Bandung, 3 Maret 2008
"Bu, Rena pergi dulu ya," pamit gadis itu pada seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di sebuah sofa usang.
Tatapan wanita itu sayu, wajahnya yang pucat menyiratkan jika dia tidak sedang baik-baik saja.
"Bu, tangan Ibu dingin sekali. Ibu sakit?" tanyanya, saat mencium tangan itu dengan takzim. Wanita itu sedikit menarik sudut bibirnya lalu menggeleng pelan.
"Ibu, tidak apa-apa Ren. Mungkin Ibu hanya kecapaian," jawabnya lemah.
"Ya sudah, hari ini Ibu tidak usah jualan dulu ya? Ibu istirahat saja.
Bayu, nanti sambil berangkat sekolah, tolong kamu mampir ke rumahnya Bu Titin, dan bilang kalau hari ini Ibu tidak bisa menjajakan kue buatannya. Biar dijual sama yang lain," pinta Rena pada Ibu juga adiknya. Bayu mengangguk.
"Rena berangkat dulu ya, Bu. Mudah-mudahan hari ini banyak setrikaan yang Rena dapat, biar pendapatan Rena juga banyak. Jadi, kita bisa makan enak ya?" Ditanggapi senyuman getir dari sang Ibu. Gadis itu pun beranjak meninggalkan rumah.
Namun, baru beberapa langkah dia meninggalkan rumah, terdengar teriakan adiknya dari dalam rumah. Rena berbalik menghambur ke sumber suara.
"Ada apa Bayu?" tanyanya setengah berteriak.
"Ibu, Mbak!"
Rena menghambur pada ibunya yang tergeletak tak sadarkan diri. Terlihat darah menetes dari sela pahanya.
"Kamu sekarang pergi sekolah, sebelum ke Bu Titin, tolong kamu panggilkan Ratna untuk nolong mbak bawa Ibu ke puskesmas," pinta Rena tanpa jeda. "Cepetan Bayu!" pintanya lagi. Anak itu mengangguk, lalu segera berlari ke luar setelah meraih tas usangnya di meja.
.
"Sudah berapa lama Ibu mengalami pendarahan?" tanya sang Dokter yang tengah berhadapan dengan Rena, sementara Bu Lastri masih terbaring lemah di brankar.
"Sudah beberapa bulan ini, Dok. Tapi Ibu mengira mungkin karena mau menopause jadi datang bulannya tidak berhenti. Apakah ada sesuatu yang serius, Dok?" tanya Rena penasaran.
"Hmm, saya pun belum bisa memastikan. Karena itu, Ibu Lastri harus dibawa ke rumah sakit besar untuk general check up. Jadi, sekarang saya berikan rujukan untuk melanjutkan pemeriksaan. Ini harus segera, karena kasihan, sepertinya Bu Lastri lemah karena kekurangan darah," jelas sang Dokter seraya menyerahkan selembar kertas yang telah ditandatanganinya.
Setelah itu, dengan menggunakan angkot Rena pun segera membawa ibunya ke rumah sakit di tengah kota. Beruntung, kemarin Rena baru menerima gajinya sebagai buruh setrika di laundry tak jauh dari rumahnya.
Tak besar memang, bulan ini Rena hanya mendapat satu juta rupiah. Namun, itu biasanya cukup untuk biaya hidup selama sebulan. Ditambah dengan penghasilan ibunya berjualan kue keliling. Sekarang, uang itu harus rela dia gunakan untuk berobat ibunya.
Setelah tiba di UGD, Bu Lastri segera ditangani tim dokter. Selang infus sudah terpasang di lengan kirinya. Nafasnya terlihat lemah. Mukanya semakin pucat.
.
Hari ke dua di rumah sakit, uang pegangan Rena sudah hampir habis. Itu pun hanya digunakan untuk membeli obat-obatan. Rena bahkan belum tahu berapa biaya yang harus dibayarnya nanti.
"Keluarga Bu Lastri," panggil seseorang yang membuyarkan lamunan gadis cantik itu. Rena menoleh.
"Iya, Sus?"
"Mbak dipanggil ke ruangan dokter Ferdy, sekarang. Ada yang harus disampaikan sama Mbak," ujar suster itu.
"Oh, iya, baik suster. Saya akan ke sana sekarang," jawab Rena lalu keluar dari ruangan dimana ibunya dirawat, menuju ruangan dokter yang di gedung sebelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUJUAL KEGADISANKU DEMI IBU
RomanceMengisahkan seorang gadis yang terpaksa menjual kehormatannya demi kesembuhan sang ibu yang terkena kanker. Nasib berkata lain, bahwa sebenarna dokter yang membeli keperawanannya itu ternyata jatuh cinta padanya. Lika liku kehidupan mereka begitu...