Liburan yang tak dirindukan.

70 8 3
                                    


“dro.. atas dro atas” teriakku sembari memberi aba aba ke atas agar hendro mengumpan bola kepadaku yang sudah berada di depan gawang.
Ketika Hendro benar – benar mengumpan kepadaku, segera kulompat setinggi mungkin untuk menyundul bola tersebut. Tapi naas, udin si kiper yang lebih tinggi dariku sudah lebih dulu menangkap bola sehingga kepalaku hanya mampu menyundul sikunya yang tumpul mempesona bagai tongkat hansip.

“wadawww….” Jeritku spontan.

Tanpa mempedulikanku yang masih berada di depan gawang, Rudin mengumpan bola kedepan yang segera menjadi pusat perhatian para pemain.

Yup sepak bola, kegiatan ini menjadi semi – semi wajib bagi kami untuk tetap menjaga kebugaran tubuh. Apalagi semenjak merebaknya corona virus disease atau COVID-19 yang kini sudah terdeteksi masuk ke Indonesia. Sebenarnya kini ada sedikit paksaan dari pihak pesantren untuk lebih sering berolahraga. Namun, bagi kami yang pada dasarnya suka berolahraga, peraturan tersebut seakan tidak pernah terjadi dan kami masih sering bermain sepakbola seperti saat ini.
“mat oper mat” teriak bejo dari belakang. Dengan sigap kuoper bola melewati selakangan lawan dan seketika digiring bejo menuju sisi kiri lapangan. Saat bejo hendak menembakkan bola, secepat itu pula bola dihadang oleh juki dan terpental jauh keluar lapangan.

Sebelum kami sempat mengambil bola, sosok jangkung berkulit putih sudah lebih dahulu memasuki lapangan dengan membawa bola tadi.

Gus udin, begitu kami memanggilnya, putra kyai Soleh yang terkenal tampan dan cerdas serta menjadi idaman para santri putri. Gus Udin yang kini sudah kuliah semester 4 memang terkenal akrab dengan para santri. Kami semua juga sangat menghormatinya sebagi putra kyai.

“ayo, aku ikut tim B, tim A tambah satu orang lagi”

Hendro segera merekrut ucok untuk menambah jumlah pemain kami yang  kini menjadi 10 orang. Sementara tim lawan hanya tersenyum – senyum mengejek, berharap kami akan mengalah karena adanya gus udin di tim mereka. Tanpa ba bi bu segera kuumpan bola kepada Hendro untuk menyerang tim lawan.
***
Langit mulai memerah mengiringi napas kami yang terengah – engah. Maghrib sudah tinggal 30 menit lagi namun siapa pemenang masih belum pasti. Rudin, kiper lawan yang besar membuat tim kami tertahan 2 – 2 terhadap tim B. Tendangan Gus udin yang mulai melemah dengan mudah direbut ucok yang segera memberikannya kepada wawan, penjaga gawang kami.
“wan langsung wawan” ucapku sembari memberi aba – aba kepada wawan untuk langsung mengoper bola ke depan. Posisiku yang dihadang Gus udin tak membuatku sungkan untuk terus maju kedepan.

Bola yang dilempar wawan melambung tinggi ke arahku, kusambut bola dengan gerakan salto dan desh…. Bola yang ku tendang tepat mengenai mata kiri Gus udin yang kini memerah. Aku segera menyadari kesalahanku, namun alih – alih meminta maaf aku malah berlari menuju asrama untuk segera mandi.
*****
Selepas isya’ seluruh santri berkumpul di aula untuk syawir (belajar/musyawarah) sesuai dengan kelas masing – masing. Tapi malam ini ada yang beda, kulihat pak lurah (sebutan untuk ketua pesantren) berdiri di mimbar sembari mengetes mik.
“cek…. Cek… bismillah…. Bismillah….”
“oke anak - anak sekalian, silahkan berbaris dan semuanya mengahadap ke saya”.

Seluruh santri segera beranjak dari kelompok belajar yang tadinya duduk melingkar kini menjadi baris rapi bersila. Aku yang tidak suka dengan acara – acara ceramah yang ku anggap bertele – tele, segera mengambil tempat duduk di belakang wawan yang gemuk berisi, sembari kutundukkan kepalaku pada punggungnya. Kepalaku yang mungil menawan seakan tak berefek apapun pada punggung wawan yang lebar mempesona, bahkan bergerak satu inci pun tidak.

“assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh” ucap pak lurah mengawali pidato

“waalikum salam warohmatullahi wabrokatuh” jawab santri – santri dengan ta’dzim.

Sementara aku hanya menguap tak jelas dan lebih khusyu’ menundukkan kepalaku ke tengah – tengah punggung wawan untuk persiapan tidur.

“anak – anak yang bapak cintai, hari ini kegiatan syawir akan diganti dengan pengumuman penting terkait wabah COVID-19 yang akan disampaikan oleh Gus Fawaid, harap jangan tidur dan diperhatikan dengan seksama.” Pungkas pak lurah sembari undur diri dari podium.
Aku yang masih mendengar suara pak lurah segera mendongakkan kepala, bukan karena tersindir, tapi karena penasaran. Karena biasanya untuk pengumuman – pengumuman hanya disampaikan oleh pak lurah atau ustadz – ustadz yang lain. Jika benar  Gus Fawaid yang akan memberikan pengumuman, maka ini merupakan hal yang benar – benar penting.
Kulihat Gus Fawaid menaiki mimbar diiringi adiknya Gus udin yang tadi sore sempat ku tendang kepalanya dengan bola secara tak sengaja. Melihat beliau yang sempat melirik ke arahku, segera kutundukkan kepalaku kepunggung wawan seperti tadi.

Setelah salam dan pembukaan dengan bahasa arab yang tak kupahami, Gus fawaid memulai pidatonya dengan membicarakan hal – hal terkait COVID-19. Aku yang sudah khusyu’ menunduk di punggung Wawan sedari tadi, lambat laun kehilangan kesadaran dan alhasil aku ketiduran tanpa disertai mimpi yang mengesankan. Entah karena punggung Wawan yang terlalu nyaman atau memang aku yang pada dasarnya suka tidur.

*****

Dingin malam menusuk tulang, kurapatkan sarungku menutupi seluruh tubuh. Bintang gemerlap di sebelah utara seakan sengaja ditaburkan untuk menghias malam. Agak jauh tampak kerlap – kerlip kendaraan di jalan raya dan lampu – lampu yang meneranginya. Proporsi yang sesuai saat kulihat semua itu dari atas genting asrama.

Bersama Ucok dan Rudin, kunikmati seruput kopi panas yang baru saja kubeli dari kantin dengan uang hasil patungan bertiga. Tak lama kemudian Rudin mengeluarkan sebungkus rokok gudang garam surya beserta korek dari kantung jaketnya. Saat kulihat isi di dalamnya yang hanya lima batang, kutebak ia pasti membelinya di warung Mbak Nur samping pondok secara eceran itupun entah hasil bon atu bukan.
“mat, kalo menurut kamu gimana tentang pemulangan seluruh santri yang tadi di umumin Gus Fawaid?” Tanya Rudin setelah menghembuskan asap rokoknya.

Aku yang masih kesulitan menyalakan rokok tak segera menjawab  pertanyaan Rudin.
“kalo aku sebenarnya masih belum siap diadain pemulangan kaya gini. Apalagi waktu kembali ke pondok juga belum ditentukan, agenda pesantren ramadhan juga ngga ada, terus kita dirumah mau ngapain?. Ndak siap mat aku, ndak siap kalau sampe liburan malah jadi begini, mending sekalian ngga usah libur mat aku,” keluh Rudin yang kemudian mengisap rokoknya dalam – dalam.
Keputusan Pak Kyai yang disampaikan Gus fawaid tadi memang sangat mendadak sekali. Kami semua dipulangkan tanpa terkecuali dalam dua hari lagi.

Akupun tak habis pikir membayangkan liburan selama itu dengan dihantui perasaan was – was terhadap kondisi alam yang kian mencekam dan kekhawatiran terhadap Pak Kyai serta pondok pesantren yang kami tinggalkan.
Kami bertiga hanya diam di atas genting sambil memandang petak – petak sawah yang gelap serta jalan raya yang kini mulai sepi pengendara. Aku yakin kami bertiga bahkan mungkin seluruh santri, tak menyikapi kepulangan kali ini sebagai liburan yang menyenangkann. Jujur kami sangat kurang siap untuk hidup bermasyarakat dengan baik sebagaimana yang dipesankan oleh Gus Fawaid tadi. 

Kabut mulai tampak, kamipun mulai beranjak, menghindari dingin yang kian merangkak serta menutup telinga dari nyanyian katak. Ah mau bagaimanapun ini memang liburan, liburan yang tak dirindukan.

Catatan Si MAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang