Lelaki di depan sana melangkah pelan, kedua lengannya dimasukkan pada saku jaket. Ia memutuskan untuk langsung pulang setelah mengantarku kembali ke rumah. Aku merasa tak enak sendiri melihat wajah murungnya sebelum pergi tadi, jelas ia kecewa karena aku belum bisa membantunya.
Padahal sebenarnya, jauh sebelum hari ini aku juga memikirkan untuk memulai kembali misiku. Yah, meskipun berdasarkan pengalaman, pencarian ini tak bisa menjanjikan hasil yang banyak. Atau bahkan, boleh jadi aku tak menemukan satu pun petunjuk jika hipotesisku di awal memang terbukti benar; bahwa Ibu memang tak pernah menginjakkan kaki ke sini.
Terserah bila orang-orang mengatakanku egois, ya, tak apa. Tekadku yang semula terpecah kini telah terangkai utuhlah yang sanggup menumbuhkan rasa egoisme itu, aku hanya ingin bertemu Ibu!
Mungkin saja pencarian yang kulakukan bertahun-tahun sebelumnya masih begitu kurang itu sebabnya satu pun petunjuk tak kuperoleh hingga sekarang. Tujuanku kembali tertata, menemukan Ibu dan membawanya pergi dari sini, untuk masalah keluar dari pulau ini kuyakin akan ada jalan keluar, pasti!
Pisau tajam itu beradu dengan bawang putih, tangan yang tak lembut di sana nampak begitu cekatan hingga bawang itu menjadi potongan-potongan kecil menyerupai bentuk dadu. Aku adalah satu-satunya penggemar Mama dalam hal satu itu. Mama Sarla sedang membuat bumbu untuk ditambahkan pada parutan kelapa yang telah disangrai. Sedangkan aku tengah mengukus nasi untuk makan malam.
Mengenai Mama Sarla, aku hanya tahu bahwa Ayah menitipkanku padanya sebelum pergi. Entahlah, seingatku saat itu aku terbangun dan Ayah sudah tak terlihat di mana-mana, tersisa Mama Sarla yang sempat kukira orang asing yang akan berbuat jahat padaku. Sejak saat itu aku diasuh oleh janda tak beranak itu, aku sangat berterimakasih padanya.
Namun, ada satu hal yang menjadi pertanyaanku selama ini, mengenai perjalanan kami menuju pantai yang dapat kuingat adalah saat aku dan Ayah mengobrol kecil. Mengungkapkan kata-kata perpisahan yang akhirnya membuatku menangis juga, setelah itu tak ada lagi yang terbesit dalam memori. Bahkan bagaimana kami mencapai pulau ini aku tak tahu, padahal sepenglihatanku tak ada tanda-tanda kendaraan laut atau apapun itu yang bisa membawa kami mengarungi lautan untuk sampai ke sini.
***
"Bahkan sampai sekarang Nak Niel belum datang. Kau sedang ada masalah dengan Niel?" Mama meliriku sekilas sembari meletakkan piring yang terbuat dari rotan pada meja.
"Hmm ... aku tidak yakin sebenarnya. Dia pasti merajuk karena aku menolak untuk membantunya tadi." Aku menghela napas, lelaki itu memang kekanakan!
"Oh. Yasudah, sebaiknya setelah makan nanti, kau pergi ke rumahnya. Jelaskan baik-baik tentang apa yang membuatmu tak bisa membantunya."
Aku mengangguk setuju, memang hal itu perlu kulakukan demi nasib persahabatan kami. Beberapa menit berlalu, aku dan Mama sudah menyelesaikan makan malam. Seperti biasa, Mama akan mengurung diri di kamar dengan alat rajutan di tangannya. Siapa lagi yang memberi benda 'kota' itu selain Niel.
Sedangkan aku, bersiap dengan obor bertangkai bambu di tangan. Aku menggunakan jaket tebal berwarna biru gelap yang terbuat dari bulu domba, pemberian salah satu mandor di proyek.
Aku akan menyusul Niel di rumahnya, dan melakukan apa yang Mama katakan sore tadi. Rumahnya terletak tak jauh dari lokasi proyek, satu-satunya rumah termewah di pulau ini. Syukurnya, jarak dari rumah kecil kami pun tak terlalu jauh ke sana.
Aku mulai melangkah, memasuki gelap dengan bekal sebuah obor cukup untukku. Sepanjang jalan suara mesin terdengar meski dari jauh, sedangkan bunyi-bunyian hewan begitu sepi satu-satunya yang terdengar adalah suara burung hantu.
Jalanan sedikit lebar itu terus kujejaki, hingga tiba-tiba aku mendengar hentak kaki seperti berlari di sekitar pohon tepat di sisi kananku.
Aku berdiri waspada, mengarahkan obor untuk pencahayaan agar aku dapat melihat dengan jelas seseorang yang mungkin bersembunyi di dekat sini.
"Aaa!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alisa and The Lost Island (On Going)
FantasySemua berawal dari tekad Alisa, seorang gadis berusia tujuh tahun yang dibesarkan sendiri oleh ayahnya. Hasratnya menggunung untuk menemukan sang Ibu, membuatnya rela pergi ke sebuah pulau kecil. Sebuah pulau terpencil yang terletak di Selat Makassa...