Ghodzob kyai

15 2 0
                                    

    'DUKO' atau bahasa Jawa dari kata 'marah'.
Begitulah para santri Jawa menyebut kata marah bagi orang yang pangkatnya lebih tinggi dari mereka. Contohnya Kyai/Guru mereka, jika Kyai mereka marah (Ghodzob dalam bahasa Arab), mereka mengganti kata marah tidak dengan kata jengkel, nyengeni, atau kata lain dari bahasa Jawa. Melainkan mereka menggunakan kata 'Duko' yang berarti marahnya orang yang pangkatnya lebih tinggi dari kita.

Lewat keterangan di atas, kita bisa memyimpulkan, bahwasannya hubungan seorang santri kepada kyai bukan sekedar hubungan seperti antara orang tua dan anak ataupun guru dengan murid seperti pada umumnya, tapi lebih dari itu semua. Santri dan kyai punya hubungan khusus, seperti halnya saat kyainya marah, seorang santri akan mendengarkan, menghormati, dan menjadikan kemarahan dari seorang guru menjadi pelajaran yang sangat berharga.

Hubungan antara kyai dan santri yang demikian juga terjadi di pondok yang diasuh oleh seorang Kyai di Pekalongan, yang mana kala itu telah mengasuh kurang lebih 400 santri putra dan putri. Pondok pesantren yang waktu itu telah berumur 20 tahun sejak berdirinya, mengadakan acara Imtihan (atau acara akhir tahun pelajaran).

Zuhdi, adalah salah satu dari beberapa santrinya Kyai Pekalongan itu yang sekarang telah menjadi sesepuh para santri Pondok Pesantren di Wonokerto, Magelang. Zuhdi muda mempunyai umur yang lebih muda dari teman-teman seangkatan kelas dipesantrennya dulu. Oleh karena itu pengurus beserta teman-temannya Zuhdi, memperlakukannya seperti anak kecil. Hal itu juga yang menjadikan Zuhdi berperilaku konyol serta kekanak-kanakkan.

Sewaktu berjalannya acara Imtihan, tiba-tiba hujan turun lebat dan menjadikan jalan maupun tempat pengajian di halaman Pesantren becek. Pak Kyai (Pengasuh Pondok) waktu itu langsung menyuruh beberapa santrinya menyambil bekas gilingan kayu (grajen) untuk menimbun halaman dan jalan pesantren yang sudah mulai tergenang air. Zuhdi, salah satu diantara beberapa santri yang disuruh Pak Kyai, karena sifat Zuhdi yang gokil, Ia malah menghambur-hamburkan grajen keatas dan asyik berjoget, hingga mengganggu santri lain.

Pak Kyai yang waktu itu mendapati Zuhdi bertingkah demikian, seketika langsung menghampiri Zuhdi dan langsung memarahinya. Karena melihat kelakuan Zuhdi yang sangat memancing emosi, sampai-sampai Pak Kyai mengucapkan kata kasar "Celeng raimu!"
Seperti santri pada umunya, Zuhdi tunduk mendengarkan dan tetap menghormati walaupun kalimat yang diucapkan adalah kata kasar, tetapi malah menjadikan Zuhdi sadar akan sifat kekanak-kanakannya yang keterlaluan dan tak wajar.

Keesokan harinya, hari libur dimulai. Beberapa santri mulai mudik, kembali ke kampung halaman masing-masing. Zuhdi yang juga hari itu hendak pulang, tetapi kejadian tadi malam membuatnya ingin berubah menjadi dewasa dengan tidak pulang sebelum izin langsung ke Pak Kyai.

Tidak menunggu waktu lama, Zuhdi langsung menghadap ke Pak Kyai yang sedang duduk diteras Ndalem (rumah) nya. Pak Kyai masih terlihat bingung, dan langsung bertanya kepada Zuhdi, "Ada apa?"
Mendengar pertanyaan dari Kyai nya, Zuhdi langsung menjawab dengan mantap, "Maaf, celeng mau izin pulang."

Diary UnfaedahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang