04. ketertarikan yang berbeda

693 87 2
                                    

Jan menghela nafas panjang sebelum mengambil gelas air yang sedari tadi ada di dekatnya. Bahkan Aye tidak menyadari ada gelas disana saat ia masuk.

"Mereka kemudian menjadi teman sekelas. Mereka berempat, Bri, Win, Khao, dan Pluem." Ucap Jan.

Aye terdiam, menunggu lanjutan cerita dari sang Bibi. Namun, wanita berumur 54 tahun itu seperti tidak berniat melanjutkan ceritanya. Wajahnya menatap sendu foto-foto yang berserakan.

"Foto ini adalah foto kalian pertama kali?" Tanya Aye sembari mengambil foto yang tadi diberikan Jan padanya.

Jan menoleh, menatap foto yang ada di tangan Aye. Ia pun mengangguk. "Festival awal tahun. Aku dan kakakku beserta teman-temannya pergi ke sana bersama. Dan saat itu, aku tau kalau Kak Win dan Kak Bri sangatlah dekat."

//

Januari, 1979

"Bri, kau mau ini?" Win menyodorkan permen kapas ke arah Bri. Bri mengangguk dan mengambil segumpal kapas berwarna merah muda itu. Di gigitnya perlahan gumpalan manisan tersebut.

"Terlalu manis." Ucap Bri sembari memberikan kernyitan. Win terkikik geli. Digigitnya permen kapas yang ada di tangannya.

"Namanya juga permen kapas." Jawab Win dengan senyuman yang masih ada di wajahnya.

Festival kali ini cukup ramai. Jalanan penuh dengan orang-orang yang sekedar melihat, berjualan, membeli, dan beraktraksi. Win belum pernah melihat hal-hal seperti ini di Bangkok, karena Win sendiri jarang keluar rumah.

"Jangan makan makanan seperti itu terus. Tidak baik untuk kesehatan Win." Ucap Bri sembari menepuk pucuk kepala Win. Sedangkan Win hanya mengangguk saja, tetapi masih memakan permen kapasnya.

"Kak Win, kok aku ditinggal sama Kak Pluem sama Kak Khao sih?! Mereka berisik banget tau ga!" Jan menepuk pundak Win, raut wajahnya terlihat sangat kesal. Dibelakangnya ada Khao dan Pluem yang sedang menyembunyikan tawanya.

"Bukannya kalian bertiga tadi mau beli minum? Kan kakak sudah bilang mau beli permen kapas." Jawab Win sembari merangkul pundak adik perempuannya itu.

Jan mencebik, bibir atasnya dikulum dengan dahi yang berkerut. "Ya jangan ditinggal juga dong." Ucapnya.

Bri tertawa dan mengusap kepala Jan. "Iya iya, naaf deh. Lain kali ga ditinggal." Ucap Bri.

"Mau jadi adiknya Kak Bri aja, gamau jadi adiknya Kak Win. Kak Win jelek." Ucap Jan sembari menjulurkan lidah dan dibalas dengan cubitan pipi oleh Win.

"Kita foto dulu yuk, disitu tuh. Tempat paling bagus disini." Ucap Khao sembari menunjuk sebuah taman kecil di ujung jalanan tempat festival di adakan.

Yang lain hanya mengangguk dan menuju ke tempat yang di katakan oleh Khao. Mereka mengatur posisi badan mereka dan menatap ke arah kamera yang dibawa oleh Jan.

"Satu. Dua. Tiga."

Blitz kamera menandakan foto telah di ambil. Jan tersenyum dan kembali memasukkan kameranya ke dalam tas jinjing kain yang ia bawa.

Setelahnya mereka memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing. Saat itu Jan melihat Bri dan Win saling melempar tatapan dan tersenyum sebelum melambaikan tangan. Jan sadar, ada yang berbeda dengan tatapan kedua anak lelaki itu. Namun, Jan memilih diam dan menepis perasaan tidak masuk akalnya itu.

//

Juni, 1979

Bri duduk di atas tanah. Tangannya memainkan rumput yang sudah kering dan berwarna kuning. Kancing kemeja sekolahnya terbuka di bagian atas, lengannya pun tergulung sampai bagian batas pundaknya. Sebatang rokok terselip di telunjuk dan jari tengahnya.

𝙩𝙝𝙚 𝙩𝙧𝙪𝙩𝙝 𝙤𝙛 𝙪𝙨 | ᴮᴿᴵᴳᴴᵀᵂᴵᴺTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang