06. sebuah kejujuran

606 83 5
                                    

Desember, 1979

Sudah dua bulan semenjak kepulangan Win dari Bangkok, dan selama itu ia dan Bri tidak pernah berbicara. Bri bahkan duduk dengan Khao dan membiarkan Pluem duduk dengan Gun. Anak yang dipindah dari kelas sebelah. Sedangkan Win, ia memilih duduk sendiri di pojok kelas.

Setelah pulang sekolah pun, Bri langsung meninggalkan kelas dan pergi ke kedai tempatnya bekerja. Bahkan Khao dan Pluem menjadi bingung dengan sikap Bri yang semakin diam.

Saat Win mencoba untuk menatapnya dan tersenyum, maka Bri akan memalingkan wajahnya. Menganggap bahwa Win tidak ada disana.

Lama kelamaan, Win menjadi dongkol dengan sikap Bri padanya. Win memutuskan untuk bertanya pada Bri, besok sebelum jam pertama dimulai. Karena ia tau, Bri selalu datang duluan.

Keesokan harinya, Win datang ke sekolah pagi sekali. Saat masuk ke dalam kelas, ia menemukan Bri sedang merokok dekat jendela. Seperti biasa.

Win menaruh tasnya di bangkunya dan berjalan mendekati Bri. Diambilnya dengan tiba-tiba rokok di selipan jari Bri. Kemudian di matikannya rokok itu dan dilemparnya keliar dari jendela.

"Apa-apaan kau ini Win?!" Tanya Bri. Ada nada jengkel dalam suaranya.

"Apa-apaan?! Harusnya aku yang bertanya seperti itu!" Jawab Win.

"Kau ini kenapa?!" Bri menatap Win dengan kerutan di dahinya.

"Kenapa kau menjauh Bri?! Katakan padaku apa yang salah?!" Win berteriak.

"Apa yang salah? Tidak ada yang salah Win!" Balas Bri.

Win menatap manik coklat itu dengan tajam. Rahangnya mengeras. Emosinya membuncah. Tangannya mengepal.

Lalu, sebuah tonjokkan mengenai wajah Bri, membuat anak lelaki itu tersungkur. Pipi Bri bersenyut. Tangannya gantian mengepal dan meninju wajah Win.

Entah apa yang ada dalam pikiran Win hingga anak lelaki itu menjadi kalut dalam amarah. Ia kembali melayangkan kepalan tangan pada Bri. Menjatuhkan anak lelaki itu ke lantai dan menarik kerahnya.

"Kau pikir aku mau seperti ini hah?!" Bentak Win.

Mata indah Win mulai berkaca-kaca. Dadanya kembali terasa sesak.

"Aku juga tidak mau seperti ini! Aku tidak ingin menyukaimu Bri! Aku ingin kembali tapi aku tidak bisa!" Win memukul dada Bri.

Bri menatap Win. Di usapnya ujung bibir Win yang berdarah karena tinjuannya. Dimajukannya wajahnya dan dikecupnya bibir Win. Kecupan kecil namun bisa menenangkan hati Win.

"Maaf. Aku egois." Ucap Bri. Diusapnya air mata Win dan direngkuhnya kembali tubuh rapuh itu.

Keduanya tidak mengetahui dua pasang mata yang menatap mereka dari ambang pintu. Sedari awal mereka bertengkar, kedua pasang mata itu melihat. Mereka juga mendengar.

"Pluem, kenapa aku merasa sedih." Bisik Khao. Pluem menepuk pundak sahabatnya itu.

"Aku sudah lama menduganya." Balas Pluem. Keduanya kemudian saling tatap sebelum pergi meninggalkan ambang pintu.

//

Win pulang ke rumah diam-diam. Ia tidak ingin orang tuanya tau ia pulang selarut ini. Ia tidak ingin orang tuanya juga melihat wajahnya yang bengkak karena berkelahi.

Namun, sepertinya kesialan sedang mengikutinya. Ayah dan ibunya duduk di ruang tamu dengan wajah kesal. Bahkan Jan ada disana, rautnya sangat khawatir.

"Dari mana kau Win?" Suara berat Tuan Phob, ayah Win membuat anak lelaki itu terdiam di tempatnya.

"A-ayah." Ucap Win.

𝙩𝙝𝙚 𝙩𝙧𝙪𝙩𝙝 𝙤𝙛 𝙪𝙨 | ᴮᴿᴵᴳᴴᵀᵂᴵᴺTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang