Surat dari Mentari

52 7 2
                                    

Surat dari Mentari
Karya Amelliana Melasarrah

Pipiku kembali basah bersamaan dengan tangisan dunia sore ini. Ntah mengapa luka itu datang lagi. Luka, iya luka. Luka yang pernah membuatku jatuh sedalam-dalamnya.

Ada banyak duka yang telah aku lalui. Tapi ntah mengapa luka kali ini rasanya sungguh berbeda. Seperti langit yang tak tertandingi tingginya, seperti hujan yang tak terhitung butirnya, dan seperti angin yang tak ada ujungnya.

Nama ku putri seorang gadis kecil dengan lesung pipi yang tampak jelas di senyumku. Masa kecilku selalu dibumbuhi dengan warna warni kehidupan. Aku bukanlah gadis yang berasal dari keluarga kaya-raya. Ayah dan ibuku hanyalah petani yang hidup disebuah desa kecil yang berada ditengah hutan.

Hem tengah hutan?
Iya tengah hutan.
Memang kedengarannya aneh tapi itulah desa tempat aku dilahirkan dan dibesarkan.

Hidupku biasa saja sama seperti teman sebayaku yang lainya. Sesekali aku dan ayahku pergi ke desa sebelah untuk membeli beras dan perlengkapan lainnya. Setiap pagi aku selalu membantu ibuku untuk menyiapkan makanan dan mengantarkannya ke ladang tempat ayahku bekerja. Aku menikmati hari-hariku. Aku merasa kenyang dan bahagia meskipun aku hanya makan sesuap nasi dan sepotong ubi.

Kebersamaan dan kasih sayang kedua orang tuaku lah alasan kebahagiaanku. Benar kata orang bahwa kebahagiaan itu sederhana. Aku tak perlu uang yang banyak, jabatan yang tinggi, atau pun hidup dengan bergelimangan harta. Yang aku butuh hanyalah waktu dan kasih sayang kedua orang tuaku. Bagiku itu adalah kebahagiaan terbesarku.

Berlarian ditengah lebatnya ilalang adalah salah satu hobbyku. Hampir setiap hari aku selalu bergelut dengan ribuan ilalang itu. Berlarian ditemani sentuhan angin dan sapaan sang surya yang perlahan pergi menjauh. Ntah mengapa gesekkan ilalang-ilalang itu seakan merasuk ke sukmaku yang mampu menambah rasa bahagiaku.

Ditengah hamparan ilalang itu kutatap wajah indah ayahku yang tengah berjalan menghampiriku. Setiap sore hari seusai bekerja di ladang, ayah selalu menemaniku menikmati surya yang semakin menghilang menjauh dari tatapanku.

Surat dari MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang