5. TC TIMNAS

302 37 2
                                    

Saya melangkahkan kaki menjauh dari rumah Om Wisnu. Sebelum pergi ke Jakarta saya sempat menitipkan Bia ke keluarga Om Wisnu. Saya hanya khawatir dia kesepian selama saya training camp bersama Tim nasional di Jakarta.

Sebenarnya berat meninggalkannya dalam waktu lama, terlebih saat melihat bibir mungil itu mengerucut, dan matanya mulai berkaca kaca saat melihat  saya akan pergi.

Tapi saya tetap harus pergi ini panggilan negara yang tak bisa ditolak maupun dilalaikan. Perjalanan melalui jalan tol sedikit terhambat karena kemacetan. Namun setelah malam menyapa akhirnya saya sampai di hotel yang bertempat di Jakarta. Saya masuk ke lobby hotel, ternyata ada beberapa pemain sepak bola dari Tim lain yang sudah ada di sini.

Saya menghampiri mereka dan menyalaminya, beberapa dari mereka memang sudah saya kenal walau hanya tau namanya saja karena pernah menjadi lawan di lapangan. Sekarang tenyata saya harus menjadi satu Tim bersama mereka.
"Febri,"sapa pria jangkung dengan tahi lalat kecil di atas bibir sebelah kirinya.

Saya bersalaman dengannya, "Eh Sjah, apa kabar?"tanya saya pada Hanif. 'Sjah' adalah panggilan akrab saya padanya.

Hanif Sjahbandi, pesepak bola yang lahir di Bandung. Alumni diklat di Tim yang saya bela sekarang, dan kini ia membela salah satu Tim di Liga Indonesia yang berdomisili di kota Malang.

"Baik, udah nemu teman sekamar lo?"

Saya menggeleng, "Belum nih saya baru sampai."

"Yaudah sama gue aja,"

"Loh enggak sama Bagas?"tanya saya, karena saya tau Hanif dan Bagas adalah teman dekat di Timnnya.

"Dia sama Hansamu,"

"Oh yaudah."kata saya, terserah bersama siapapun teman sekamar, lagian training camp akan membuat pemainnya menghabiskan waktu di lapangan.

Setelah berkumpul di lobby akhirnya kami di beri kunci kamar, setiap kamar di isi oleh dua pemain. Jika away bersama Timpun sama seperti itu jadi saya tak mempermasalahkan dengan siapapun sekamar. Kamar dengan tema twins bed atau dua kasur ini yang nantinya akan kami tempati.

Sesampainya di kamar, Hanif langsung sibuk membereskan barang-barangnya. Dia sepertinya orang yang sangat rapih. Walau dulu saya dengan dia satu Tim di diklat, namun saya dengan dia tidak terlalu dekat. Saya lebih dekat dengan Zola.

"Eh Feb lo enggak apa-apa pas kena timpuk?"tanyanya yang masih fokus membereskan barang bawaannya.

Saya yang tengah menyimpan koper di sudut ruangan berbalik menatapnya, "Haha enggak untungnya batunya cuman lewat,"

"Itu kejadian pas selesai pertandingan? Di mana?"

Saya mengangguk, "Iya, udah lumayan jauh sih dari stadion makannya pemain udah merasa aman udah mau pada tidur gitu di perjalanan menuju hotel."

Dia menggeleng sambil berdecak, "Gue tuh masih enggak habis pikir sama yang kaya begituan, padahal pemain udah meneriakan perdamaian."

"Namanya orangkan beda-beda Sjah, lagian itu cuman oknum yang enggak ada kerjaan. Saya sih yakin kalau supporter yang memang berpendidikan enggak akan melakukan perbuatan bar-bar kaya gitu."

"Iya sih Feb, yang penting kita terus menyuarakan perdamaian. Setidaknya kita jadi bagian kecil dalam perdamaian. Kan suatu hal yang kecil lama-lama jadi bukit."

Saya hanya terkekeh ringan.
-
Seminggu sudah berlalu, dari Thailand kami hanya membawa point seri. Namun pengalaman yang saya dapatkan dari pertandingan itu sangat banyak. Sejak awal sampai Jakarta, ke Thailand hingga pulang lagi ke Jakarta saya belum pernah menghubungi adik saya, Bia. Bukan tak ingin, namun pemakaian ponsel sangat terbatas, karena peraturan pelatih. Rasa rindu saya pada Bia sudah sangat memuncak, ingin saya melihat tawanya, celotehnya, ataupun marahnya, biasanya setiap hari pasti saja ada itu menghiasi hari-hari saya.

Menjaga Jantung HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang