07. tragedi yang memilukan

699 97 11
                                    

April, 1980

Malam itu, Win duduk di atas ranjangnya dengan gelisah. Baju dan peralatan yang dibutuhkannya sudah ada di dalam tas. Ia siap untuk pergi.

Sebuah ketukan di jendela membuatnya terperanjat. Win berdiri dari duduknya dan membuka jendela. Bri ada di luar rumahnya dengan tas ransel hitam di bahunya. Entah bagaimana ia bisa melewati pagar tengah tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

"Win, ayo." Bisik Bri sembari sesekali menoleh ke arah rumah utama. Takut kalau Tuan Phob mengetahui rencana mereka.

Win membuka jendela kamarnya dan memberikan ranselnya pada Bri. Lalu lelaki jangkung itu keluar dengan perlahan, mencoba tidak menimbulkan suara sedikit pun.

Setelah berhasil keluar dari kamarnya. Keduanya saling berpegangan tangan dan berjalan keluar dari pekarangan rumah. Bri tidak membawa motornya, terlalu berisik. Lagipula mereka akan ke stasiun dan pergi naik kereta.

Jam di tangan Win menunjukkan pukul 11 malam. Jalanan begitu sepi. Kedua 'sahabat' itu berjalan beriringan, menikmati pemandangan sekitar untuk terakhir kalinya.

Namun, di ujung jalan, Khao berjalan dengan menenteng sebuah plastik berisikan pangsit. Ia berjalan berlawanan arah dengan Bri dan Win.

"Bri? Win? Kalian mau kemana?" Tanya Khao.

Bri dan Win terkejut mendapati Khao yang ada di hadapan mereka. "E-eum kami—"

"Kalian mau pergi?" Tanya Khao. Dahinya mengerut dan alisnya naik sebelah. Matanya nenatap kedua anak adam itu dengan tajam.

"Kami harus Khao. Tidak ada yang menerima kami disini, kami harus pergi." Ucap Bri.

Khao menghela nafas panjang. Ditepuknya pundak Bri. "Selamat jalan, kalau begitu." Ucapnya.

Bri dan Win tersenyum dan mengangguk, lalu meninggalkan Khao sendiri diliputi oleh pikirannya. Khao kemudian memutuskan untuk kembali berjalan. Hingga ia sampai di depan rumah Win. Jan berdiri diluar rumah dengan wajah yang sangat khawatir.

"Jan?" Panggil Khao.

"Kak Khao!" Jan menyeru. Dihampirinya lelaki yang lebih tua itu.

"Kenapa diluar malam-malam?" Tanya Khao.

Jan menatap Khao dengan sedih. Terlihat bahwa ia habis menangis. Jejak-jejak air matanya masih membekas di pipi. Matanya pun merah dan sedikit bengkak.

"Kak Win pergi." Bisik Jan. Nada suaranya mencicit di bagian akhir kata.

"Win?" Tanya Khao.

Jan mengangguk. "Aku takut Ayah akan mengetahuinya. Kemana Kak Win?" Ucap Jan. Air mata kembali keluar dari matanya.

Khao menepuk pundak Jan. "Jan, Bri dan Win harus pergi. Kau bisa relakan kan? Setidaknya itu yang terbaik untuk mereka." Ucap Khao.

Jan mengadah, menatap Khao dengan tatapan mengerti. Lalu gadis itu mengangguk. Ia tau Kakaknya tidaklah bahagia di rumah. Ia juga tau hubungan Kakaknya dengan Kak Bri akan dibenci apabila mereka tetap disini.

"Win kemana Khao?" Tuan Phob tiba-tiba muncul dan membuat Khao juga Jan terkejut. Keduanya bahkan sama-sama terdiam.

"Ayah—"

"Khao, jawab saya. Dimana Win?" Nada suara Tuan Phob membuat bulu kuduk Khao meremang. Tatapan tajam itu seolah dapat menusuk Khao berkali-kali hingga tak bisa bernafas.

"Saya—" Khao tidak bisa melanjutkan ucapannya. Ia tidak bisa bilang, tapi ia terlalu takut. Tuan Phob begitu kejam.

"Jawab saya Khao!" Tuan Phob kembali bertanya.

𝙩𝙝𝙚 𝙩𝙧𝙪𝙩𝙝 𝙤𝙛 𝙪𝙨 | ᴮᴿᴵᴳᴴᵀᵂᴵᴺTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang