"Udah siuman rupanya."
Aku menatap sekitar. Ruangan ini luas. Temboknya tampak adem dan cerah dengan warna biru langit yang bersih. Jam dinding berbentuk jerapah yang menggantung tepat di bawah AC menarik perhatianku. Pemilik kamar ini pasti sangat disiplin waktu. Terlihat dari caranya meletakkan jam yang berada tepat di hadapan tempat tidurnya. Jam itu cukup besar hingga aku bisa melihat detikannya dari jarak yang tak begitu dekat. Tirai-tirai dari jendela yang mengapit tubuh jam itu dibiarkan terbuka menyapa mentari sore.
Aku mengalihkan pandangan ke sudut kanan ruangan ini. Di sana terdapat sebuah meja bundar kecil dengan pot tanaman kaktus yang tengah kembang diletakkan di atasnya. Sedangkan di sudut kiri ruangan terdapat sepaket seragam anak SMA yang menggantung rapi dengan sepatu berbagai warna yang berjejer di bawahnya.
"Aku di mana?" tanyaku pada pemilik suara tadi.
Dia berjalan melewatiku dan mengambil segelas teh hangat dari atas nakas yang berada tepat di samping kananku.
"Kamu ada di kamar saya. Tadi kamu pingsan lama sekali. Bahkan saat bel pulang pagi dibunyikan kamu belum sadar juga, jadi saya bawa kamu pulang sekalian."
Tangannya menyerahkan segelas teh tadi. "Minumlah."
Aku meraih gelas itu. Minuman ini memiliki bau yang sangat kuat dan tidak seperti aroma teh biasanya.
"Ini bukan teh ya?" tanyaku dengan memperhatikan tiap inchi gelas itu.
"Itu teh jahe. Kata Tante, minuman itu bisa meredakan masuk angin dan sangat bagus untukmu," jelasnya.
Aku meneguk minuman itu perlahan-lahan. Yang diucapkannya tadi benar. Perutku terasa lebih enakan setelah meminumnya hampir setengah gelas.
"Kenapa kamu membawaku ke rumahmu? Kenapa tidak ke rumahku?" tanyaku. Gelas yang berisi teh jahe tadi kuletakkan kembali ke atas nakas.
"Saya tidak tahu dimana rumahmu. Teman-temanmu juga tidak ada yang tahu."
Oh Tuhan! aku lupa. Meski sudah hampir dua tahun hidup di kota ini, tak ada satupun temanku yang tahu di mana rumahku. Eh, kamar kosku maksudnya.
Dia berjalan ke sudut kiri ruangan ini dan mengambil benda bulat yang ikut berjejer bersama sepatu-sepatu tadi. Tangannya lihai bermain dengan bola itu. Mereka-dia dan bola itu terlihat sangat akrab seperti sahabat karib.
"Memangnya sekeras apa hantaman bola dari servis saya yang gagal tadi, hingga mampu membuatmu pingsan berjam-jam?"
Aku beralih menatap langit-langit. Mencoba mengingat-ingat sekeras apa hantaman bola tadi.
"Aku tidak tahu. Sepertinya lumayan keras. Wajahku saja rasanya masih perih dan kepalaku rasanya masih berat."
"Kalau begitu tidurlah. Kamu masih perlu istirahat. Nanti kalau sudah baikan saya akan mengantarmu pulang."
Dia meletakkan kembali bola itu dan beralih menuju lemari yang berada di sisi kanan ruangan. Beberapa helai pakaian dia keluarkan dari dalam sana.
"Tidurlah. Saya mau mandi dulu. Nanti kalau ada orang yang masuk dan mencari saya, bilang saja saya sedang mandi," pesannya sebelum masuk ke dalam kamar mandi yang pintunya berada tepat di samping lemari itu. Siapapun pasti tidak mengira jika itu adalah pintu menuju ruangan lain karena pintu itu seperti didesain khusus menyerupai pintu lemari yang berada di sampingnya.
Aku kembali membaringkan tubuh di atas kasur empuk miliknya. Seperti perintahnya, aku mencoba memejamkan mata, namun rasanya begitu sukar. Pikiranku berlarian tak tentu arah, membuatku semakin kesulitan menuju alam mimpi. Setiap berusaha memejamkan mata, bayang-bayang tentang pria yang berperawakan mirip Ishya muncul di hadapanku. Aku kembali mengingat kejadian siang tadi. Beberapa pertanyaanku belum mendapat jawaban. Siapa pemilik punggung dan suara tadi belum menemukan titik terang.
Lima menit berlalu begitu saja. Namun bayang-bayang tentang Ishya tidak bisa lepas begitu saja. Aku berguling ke kanan dan ke kiri berulang kali, berharap pertanyaan-pertanyaan itu mau melepas cengkeramannya dari pikiranku.
Laki-laki itu telah keluar dari kamar mandi. Penampilannya terlihat lebih segar dengan rambut yang telah basah. Dia juga telah mengganti seragam osisnya dengan setelan kaus putih berlengan pendek dan celana training pendek berwarna hitam dengan variasi garis hijau di samping kanan kirinya. Paras tegas dan penuh wibawa yang dimiliki laki-laki itu terlihat lebih menonjol. Aku baru menyadari jika laki-laki ini memiliki sepasang alis yang tebal dan menukik tajam, setajam sorot matanya yang seperti duplikat dari sorot mata sang burung penguasa angkasa.
"Nalaaa! Main kuy! Anak kompleks sebelah ngajakin tanding, mau gak?"
Dia berhenti mengacak rambutnya dengan handuk. Netranya menatap diriku dan pintu secara bergantian.
"Laaa, lo di dalem gak sih?"
Manusia yang berada di balik pintu itu mulai menggedor-gedor pintu hingga menimbulkan suara berisik.
"Oy! Bentar."
Dia berlari menghampiriku. Selimut yang tadinya kukenakan hanya sampai perut, ditariknya hingga menutupi wajahku.
"Kamu sembunyi di sini. Jangan banyak gerak!"
Aku menyibaknya. "Kenapa?"
"Dia teman saya di sini. Mulutnya lemes dan dia enggak kenal sama kamu. Saya cuma enggak mau dia ngomong yang bukan-bukan setelah lihat ada kamu di sini."
Tangannya kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku.
"Tolong kerja samanya," bisiknya sebelum berlari meninggalkanku untuk menemui temannya yang telah menunggu di balik pintu.
"Bro, ngapain aja sih tadi, lama banget." Terdengar suara keluhan begitu pintu dibuka.
"Mandi. Kenapa emang?"
"Ck. Mandi doang lama bener kek perawan."
"Suka-suka gue lah. ngapain lo sewot."
Ya Tuhan! Ternyata cowok bisa seribet ini ya, kalau ketemu. Hal sepele saja dibahas.
"Anak sebelah ngajakin main. Lo ikut gak?"
"Anak-anak kompleks sebelah? Jam berapa emang?"
"Yoi. Jam lima-an lah, kek biasanya."
"Ya udah. Gue ikut, tapi nyusul. Lo pergi dulu aja."
"Lah, kok lo nyusul sih. Percuma dong gue ke sini niat nebeng lo. Gue tuh lagi males tau gak kalau kudu bawa motor sendiri."
Ah elah, Bang. Ojol 'kan ada. Ribet amat. Nggak tau apa kalau aku di bawah sini tuh pengap. Nggak bisa napas.
Cklek
"Kamu bisa keluar sekarang. Dia udah pergi."
Aku segera menyibak selimut itu dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.
"Lama banget. Udah kayak mbak-mbak rumpi tau nggak," keluhku tanpa menatapnya sama sekali.
"Bang, kaktusnya udah kembang. Kalau lo mau ambil satu buat kado cewek lo, bagus tuh."
Aku menatap punggung seseorang yang tengah sibuk memilih kaktus-kaktus di atas meja. Kenapa rasa-rasanya punggung itu mirip dengan milik Ishya. Tapi, sejak kapan Ishya punya cewek?
"Ini bagus nih. Gue ambil yang ini, ya."
Ia berbalik menghadap kami. Kini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kedua alisnya berkerut. Netranya memandangku dan laki-laki yang sepertinya memiliki nama Nala secara bergantian dan penuh pertanyaan.
"Acha?"
Kami bertiga saling berpandang-pandangan dengan berbagai pertanyaan di benak masing-masing.
30-3-2020
nunabd_TBC
***Kira-kira gimana kelanjutan kisah Varsha? Apa bener si Ishya punya cewek? Atau... Varsha cewek yang dimaksud?
Kita tunggu saja kelanjutannya
Salam hangat,
Nun
KAMU SEDANG MEMBACA
Takhta
Teen FictionRupanya, enam tahun bukanlah waktu yang lama untuk bisa membuat hatiku melengserkan kedudukanmu. Kukira, sekembalinya kamu, harapan-harapan indah bersamamu akan segera menjadi nyata. Tapi takdir meneriaki itu hanya kefanaan belaka. Kamu kembali, buk...