13. Perdebatan yang tak berujung

203 30 1
                                    

Saya di belakang mengikuti laju mobil Papah yang tak tau arah tujuannya ke mana. Setidaknya ini sudah jauh dari rumah dan Bia tak akan tau. Tiba-tiba mobil Papah berbelok kearah suatu rumah cukup besar, saya hanya mengikutinya. Mobil pria paruh baya itu terparkir, ia keluar dari mobilnya.

"Parkirin di situ aja A, nanti masuk ya."katanya sambil meninggalkan saya masuk ke rumah yang di dominasi cat putih.

Saya hanya menuruti ucapan pria paruh baya itu tanpa bantahan. Setelah selesai dengan motor yang di parkir saya melangkahkan kaki ke rumah itu, rumah yang jauh lebih besar dari rumah yang saya tempati. Saya ragu untuk melangkah masuk ke rumah yang bisa di katakan mewah itu dari ambang pintu saja saya bisa melihat betapa luasnya rumah ini.

Pria paruh baya yang jambulnya sedikit memutih itu membawa dua gelas air minum di tangannya. "Sini masuk A, Papah sekarang tinggal di sini. Ini juga rumah kamu."sahutnya dengan senyum.

Saya masih terdiam melihat dia berjalan duduk di sebuah sofa.
"Ayo A, katanya mau ngomong sama Papah,"

Saya menghela nafas dan masuk ke rumah itu, "Kenapa ngajak ke sini?"tanya saya.

"Katanya mau ngobrolkan? Terus enggak mau Bia atau orang lain tau. Kamu udah terkenal di Bandung bahkan satu Indonesia, sekarang sulit buat ke manapun tanpa ada satu orangpun yang enggak kenal kamu. Kalau di sinikan enggak ada yang tau."

Saya duduk di sebrangnya, jarak kami hanya satu meter dan kini kami saling tatap berhadapan.
"Sejak kapan tinggal di Bandung ?"tanya saya datar.

"Beberapa minggu yang lalu sih, biar lebih deket sama anak-anak Papahkan."

"Oh."hanya itu yang bisa saya keluarkan, seharusnya dia tak lebih dekat.

"Papah mau minta maaf soal tinjuan Papah ke kamu saat di rumah sakit itu.  Papah khawatir sama Bia."ujanya.

Saya hanya memberinya senyum sinis. Ia menghawatiri anaknya yang satu, tapi menyakiti anaknya yang lain, lucu memang.

Kini ia menatap saya tajam, "Kamu kenapa tadi enggak datang ke lombanya Bia? Tadi di sepanjang jalan Papah lihat Bia sedih kamu enggak datang."

"Telat bukan tidak datang. Lagian harusnya anda ngerti, dulu jugakan anda seperti saya selalu sibuk dengan karier anda."

Papah hanya tersenyum kecut, "Tadi Bia cerita banyak, apa yang dia mau. Papah enggak tega A lihat anak Papah sengsara."

"Kan itu yang anda lakukan sejak dulu."

"A, mungkin dulu Papah salah, Papah minta maaf. Kenapa kita enggak bisa mulai dari awal lagi? Kita bahagia bareng lagi."

"Gini, saya ingin ngobrol dengan anda hanya ingin bilang bahwa saya ingin anda menjauhi adik saya. Saya tak mau anda menyakiti wanita kesayangan saya lagi. Cukup anda memberi luka pada Ibu tidak untuk adik saya."

Pria itu terdiam,

"Oh iya, soal biaya rumah sakit Bia. Saya minta no. Rekening anda biar saya ganti."

"Enggak usah, Bia anak Papah. Udah jadi kewajiban Papah biayain hidup dia."

"Saya cuman enggak mau karena alasan itu anda ngambil alih Bia dari saya."

Dia menenguk segelas minuman yang tadi ia bawa "Papah enggak punya niatan begitu, berhenti berpikir buruk tentang Papah!"

Saya tertawa meledek"Haha...Saya rasa anda sudah lebih bahagia sekarang, dengan keluarga baru anda mungkin. Dan sekarang saya mohon jangan pernah usik kebahagiaan saya dan adik saya lagi."

"Keluarga yang Papah punya cuman kalian, di sini Papah cuman sendiri dan selalu berharap di suatu hari nanti kalian bisa tinggal di sini juga."

Saya mengerutkan kening, "Enggak usah berharap lebih. Dulu anda yang buang kami kembali ke sini demi bahagia anda di sana. Sekarang anda kembali ke sini untuk mengharapkan apa? Apa yang anda mau?"

Menjaga Jantung HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang