18. Bantuan duo tengil

216 22 2
                                    

Setiap hari saya mencoba menghubungi Bia namun tak juga ada jawabnya. Saya juga belum berani menghubunginya lewat Papah. Yang saya tau Bia marah, sangat marah bahkan. Padahal dia orang yang mudah memaafkan namun mungkin kesalahan saya yang terlalu besar membuat maaf juga sulit iya berikan. Saya tahu saya terlalu ceroboh dalam berbagai hal.

Selalu bangun dengan kehampaan membuat rasanya diri saya tak ingin bangun saja. Jika maaf Bia hanya sebatas mimpi lebih baik saya tidur lagi. Namun Bia akan semakin marah pada diri saya apabila saya tak bisa menjalankan kewajiban saya sebagai pemain bola profesional.

Hari ini jadwal latihan libur, namun saya akan bertemu dua orang sekaligus untuk meminta bantuan, karena saya tak bisa jika harus berjuang sendiri untuk memperoleh maaf adik kesayangan saya yang keras kepala itu. Namun sebelum menemui mereka saya memutuskan untuk pergi ke babershop mengubah gaya rambut, rasanya saya sudah bosan dengan gaya rambut berjambul yang selalu mengingatkan saya pada Bia. Rambut berjambul adalah gaya rambut yang Bia senangi dari pria, dia selalu bilang pria akan lebih tampan di matanya jika berjambul. Karena hal itu pula saya lebih sering menata rambut saya berjambul, agar ia senang.

Tak lama saya di barbershop, setelah selesai dengan potongan rambut yang lebih simpel ini saya melangkah keluar tempat tersebut dengan memakai topi, rasanya saya belum terlalu percaya diri dengan model rambut baru ini.

Tak jauh dari tempat saya mencukur rambut, ada sebuah cafe. Cafe inilah yang jadi pilihan saya untuk menemui dua bocah tengil itu, siapa lagi kalau bukan kedua sahabatnya Bia, Witan dan Rendy. Awalnya mereka memang jual mahal saat saya ajak bertemu tapi bukan saya namanya kalau tidak bisa menaklukan mereka.

Saya memarkirkan motor dan mulai memasuki cafe tersebut, mencari keberadaan dua bocah tengil itu. Dan mereka ternyata telah datang dan duduk di bangku pojok.

"Yang butuh siapa yang telat siapa."sindir si bocah berjambul pada saya.

Saya duduk di sebelahnya tanpa menghiraukan kicauannya tadi.

"Pemain andalan masyarakat, telat mah termaafkan."katanya lagi.

"Aa lagi enggak mau berantem ya, Tan. Aa minta maaf kalau telat, kaliannya aja kali yang datang kecepetan."

Rendy yang duduk di sebrang saya menggeleng sambil berdecak.

"Mau minta tolong apa sih? Mau kasih kejutan Bia ya? Perasaan ulang tahunnya udah lewat hampir seminggu  deh."

Saya menggeleng, "Enggak bukan itu."

Rendy yang duduk di sebrang saya memerhatikan saya dengan tatapan malas, "Terus?"tanyanya.

"Hm...Aku tau nih, pasti mau minta bantu kenalin cewek sama kita ya."ucap bodoh si bocah tengil anak Om Wisnu itu. Seharusnya dia tau siapa saya, tanpa meminta bantuan dia saja saya sudah pasti akan mendapatkan wanita yang saya mau, namun bukan itu masalahnya sekarang.

"Atau karena Bia ikut Papahnya kan?"tanya Witan sekarang pertanyaannya cukup pintar.

Saya menghela nafas terlebih dahulu, entah kenapa rasanya selalu berat jika tentang masalah ini. "Hm...Aa sih sebenernya enggak masalah Bia mau tinggal sama Papahnya."saya menjeda ucapan terlebih dahulu karena rasanya sesak sekali berbohong, tak ada yang tak masalah kalau Bia tak ada di dekat saya. "Yang jadi masalah dia marah, dia menjauh dari Aa. Dan Aa enggak bisa kalau lama-lama kaya gini."

"Impas dong, dulu A Febri yang suruh si Rendy jauh dari Bia, sekarang A Febri rasain sendirikan gimana rasanya."cerocos Witan.

Rendy hanya tersenyum sambil menatap saya.

"Aa ngejauhin Rendy dari Bia juga karena ada alasannya."

"Apa?"tanya kedua bocah tengil itu kompak.

Menjaga Jantung HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang