwarna orange yang hangat. Suara berisik klakson dan suara Keramaian meredam suara tangisku yang berbisik.

Tiba-tiba Sebuah cahaya datang kepadaku, seseorang berpostur tinggi berparas mengerikan dengan tubuh penuh tattoo sampai lengannya. Dia meraih tanganku, memahamiku, mendengarkan semua masalahku, dan dia adalah orang pertama yang percaya kepadaku.

Dia membawaku ke tempatnya sambil berjalan kaki.

Aku teringat kata terakhirnya.

"Selalu ada tempat buat orang sepertimu. Jika kamu tidak menemukanya, kamu hanya perlu mencarinya di tempat yang lain."

Lalu aku menuju ke cahaya itu...

EVAST THE WOLF BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang