Surat dari Mentari

8 2 1
                                    

Pagi ini hari pertama aku ke ladang tanpa orang tuaku. Kulukis senyumku pagi ini meskipun sebenarnya hatiku masih menjerit. Kuperhatikan sekelilingku. Semuanya hening, alam seakan tak ingin berteman denganku. Kukuatkan langkahku berjalan sendiri menuju ladang.

Sesampainya di ladang, semua memoriku bersama kedua orang tuaku seakan terputar kembali. Kali ini aku datang sendiri. Datang ketempat yang sama dengan rasa yang berbeda. Terasa ada yang kurang dihidupku. Tanaman yang kami tanam tak tampak baik-baik saja, sama seperti hatiku. Kususuri ilalang tempat biasa aku dan ayahku bermain. Tapi sentuhan ilalang itu tak lagi sama.

Mentari pergi tanpa salam perpisahan. Ia seakan tak ingin lagi berteman denganku. Kenangan-kenangan indah yang pernah kami lalui hanya tinggal sebatas cerita, cerita yang takkan pernah terulang lagi dan akan selalu membekas di hati dan pikiranku. Detik terus berjalan, hari-hari terus berganti.

Hidupku sama sekali belum membaik. Semuanya terasa hampa. Hidup dengan bayang-bayang kenangan membuatku semakin lelah. Aku berharap Tuhan segera mencabut nyawaku. Aku ingin sekali bertemu dengan ayah dan ibuku. Aku sangat merindukan mereka. Hampir setiap hari kudatangi makamnya, kutaburi bunga serta kuceritakan semua yang aku alami. Sampai suatu ketika ladang kami siap dipanen.

Untuk pertamana kali kupanen sendiri hasil ladang kami. Seusai panen kubawa semua tanaman itu ke desa sebelah. Tapi hal tak terduga pun terjadi. Aku tersesat di hutan. Aku lupa jalan mana yang pernah aku dan ayah lalui. Hingga aku sampai di sebuah desa yang belum pernah ak datangi sebelumnya.

Di sana aku bertemu dengan seorang kakek yang berhati putih. Dia menyapaku

"Hei gadis manis, apa yang kau bawa?" Tanya kakek itu padaku.

"Aku membawa sayur-sayuran dari ladangku sendiri, apakah kakek mau membelinya?" Tanyaku pada kakek itu.

"Kau datang dari desa mana? Sebab kakek belum pernah melihatmu berada di desa ini" tanya kakek itu lagi.

"Aku datang dari desa sebelah kek, aku tersesat di hutan hingga sampai kemari. Biasa aku dan ayahku menjual hasil ladang kami di desa Daun Hijau" jawabku pada kakek.

"Bagaimana kau bisa tersesat?" Tanya kakek padaku.

Ku ceritakan semuanya pada kakek itu. Seketika kulihat air mata jatuh dari pipinya.

Kakek itu langsung memelukku dan berkata"Kau anak yang hebat"Aku hanya tersenyum mendengar apa yang kakek itu katakan. Tak lama setelah perbincangan itu, dia membeli semua sayur yang kubawa. Dia juga meminta agar setiap kali panen aku menjual sayur-sayuranku padanya. Tak hanya itu, kakek itu juga mengantarkanku pulang. Sesampainya di desa, langsungku temui makam ayah dan ibuku, kuceritakan semuanya kepada mereka.           

Hari-hariku terus berlalu. Hari ini tepat ulang tahunku yang ke 15 tahun. Tak terasa tujuh tahun berlalu tanpa kehadiran ayah dan ibuku. Pagi ini kurasakan lagi senyuman tulus di bibirku.

Kesatria pagi kembali tersenyum menyambut hariku. Kudengar suara nyanyian burung yang menghiburku pagi ini. Desiran angin kembali menghampiriku. Seperti biasa aku akan keladang untuk mengurus tanamanku. Sepulang dari ladang aku akan tetap bermain dengan ilalang-ilalang itu seraya menatap mentari yang kembali pergi meninggalkanku. Malam kembali datang.

Kali ini purnama datang lagi menemuiku. Bintang-bintang kembali bersinar malam ini. Lagi-lagi aku duduk di teras rumahku ditemani boneka kecilku. Kutatap dua bintang kecil yang selalu bersinar di setiap malamku. Sekarang aku sadar apa arti kehidupan yang sebenarnya. Aku semakin sadar bahwa ayahku benar bukan kebahagiaan yang menghampiri kita tapi hati yang tulus bersyukur dan ikhlaslah yang mengantarkan kita pada kebahagian.

Setiap proses akan membuat kita semakin dewasa. Terkadang rasa sakit yang kita alami adalah jembatan untuk kita bisa lebih dewasa dan mengerti apa arti dari kehidupan. Tetap jaga keikhlasan hati terus bersyukur dan jemputlah kebahagianmu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Surat dari MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang