7. Pelarian

20 0 0
                                    

.
.

“Kamu mau ke mana, Sha?” Wira bertanya ketika melihat gadis itu memasukkan satu setel pakaian ke ransel.

“Aku mau cari Nathan,” jawabnya datar.

Wira menghela napas dalam sambil menatap Aisha dengan cemas. Ia tahu bahwa gadis itu sangat kehilangan. Namun, ia juga tak bisa membiarkan akal sehatnya menghilang karena kesedihan yang mendalam.

Meski tak tega dan tahu ucapannya malah akan membuat Aisha makin bersedih, tapi ia tak bisa diam saja. Wira merasa perlu untuk menyadarkan gadis itu.

“Sha, kamu jangan nekat. Saya, kan, udah bilang kalo Nathan pasti udah ....” Wira tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

Aisha terdiam. Kepalanya menunduk dengan tubuh bergetar. Ada suara tangis yang tertahan di situ.

“Sha ....” Wira menatapnya lekat dengan wajah penuh keprihatinan. Pemuda itu pun mengubah posisinya hingga menyisakan jarak beberapa sentimeter saja. Ia berlutut, lalu meletakkan tangan kanannya di bahu Aisha.

Tanpa diminta, Aisha langsung membenamkan wajahnya di dada Wira. Tangisnya pecah di situ. Sementara, Wira yang semula tampak ragu kini merangkul punggung gadis itu dengan tangan kanannya.

Wira membiarkan Aisha meluapkan segala kesedihannya dalam dekapan. Hingga beberapa menit kemudian, suara tangis itu mereda dan tubuhnya terasa semakin berat. Napas yang semula memburu pun berangsur stabil.

Gadis itu telah terlelap.

***

Aisha baru terbangun keesokan paginya. Kesedihan gadis itu sudah sedikit berkurang dan tubuhnya terasa lebih bugar. Ia pun bangkit setelah menggerak-gerakan leher untuk melemaskan otot.

Ketika hendak beranjak dari tempat tidur, gadis itu melihat Wira yang tengah tidur di lantai beralaskan selimut. Merasa tak nyaman, ia pun mendekat dan membangunkan pemuda itu.

“Wira, bangun ....” Aisha menepuk-nepuk pundak Wira, dan sukses membuat pemuda itu tersentak.

“Eh, Aisha.” Wira langsung terbangun dan duduk. Tak seperti orang yang baru membuka mata, ia langsung segar tanpa terlihat pusing atau mengigau.

“Kenapa kamu tidur di sini?”

“Maaf, Sha. Saya nggak bermaksud apa-apa. Beneran! Saya cuma takut kalo ....” Wira tidak melanjutkan kalimatnya.

Aisha tersenyum, “Aku ngerti, kok. Makasih, ya.”

Wira ikut tersenyum, “Syukurlah ... kalo gitu, kamu mandi dulu sana. Nanti gantian.”

Aisha segera bangkit dan berjalan ke arah lemari. Dicarinya pakaian yang berwarna gelap, lalu dikibas-kibaskan untuk mengurangi apek.

Sementara itu, Wira membereskan selimut yang ia gunakan sebagai alas, lalu keluar sambil membawa bantal untuk dikembalikan ke kamarnya.

“Sha!” panggil Wira, sesaat sebelum gadis itu masuk ke kamar mandi.

Pemuda itu mendekat, “Om Sabda belum pulang.”

“Hah?!” Aisha mendelik. “Serius, Wir?”

“Iya. Saya udah cek ke kamarnya, dan nggak ada tanda-tanda kalo Om Sabda udah pulang. Semuanya masih sama kayak kemarin.”

“Owh ....” Gadis itu mengangguk-anggukkan kepala sambil mengarahkan pandangan ke kanan atas. 'Bagus, artinya aku bisa pergi dari sini tanpa hambatan,' batinnya.

Wira tersenyum, “ Cepetan mandi sana.”

Aisha pun mengangguk lalu masuk ke kamar mandi. Meski ingin sekali menangis di sana seperti kemarin, tapi hal itu tidak ia lakukan. Dalam benaknya hanya terfokus satu hal, yaitu harus lekas pergi sebelum Pak Sabda datang.

Terjebak di Dunia LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang