Hari-hari mendekati pelaksanaan penilaian tengah semester membuat ruang guru seperti pasar dadakan. Banyak siswa-siswi yang mengerumuni wali kelas mereka guna mengambil kartu, membuatku sedikit kesusahan untuk menuju meja Pak Hamka yang berada di pojok kiri ruangan ini.
"Nyenyak tidurmu kemarin, Varsha?" ejek beliau tanpa basa-basi begitu aku sampai di mejanya.
"Tidak, Pak."
Aku berusaha menyembunyikan wajah dari tatapannya yang penuh selidik. Malu? Tentunya.
"Tidak? Padahal pipi kamu sampai merah begitu lho, gara-gara menahan kepala kamu yang berat karena penuh materi dan tugas-tugas itu."
Merah? Benarkah? Aku meraba pipi kanan, lalu beralih ke yang kiri. Setahuku kedua pipiku masih baik-baik saja. Bahkan, setelah tertimbuk bola semalam pun rasanya masih baik.
"Saya bercanda, Varsha. Jangan terlalu serius seperti itu. Nanti kamu cepat tua, lho," ucapnya dari balik buku tebal dengan netra yang sesekali mengintip. Membuatku gugup sekaligus takjub. Meskipun sudah berusia setengah abad lebih, Pak Hamka sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa usianya telah mendekati masa pensiun-selain seluruh rambut yang hampir memutih tentunya. Orang yang tidak tahu menahu tentang beliau, pasti mengira usianya masih sekitar empat puluh tahun. Padahal mah, jauh.
"Jadi, ada hal penting apa hingga membuatmu memilih datang ke meja sepi ini, Varsha?"
Beliau meletakkan buku tebal tadi ke atas meja dan melepas kaca mata berlensa tipis miliknya.
Sebuah buku kecil dengan sampul coklat ke-emasan bergambar gapura kuletakkan di meja beliau.
"Tugas halaman tujuh belas, lima puluh sembilan, seratus tujuh, seratus dua puluh tujuh, dan seratus lima puluh yang ditulis di buku batik kecil disampul warna coklat keemasan dengan gambar gapura punya saya sudah selesai, Pak."
Beliau mengambil buku itu dan memakai kaca mata miliknya kembali. "Tugas?" tanyanya dengan raut keheranan.
Aku mengangguk mantap, membenarkan.
"Rajin sekali kamu ini, Varsha. Belum juga saya memberi tugas, tapi kamu sudah mengerjakannya terlebih dahulu. Seperti cenayang saja kamu ini." Entah itu pujian atau ejekan, beliau mengucapkan hal itu dengan geleng-geleng kepala seperti sedang terkesima.
"Lho? Padahal semalam jelas-jelas Rio nyebar tugas di grup yang nggak ada guru deh. Tunggu, kenapa dia nge-share-nya di grup yang nggak ada gurunya, ya? Apa jangan-jangan mereka sekongkol ngerjain aku?" pikirku.
Pak Hamka kembali menatapku dengan sorot tegasnya. "Siapa?"
Aku melongo. "Ha?" Lalu menoleh ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung.
"Siapa yang ngerjain kamu?"
Ah aku lupa. Beliau juga bisa menjadi cenayang 'kan?
Netraku menatap sekitar.
"Eh, em... mereka. Satu kelas, mungkin," lirihku. Was-was jika ada orang lain yang bisa mendengarnya dan mengira aku mengadu pada beliau. Bisa-bisa mereka memiliki dendam kesumat padaku.
Pak Hamka tidak mengeluarkan ekspresi apapun. Beliau seperti sudah hafal dengan tingkah siswa-siswi di sekolah ini.
"Saya kira kamu mendapat wangsit saat tidur di kelas kemarin," kekeh beliau kemudian.
Aku menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Lagi-lagi beliau membahas hal itu. Benar-benar. Aku tidak mau tidur saat pelajaran lagi. Kapok. Sudah menjadi bahan tertawaan teman di dunia nyata dan maya, sekarang malah jadi bahan pembicaraan dengan guru. Malu aku, malu. Pengen tenggelam deh rasanya.
Beliau mengambil buku yang kuletakkan di mejanya, lalu menaruhnya ke dalam tas.
"Tugas ini saya terima. Kamu bisa kembali ke kelas sekarang, Varsha. Jika nantinya ada tugas dari saya, kamu tidak perlu mengerjakannya lagi."
Tangannya menyodorkan sebuah bingkisan padaku.
"Terimalah. Ini hadiah karena kamu telah menyelesaikan tugas yang bahkan belum saya berikan. Kamu berhak atas ini."
Dengan sedikit rasa sungkan, aku menerima bingkisan tersebut dan mengintipnya sekilas. Sebuah buku dan coklat? Bagaimana beliau tahu dua barang kesukaanku ini? Mungkin hanya kebetulan saja. Jangan ketinggian PD, Varsha.
"Saya bercanda. Itu memang barang milik kamu. Seseorang menitipkannya pada saya tadi saat piket. Lagipula mana bisa kebetulan jadi secanggih ini."
Senyumku perlahan memudar. Aku tinggal sendiri di kota ini, tidak punya teman dekat-Ishya adalah bentuk pengecualian, apalagi kekasih. Mustahil juga jika dari kerabat di kampung halaman.
"Maaf. Kalau boleh tahu dari siapa, Pak?"
"Hmmm.... Seingat saya, namanya Adwaya."
Beliau kembali membuka buku tebal yang kuyakini berisi tentang sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia itu dan mulai membacanya.
Adwaya? Ah, Ishya, mungkinkah ini darinya? Jadi, ceritanya mau minta maaf ini?
"Kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih, Pak."
Sudah menjadi kebiasaanku untuk membungkuk tanda pamit sebelum undur diri dan segera meninggalkan meja Pak Hamka begitu beliau memberi kode 'silahkan'.
Meja-meja di ruang guru semakin siang semakin ramai oleh anak asuh masing-masing wali kelas di sini. Untunglah wali kelasku begitu baik hati dengan memilih membagikan kartu tes di kelas dari pada di sini. Suasana ramai bahkan terasa hingga keluar ruangan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana lelahnya mereka mengantri dengan berdiri hanya demi mendapatkan selembar kartu. Belum lagi bagi mereka yang harus mengurus administrasi, pasti lelahnya berkali-kali lipat karena harus mengantri dua kali.
Pandanganku menangkap sosok mirip Ishya tengah duduk di sofa ruang kepala sekolah seorang diri. Tubuhnya yang membelakangi posisi berdiriku saat ini mempersulit diriku untuk memastikannya. Rasa ingin tahuku muncul dan meronta-ronta. Memaksa pikiranku menerawang siapa sebenarnya pemilik punggung yang mirip dengan milik Ishya itu. Pelan namun pasti, langkahku kian mempersempit jarak antara tubuhku dengan jendela tempat aku bisa menatap punggung yang mirip dengan milik Ishya.
"WOY! AWAS!"
Aku tersentak dan menoleh ke sumber suara itu. Sejenak mengabaikan punggung yang mirip dengan milik Ishya dan menatap seseorang yang berlari mengejar bola lambung yang sepertinya akan mendarat ke arahku.
"Minggir!"
Tubuhku rasanya membeku. Kelopak mataku perlahan memejam. Mungkin memang sudah suratan takdir.
"Mbak! Awas minggir!"
Aku tidak juga bergerak. Sekeras apapun pun orang-orang meneriakiku, tubuhku rasanya tetap beku. Kakiku seperti dicengkeram erat oleh sang bumi dan tubuhku terasa mematung. Hingga sebuah benda bulat itu mendarat keras tepat di wajahku. Benar-benar tepat di wajahku. Membuat tubuhku limbung. Aku tidak bisa mengembalikan keseimbangan itu hingga tubuhku terjatuh dengan keras. Sangat keras.
Sayup-sayup aku mendengar langkah orang-orang berderap menghampiriku.
"Varsha?" Suara itu terdengar sangat familiar di telingaku. Namun rasa sakit lebih dulu menggerayangi kepalaku dan membuatku kesulitan mengenali pemilik suara itu.
Kesadaranku perlahan menghilang. Suara itu tenggelam di antara riuh bisik-bisik orang. Sunyi. Senyap. Aku tidak lagi mendengar suara apapun. Kesadaranku benar-benar menghilang. Aku tidak tahu lagi dengan apa yang terjadi setelah ini.
27-03-2020
TBC
***Terimakasih sudah membaca...
Salam hangat,
Nun
KAMU SEDANG MEMBACA
Takhta
Novela JuvenilRupanya, enam tahun bukanlah waktu yang lama untuk bisa membuat hatiku melengserkan kedudukanmu. Kukira, sekembalinya kamu, harapan-harapan indah bersamamu akan segera menjadi nyata. Tapi takdir meneriaki itu hanya kefanaan belaka. Kamu kembali, buk...