Sepertinya Pak Hamka terlalu menikmati pekerjaannya. Entah sadar atau tidak, telah banyak murid-murid yang kepalanya berguguran ke atas meja. Tak sedikit pula yang telah berkelana ke negeri China hingga ke benua Eropa. Bahkan, sang Bagaskara pun telah enggan menempati singgasananya. Tapi, satu-satunya guru pengampu mata pelajaran sejarah di sekolah itu belum juga memberikan tanda-tanda untuk menyelesaikan kelas.
"Tanggung. Gak enak kalau materi ini diputus. Jadi saya langsungkan saja. Gak banyak kok," ucap beliau di awal kelas tadi, yang nyatanya kalimat terakhir itu sama sekali tak terbukti.
Aku menghela napas pelan. Godaan setan memang berat. Kipas angin tua yang sedari tadi berputar di atas kami memberikan rasa sejuk yang pas untuk tidur. Memaksaku untuk meletakkan kedua siku tangan di atas meja dan menjadikannya sebagai penyangga kepala yang rasa-rasanya mulai berat untuk sementara waktu. Mungkin hingga beliau memutuskan untuk menyelesaikan kelas.
Sesekali netraku pergi berpendar, mencari kepala milik siapa saja yang masih kokoh di kelas ini. Ternyata tidak ada. Hanya kepala milikku saja sepertinya. Dan tentunya kepala berambut putih milik Pak Hamka yang tak henti-hentinya bercerita tentang kejayaan Majapahit di masa lampau.
"Di tangan raja ke-empat yang bergelar Rajasanagara bersama sang patih Gajah Mada, Majapahit mengalami puncak kejayaannya." Sayup-sayup aku mendengar penjelasan Pak Hamka sebelum kalah akan godaan setan, dan berakhir dengan gugurnya kepalaku yang membiarkan kepala milik beliau berdiri kokoh seorang diri.
Tenang dan nyaman. Itulah yang kurasakan sedari tadi sebelum pasukan kerajaan nyamuk mulai melakukan penyerbuan pada tubuhku. Perih dan gatal terasa di sekujur tubuh. Khususnya di bagian kaki dan wajah yang mungkin tanpa sadar jemariku menggaruk bekas gigitannya terlalu kuat.
Aku menggeliat sebentar. Saat mulai membuka mata hingga mengerjap-ngerjapkannya, tak ada satupun berkas cahaya yang masuk ke korneaku. Gelap. Hitam. Sunyi. Senyap. Memangnya seberapa lama aku terlelap hingga suasana kelas yang tadinya menenangkan berubah seketika menjadi menyeramkan? Aku sendiri tidak tahu.
Tanganku berusaha mengeluarkan ponsel yang sedari pagi belum tersentuh dari dalam tas. Rasa gatal dan perih yang tadi mendominasi hilang seketika. Kalah dengan rasa takut dan was-wasku yang lebih besar.
Aku segera menghidupkan fitur senter setelah berhasil mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Namun, rupanya hal itu belum cukup untuk mengusir perasaan takut akan suasana gelap dan mencekam yang masih saja mendominasi.
Mencoba berinisiatif menghilangkan rasa takut ini, aku mengarahkan sorot senter pada saklar lampu. Bayang-bayang tentang hantu yang sering tiba-tiba muncul tidak juga lepas dari pikiranku. Ah, masa bodo mau dikatai penakut atau sejenisnya. Gelap memang bukan duniaku. Segera saja aku memasang langkah seribu setelah mendapati letak saklar lampu tersebut dan cepat-cepat menghidupkannya.
"Akhirnya," gumamku sembari mengelap keringat yang mulai tercecer di wajahku.
Tanpa membuang waktu lagi, aku segera mengemasi barang-barangku setelah semua lampu di ruangan ini menyala sempurna. Ibu kos bisa-bisa mengunciku di luar jika aku tidak segera pulang sebelum jam sembilan-—mengingat sekarang telah menginjak pukul delapan malam. Badanku juga rasa-rasanya sudah merengek minta segera diguyur air.
"KUNTI!"
Aku sontak menoleh ketika mendengar suara teriakan yang terdengar dari luar. Namun nahas, sebuah bola meluncur keras mengarah tepat ke wajahku. Membuat tubuhku yang berdiri tanpa kuda-kuda jatuh terpental begitu saja.
"Awh," ringisku sembari mengusap-usap bagian pipi yang menjadi bekas tempat untuk mendarat bola tadi.
Aku tersenyum kecut. Ternyata benar kata paman. Lebih baik dipukul daripada kena timbuk bola. Perihnya terasa lima kali lipat lebih sakit daripada pukulan ganas milik ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takhta
Teen FictionRupanya, enam tahun bukanlah waktu yang lama untuk bisa membuat hatiku melengserkan kedudukanmu. Kukira, sekembalinya kamu, harapan-harapan indah bersamamu akan segera menjadi nyata. Tapi takdir meneriaki itu hanya kefanaan belaka. Kamu kembali, buk...