Ibunya kini telah tiada. Rena menyadari jika uang tidak bisa membeli kesehatan, apalagi nyawa. Namun, walau begitu penyesalan sudah tiada guna. Pengorbanan yang sudah dia lakukan untuk kesembuhan ibunya, dia anggap sebagai bentuk bakti seorang anak.
Rena membayangkan jika seandainya dia tidak terburu-buru menjual diri, yang malah membuat ibunya kecewa di akhir hayatnya.
Bunyi ponsel menyadarkan lamunan Rena dari segala pikiran. Sebuah pesan masuk. 'Ah, Dokter itu lagi,' batin Rena. Walau malas, tapi rasa penasaran lebih mendominasi. Akhirnya Rena menekan tombol membuka pesan.
[Aku turut berduka cita atas meninggalnya ibumu. Sekali lagi, aku minta maaf untuk kegagalanku menyelamatkan wanita yang begitu berharga dalam hidupmu.]
Rena membuang napas kasar saat membacanya. Benarkah lelaki itu bersimpati atas kesedihannya? Lelaki yang telah memanfaatkan kelemahannya hanya untuk keuntungan pribadi.
[Terima kasih atas simpatimu. Jika boleh saya mau bertemu dengan Dokter. Sebentar saja.]
Rena membalas pesan itu, akhirnya.
Tidak ada balasan lagi dari Dokter Fredy, tapi justru sebuah panggilan masuk ke ponsel Rena. Walau ragu, gadis berparas ayu itu tetap mengangkatnya.
"Halo," ucapnya pelan. Tidak ada jawaban dari sebrang sana. Namun, terdengar hembusan napas seseorang. Rena pun menunggu orang yang meneleponnya untuk buka suara.
"Rena, aku tunggu di kafe depan rumah sakit tempat kita bertemu, dulu." Terdengar suara bariton yang begitu dikenal Rena, walaupun hanya beberapa kali bertemu.
Rena terdiam beberapa saat, menimbang, apakah dia berani datang ke sana lagi.
"Maaf, aku tidak mau ke sana lagi. Tempat itu mengingatkan aku akan harga diriku yang ...." Rena ragu mengatakannya. Dia membuang nafas kasar.
"Oke! Di mana pun kamu mau, aku akan ke sana selepas jam praktekku di rumah sakit. Hari ini aku kosong dari jam 4 sampai Magrib," jawab lelaki itu.
"Maaf, tapi aku tidak begitu tau tempat-tempat seperti itu," jawab Rena. Dokter Fredy tersenyum di sebrang sana. Wanita memang rumit, pikirnya.
"Ok, kau tau kafe XYZ di jalan Arimbi?" tanyanya kemudian. Rena memutar otaknya sejenak. Jalan Arimbi memang tak jauh dari rumahnya.
"Ok, aku tau. Aku akan di sana tepat waktu." Rena kemudian mematikan ponselnya. Memikirkan kembali, apakah benar yang akan dilakukannya nanti?
.
Selepas Asar Rena mematut diri di cermin. Menyisir rambutnya yang panjang sepunggung. Memakai sedikit bedak lalu memoleskan liptint tipis-tipis di bibirnya yang sudah berwarna merah dari sananya.
Namun, Rena kembali menghapusnya."Kenapa aku harus berdandan?" gumamnya lalu mengatupkan bibirnya. Segera dia hapus warna merah muda yang menghiasi bibir mungilnya. Tanpa riasan pun wajah Rena memang sudah cantik. Banyak teman lelakinya yang suka. Namun, Rena tak pernah peduli.
Dengan menumpangi angkot Rena menuju alamat yang disebutkan Dokter Fredy. Sebuah kafe kecil di pinggir kota, tak begitu ramai karena bukan akhir pekan.
Rena memilih sebuah meja yang berada di pojok ruangan. Seorang pelayan memberikan daftar menu, Rena pun memesan segelas es jeruk. Wajah cantiknya tampak gelisah. Beberapa kali dia menoleh pada jam dinding yang ada di kafe itu. Pukul 16.20. Dokter Fredy belum datang, mungkin masih terjebak macet di jalan.
Pelayan datang membawakan pesanan. Rena tersenyum, tak lupa mengucap terima kasih. Dia sesap minuman di depannya, sedikit memberikan rasa sejuk, walaupun hatinya berdebar gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUJUAL KEGADISANKU DEMI IBU
RomansaMengisahkan seorang gadis yang terpaksa menjual kehormatannya demi kesembuhan sang ibu yang terkena kanker. Nasib berkata lain, bahwa sebenarna dokter yang membeli keperawanannya itu ternyata jatuh cinta padanya. Lika liku kehidupan mereka begitu...