Baju Pengantin

1.1K 31 1
                                    

Rena menyisir rambut panjangnya sehabis mandi. Udara yang panas telah berganti segar setelah diguyur air. Rena tampak cantik walau hanya mengenakan baju sederhana. Matanya bulat besar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung mungil yang bangir dan kulit kuning langsat menambah keayuannya.

Sejenak Rena menatap dirinya di cermin. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Rasa pedih akan kehilangan, rasa sesal, rasa takut dan entah rasa apalagi.

Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, menyadarkan Rena dari lamunan. segera diangkatnya. 

"Hallo." Suara bariton itu begitu sering mengusiknya akhir-akhir ini. Walau malas dia terima juga. Takut jika ada hal penting yang akan disampaikan lelaki itu.

"Hallo?" Kembali suara itu terdengar lagi karena tak didapat jawaban.  Wajah Rena terlihat malas menjawab.

"Iya," jawab Rena singkat.

"Aku jemput hari ini jam 7, bersiaplah!" pinta lelaki itu.

"Untuk apa? Aku lagi malas bepergian." Rena menjawab dengan enggan.

Terdengar hembusan napas kasar dari sebrang sana.

"Aku ingin membelikanmu baju untuk pernikahan kita nanti," jawabnya tenang.

"Apa harus?" tanya Rena ketus.

"Baiklah kalau kamu tidak bersedia. Lupakanlah!" jawab Dokter Fredy berusaha tetap tenang. Rena tersentak. Entah mengapa ada rasa sesal menyelusup.

"Bukan begitu. Oke, tapi sebentar saja!" jawab Rena akhirnya.

.

Tepat jam 7, mobil Dokter Fredy sudah terparkir di depan gang. Rena segera menghampiri. Seperti biasa Dokter Fredy membukakannya pintu dan menutupnya setelah Rena duduk dengan nyaman.

Rena terdiam selama perjalanan. Tak ada percakapan di antara mereka. Gadis bermata lentik itu hanya melihat pemandangan sepanjang jalan dari kaca jendela. Dokter Fredy sesekali meliriknya.

"Kamu mau kuliah jurusan apa nanti?" tanya Dokter Fredy memecah keheningan.

"Eh?" Rena menoleh. Dokter Fredy menoleh sekilas lalu kembali fokus ke jalanan.

"Kamu minat di bidang apa? Kamu bisa konsultasikan dulu denganku," lanjut lelaki bertinggi badan 180 sentimeter itu. Rena menggeleng pelan.

"Atau mau aku pilihkan?" tanyanya lagi. Rena menoleh cepat.

"Kok maksa, sih? Kalau aku tidak mau gimana?" jawab Rena ketus.

"Lalu nanti kamu mau apa di rumah? Melayani aku seharian?" goda Dokter Fredy. Mata Rena membulat, mulutnya mencebik.

"Oke, aku mau ambil jurusan Akuntansi," jawab Rena cepat. Dokter Fredy manggut-manggut sambil terkekeh.

"Rena ... Rena .... Aku hanya becanda. Aku tidak mau kalau nanti kamu kesepian di rumah jika aku sedang praktek di rumah sakit."

"Memangnya di rumahmu tidak ada siapa-siapa? Istri? Anak?" tanya Rena menatap lelaki di sebelahnya. Dokter Fredy tertawa mendengar pertanyaan itu.

"Aku senang kamu  mulai mau bertanya," ucapnya seraya menoleh. Pandangan mereka bertemu. Rena melengos gugup.

"Aku tinggal di rumah sendirian, hanya adikku yang tinggal di kota ini, dia kadang datang, tapi jarang. Seorang pembantu setiap hari datang untuk membersihkan rumah, siang juga sudah pulang lagi."

"Aku pernah menikah, tapi sudah lama bercerai." Ucapannya terhenti. Dokter Fredy terlihat jengah. Menyisakan sebuah tanda tanya besar di benak Rena.

KUJUAL KEGADISANKU DEMI IBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang