Lizbeth Einzburg

324 120 230
                                    

Afri membasuh seragamnya dengan pasrah, saat sadar saus tomat bekas praktik memasak masih saja menempel dibajunya.

Tanpa sengaja jarinya yang luka menyenggol keran ketika akan mematikan aliran air. Afri merasakan nyeri luar biasa pada telunjuknya yang tertutup plester, namun mimik wajahnya sama sekali tidak berubah.

Tidak tampak meringis ataupun kesakitan. Mungkin karena sudah banyak luka lebih serius yang pernah dialaminya ketimbang goresan kecil pada telunjuknya.
     
praktik memasak adalah pelajaran terakhir dalam jadwal kelas Afri. Saat ini, sekolah sudah semakin sepi, hampir menyisahkan beberapa siswa yang menunggu jemputan.

Waktu Afri sudah banyak terbuang karena harus pergi ke UKS mengobati tanganya yang luka, juga membersihkan bajunya yang ternodai.

Bibirnya melukiskan senyum miris. Noda saus tomat yang disemprotkan teman sekelasnya----ah bukan, dia tidak pernah punya teman----masih membekas. Juga, luka yang tertentu saja sengaja dialamatkan kepadanya Untung saja dia mampu menghindarkanya dari bagian vital.

      Apa ada yang lebih buruk dari itu?

siswa bertubuh mungil itu membuka tasnya, bermaksud mencari saputangan untuk mengelap tangannya yang basah.

Refleks, mulutnya terbuka begitu mendapati saputangan hadiah dari ibunya setahun lalu, sudah tercabik cabik tak berbentuk. Kotor penuh debu dan jejak sepatu membekas di atasnya. Rajutan tangan ibunya yang membentuk nama "Afri" sudah tidak dapat dikenal lagi.

Tidak lama kemudian, tangan Afri yang masih basah sekali lagi membuka kran air. Dia membersihkan saputangan itu sekenanya.

     Kenapa? Kenapa ini terjadi padaku? Apa salahku?

Afri memperhatikan permukaan air danau yang tenang. Ikan ikan yang berenang riang disana setidaknya bisa sedikit menghibur.

Ya, dia memang selalu mengunjungi taman ini sepulang sekolah. Hanya membutuhkan waktu 7 menit berjalan kaki dari sekolahnya. Banyak bangku berderek dibawah pohon rindang yang dapat digunakannya untuk melepas penat.

Satu satunya tempat yang bisa menghibur hatinya dan melepaskan diri dari pikiran teman teman---ah, mereka bukan teman---yang menindasnya.

Saking seringnya mengunjungi tempat itu, Afri sudah hafal semua pengunjung yang biasanya berada ditaman tersebut. Segerombolan anak perempuan bermain skipping, seorang ibu dengan bayi perempuan dalam kereta dorong, kakek tua yang mengajak jalan jalan anjingnya, serta sekumpulan anak laki laki yang bermain card game penuh semangat.

"Aku menyerang dengan Sacred Knight!"
"Lihat saja, aku takkan kalah! kali ini giliranku! kuaktifkan counter-blast milik Dragon Crusher!"
     
"Kamu masih memiliki kartu kuat yang tersisa?! Hahaha!".
     
Teriakan semangat anak anak yang bermain card game itu terdengar jelas di telinga Afri. Jujur saja, dia merasa iri. Iri pada segala kesenangan mereka. Iri pada card game seru----sebenarnya Afri tak mengerti, tetapi sepertinya terlihat seru---- yang mereka mainkan. Iri pada tawa tanpa beban yang mereka luncurkan. Iri pada ikatan pertemanan mereka.

      Afri iri pada semua yang mereka miliki.

Dari dulu, Afri selalu menjadi korban penindasan anak anak jail disekolahnya. Tubuhnya yang mungil dan fisiknya yang lemah membuat mereka ketagihan melakukanya.

LAST PUZZLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang