Kurasa senja sudah pamit untuk pergi. - Devan Nicholas Arcellino
"Eh Ris, udah ketemu Gavin?" penuturan Devan itu membuat Risa menghentikan langkahnya. Risa menoleh kepada Devan, "Apa?" kata Devan bingung.
"Pak Gavin maksudnya?"
"Pak!?,"
"Pak Gavin wali kelas aku, emang kenapa?" Risa benar-benar bingung.
"Astagaaa, Risa lo beneran lupa apa gimana?" Devan gemas dengan Risa, ia refleks menarik pipi gembul Risa dengan tangan kanannya.
"Eh eh liat tuh, pacaran ko disekolah"
"Eh anjir apaan, itu Devan gue. Siapa tuh cewe!?"
"Cantik cewenya cocok sama Devan"
".... Masa lupa!?" ujar Devan yang membuat Risa langsung memfokuskan lagi dirinya ke Devan. Risa tidak menyadari bahwa Devan dari tadi tengah berbicara dengannya, Risa terlalu fokus dengan ocehan-ocehan yang tidak jelas itu.
"Hah!? Apaan?" Devan menghembuskan nafasnya. Ia menggandeng tangan Risa dan ocehan-ocehan itu menjadi lebih ribut dan mereka menatap tajam mata Risa.
Risa terkejut, apa maksud tatapan tadi? Apa kah cewe itu membenci Risa? Tapi, ini kali pertama Risa bertemu cewe itu. "Masuk" suara Devan membuyarkan pikiran Risa.
"Jadi, Pak Gavin tuh siapa sih,Van? Ko kayanya Devan udah kenal sama Pak Gavin,"
"Mangkannya tadi dengerin gue ngomong, panjang-panjang gue ngomong ko ga didengerin," Risa hanya mengerucutkan bibirnya. Risa tiba-tiba malas untuk mengobrol, ia mengalihkan pandangannya ke jalanan yang ramai itu.
"Kenapa,hmm?" tanya Devan sambil mengusap-ngusap kepala Risa. Devan merasa aneh dengan perubahan mood Risa. Mata Risa terlihat sayu, pandangannya terlihat kosong. Devan iba melihat Risa yang lagi-lagi seperti itu.
"Mau jalan-jalan dulu?" Devan berusaha mengalihkan pikiran Risa. Risa menoleh dan tersenyum. Senyuman itu, senyuman yang Devan benci. Senyuman yang seolah-olah menegaskan bahwa dirinya baik-baik saja, Devan tidak suka Risa menutupi kesedihannya dengan senyuman palsunya itu.
"Risa gak mau jalan-jalan, cape,"
Devan menggenggam tangan Risa, "trus mau apa?" tanya Devan. Ia akan membelikan apapun untuk Risa, asalkan Risa bisa berhenti memikirkan kejadian yang lalu itu. Devan tidak kuat melihat Risa yang menderita.
"Mau liat sunset aja"penuturan Risa itu membuat Devan melunturkan senyumnya. Devan tau betul Risa menyukai sunset atau senja itu. Tapi, Devan yakin saat Risa melihat senja, ia pasti akan mengingat Bunda yang sudah tidak berada disisi mereka.
Devan mengetikkan sesuatu di GPS mobilnya. Ia melajukkan mobil nya sesuai arahan yang diarahkan oleh GPS.
Sesampainya ditempat itu, Risa terus tersenyum. Senyuman yang mengartikan segala kesedihannya. Devan melihat itu, Risa selalu menutupi kesedihannya. Devan menahan air matanya agar tidak keluar, ia tidak boleh terlihat lemah didepan adiknya itu.
Risa berlari kearah ujung bukit itu, Risa berlari dengan riang. Devan mengikuti Risa dari belakang.
Devan kemudian mengingat saat ayah, bunda, Devan, Risa, serta adik mereka yang tengah dikandung Bunda mengunjungi tempat ini. Tempat dimana Bunda terakhir kali mengabadikan moment kebersamaan mereka yang disaksikan oleh Senja yang terukir indah di langit.
Saat itu Devan menolak untuk pergi ke bukit ini. Bundanya selalu bilang bahwa senja itu istimewa, menurut Devan, itu sangat aneh. Apa yang istimewa dari langit yang berwarna ke orange-an itu.
Mengingat kejadian itu, membuat Devan tertawa dalam sunyi. Meratapi kenangan indah bersama bundanya itu. Devan melihat Risa sedang duduk di ujung bukit itu, Risa terlihat sedang memeluk lututnya sambil melihat semburat langit ke orange-an itu.
Devan menghampiri Risa dan merebahkan tubuhnya dipinggir Risa, "Ris inget ga?--" sebelum Devan menyelesaikan kalimatnya Risa sudah terlebih dahulu memotong kalimat Devan, "Ngga."
Devan menarik risa agar ikut berbaring di sisinya. Risa ikut berbaring di sisi Devan dengan bermodalkan tangan Devan sebagai bantalnya.
Devan tersenyum melihat adiknya yang tiba-tiba tenang seperti itu,"dulu gue kan gasuka senja," Risa menatap Devan lalu menatap lagi langit senja itu. "Tapi, sekarang gue sadar. Senja itu emang istimewa" ujar Devan sambil tersenyum.
"Udah tau apa ke istimewaanya?" tanya Risa, ia tidak mengalihkan pandanganya.
"Keistimewaanya, gue jadi bisa inget kenangan-kenangan indah yang pernah gue rasain dulu. Soalnya gue merasa tenang ngelihat keindahan itu," Risa menoleh dan menatap mata Devan lekat.
Devan mengusap kepala adiknya itu, "Devan inget bunda ya?" tanya Risa. Pertanyaan Risa membuat Devan menghentikan aktivitas mengusap kepala adiknya itu.
Devan mendudukkan dirinya, ia menatap mata Risa, mereka berdua saling tatap-tatapan. Risa tersenyum, "Risa selalu inget bunda. Dimanapun dan kapanpun, Risa selalu inget bunda"
"Risa pengen banget balik ke masa lalu, dimana Risa bareng Bunda,Devan, sama Ayah. Risa pengen piknik dibukit ini lagi sama kalian," Risa mengangkat kepalanya dan menatap langit sambil tersenyum.
"Sekarang, bunda udah diatas sana. Risa hanya bisa nginget kenangan bareng bunda, tapi Risa gabisa lagi buat kenangan bareng bunda," Devan tidak bisa berkata-kata lagi. Ia tidak bisa menenangkan Risa, Devan terhanyut dalam perkataan yang dilontarkan oleh Risa.
"Risa pengen kaya Bunda, jadi photografer. Risa mau mengabadikan semua yang istimewa dan indah." Devan tersenyum melihat Risa yang sepertinya benar-benar ingin menjadi photografer itu.
"Risa masih inget kejadian 'itu'?
•
•
•
Tbc..
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja terakhir (ON GOING)
Jugendliteratur"Senja yang kau rindu, kini hanya bisa kunikmati seorang diri" • Mungkin wajar dengan perasaan seperti ini aku berbeda dengan yang lainnya. Aku takut merasa sendiri dan aku takut jika tidak bisa mengingat hal yang seharusnya tidak aku lupakan.