6. Penculikan

17 1 0
                                    

.
.

Entah obat apa yang diberikan Pak Sabda, hingga Aisha merasa jauh lebih segar pagi ini. Tak ada mimpi buruk, memar-memar di tubuh mulai menghilang, serta luka di lengan kiri yang  mengering. Untuk pertama kalinya sejak diserang werewolf, gadis itu bangkit dari ranjang tanpa bantuan.

Hal pertama yang ingin ia lakukan adalah mandi. Sebab, sejak hari itu hingga sekarang, Aisha masih mengenakan pakaian yang sama—seragam olahraga. Tampak kotor, bau, serta koyak di celana training akibat cakaran si Serigala. Sebelumnya, ia memang tak terlalu memikirkan. Namun, setelah pulih ia mulai merasa tak nyaman, bau, dan lengket. Belum lagi noda darah dari luka di lengan kiri yang membuat gadis itu bergidik setiap kali melihatnya.

Mula-mula, Aisha membuka lemari pakaian. Tumpukan baju tersimpan rapi di situ. Sembari tersenyum, ia pun mengambil sebuah kaus, celana denim, serta pakaian dalam. Namun ....

“Ishh ... kok, bau, sih?!”

Aisha meringis seraya memalingkan wajah, menjauhkan benda itu dari indra penciuman, dan melemparnya ke sembarang arah. Kembali diambilnya sebuah kaus merah lengan panjang, tapi lagi-lagi ia lempar sambil mencebik.

Hampir setengah isi lemari sudah dikeluarkan. Keringat pun semakin membanjiri tubuh yang memang sudah lengket itu. Namun, tetap saja tak ia temukan pakaian bersih di sana. Semuanya tampak kusam, apek, dan kusut oleh lipatan.

Ekspresi kesal tergambar jelas di wajah berpeluh itu. Sambil menyeka air mata yang hampir tumpah—karena terlalu kesal—dengan punggung tangan, gadis itu pun bermonolog, “Mama ... Aisha bingung, Ma. Gimana ini ...?”

Untuk urusan pekerjaan rumah seperti memasak, bersih-bersih, dan rapi-rapi, gadis itu memang paling malas. Semua dikerjakan sang ibu sebelum atau sepulang bekerja. Sementara, ayahnya sudah meninggal ketika ia masih dalam kandungan. Sebab itulah, Aisha lebih mahir dalam mengerjakan pekerjaan laki-laki--dikarenakan tak ada pilihan. Jika bukan gadis itu yang mengerjakannya sendiri, lalu mau siapa lagi?

Aisha mendekati setumpuk pakaian yang dilemparnya tadi, lalu berjongkok dan mencoba kembali untuk memilih satu setel yang terlayak.

“Waduh, kenapa berantakan begini, Sha?!”

Aisha mendongak, menatap si pemilik suara yang tengah berdiri di ambang pintu, “Baju kamu ... ada yang bersih, nggak?”

Wira tergelak. “Kamu mau pake baju saya?”

Aisha mendengkus dan melempar sebuah pakaian ke pemuda itu. Lalu, ia kembali memilah tumpukan di hadapannya tanpa sudi menatap Wira.

“Ah, gitu aja ngambek.” Wira mendekat dan berjongkok di hadapan Aisha, dengan setumpuk pakaian sebagai pembatas. Ia menarik sebuah kaus lengan panjang navy dari tengah tumpukan, lalu menyodorkannya, “Pake ini aja, warnanya gelap. Jadi nggak terlalu keliatan kalo kusam.”

Aisha menoleh, “Gitu, ya?”

“Ya ... terserah, sih!” Wira mengangkat bahu.
Aisha mengulurkan tangan dan meraih pakaian itu.

“Saya, kan, udah pernah bilang. Di sini, semua barang jadi tua. Jadi, wajar kalo baju kamu apek. Pake ajalah ... lama-lama juga terbiasa,” jelas Wira. Kali ini sikapnya tidak semenyebalkan tadi. Tak ada kekehan ataupun tatapan usil.

“Terbiasa? Nggak mau, Wir. Aku mau pulang secepatnya,” bantah Aisha.

“Ya ... semoga aja, Sha,” Wira tersenyum, “pada purnama berikutnya, semoga kita bisa keluar dari 'dunia' ini.”

“Aku kangen sama Mama, Wir,” isaknya.

“Sama, Sha. Saya juga kangen sama keluarga saya. Pokoknya, nanti kita harus kerja sama. Kita cari jalan pulang itu, oke?”

Terjebak di Dunia LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang