Notes Terakhirnya

121 6 1
                                    

Pukul delapan pagi. Sepuluh menit lagi, bel jam pelajaran pertama akan berbunyi.

Hari ini adalah jadwal senior tahun kedua untuk masuk. Aku sengaja untuk datang ke sekolah hari ini. Sangat-sangat tidak seperti diriku. Tapi mau bagaimana lagi, aku terlalu penasaran bagaimana reaksi Kou senpai dengan balasanku kemarin.

Aku sudah berada di depan kelasku, kelas 1-4. Suara-suara yang tidak kukenal terdengar dari dalam kelas. Aku menyender pada jendela koridor, menatap ke dalam kelas.

Sontak aku menutup mulutku, berusaha menahan tawa. Lihatlah! Dengan tampang bodohnya, Kou senpai mengendus-endus notes balasanku. Setelahnya, dia mengangkat kepala, menaikkah sebelah alisnya. Kemudian dia kembali mengendus notes.

"Pft.."

Aku mengalihkan pandangan. Bisa gawat kalau tawaku lepas sekarang. Ah, bahaya. Badanku tetap saja berguncang akibat menahan tawa. Aku kembali menatap kelas.

Deg.

Aku tersentak. Mataku membelalak, sedikit.

Tatapan kami bertemu.

Badanku membeku. Aku terdiam, tetap menatapnya. Kou senpai juga terdiam, terus melihatku.

Tidak. Tidak. Ini bahaya. Aku harus segera pergi dari sini.

Sepuluh detik berlalu. Posisi kami tidak berubah. Jari-jariku bergerak panik. Aku mengedipkan mata beberapa kali, lalu menoleh dengan cepat.

Apa yang harus kulakukan?

Aku pura-pura melihat lapangan olahraga, walaupun tidak ada siapa-siapa disana. Otakku terus berputar, memikirkan jalan keluar. Ah, pura-pura panggilan telpon saja.

Aku mengangkat tangan kananku yang masih mengenggam ponsel, menaruhnya di telinga.

"Hei, Anjou-san. Ada apa menelponku tiba-tiba?" ucapku dengan suara sedikit dikencangkan. Kakiku melangkah canggung menjauhi kelas. Ekor mataku melihatnya. Dia masih saja melihat ke arahku, sampai aku sudah tidak di depan kelas 1-4 lagi.

___

"Gila.."

Aku meneguk air putih yang baru saja kubeli dari vending machine. Setelah kabur dari senpai, aku memutuskan untuk duduk di lorong penghubung antara gedung kelas satu dan senior tahun kedua.

Sumpah. Aku tidak menyangka senpai akan melihatku seperti itu. Apa dia sadar kalau aku adalah orang yang membalas notesnya?

Aku menggeleng cepat hingga rambutku berantakan. Tidak, tidak. Tidak mungkin dia mengetahuinya.

"Haah.." Aku bertopang dagu, melamun. Angin hangat berhembus.

Aku menutup mataku sambil tetap bertopang dagu, menikmati semilir angin. Mendengarkan suara daun-daunnya yang saling bergesekan di pohon. Nyamannya.

DING DONG!

"Astaga!" Aku tersentak. Mataku membelalak. Bel??

Aku melihat jam di ponsel. Sudah jam istirahat? Cepat sekali!

Tunggu. Kalau sudah jam istirahat begini, apa aku aman untuk tetap duduk disini? Bisa saja ada senior-senior yang melewati tempat ini. Kan aku malu.

Aku mengecek sekitar. Yah, tidak terlihat tanda-tanda akan muncul seseorang sih.

Aku kembali memejamkan mata. Semilir angin kembali berhembus. Gedung kelas satu mulai terdengar ramai.

Vending machine di sebelah kursi berbunyi. Terdengar sebuah kotak jatuh di dalamnya. Sepertinya ada yang datang, tapi aku tidak menyadarinya.

Kayaknya lebih baik aku pulang saja habis ini.

"..Tinta kuning?"

Angin berhembus untuk yang kesekian kalinya, memainkan beberapa helai rambutku. Masih dalam posisi bertopang dagu, aku membuka mata perlahan, menoleh.

Ya Tuhan.

Kou senpai di sini. Ya, dia di sini, masih dalam posisi mengambil kotak minuman di vending machine.

Mulutku terbuka kecil. Badanku kaku seketika. Kou senpai mengambil kotak minumnya. Dia terkekeh melihatku masih diam seperti patung dengan mulut terbuka. Perlahan, tangannya menjulur, mengetuk dahiku. "Hei, aku tahu itu kau. Tinta kuning."

Aku mengedipkan mata, lalu memegang dahiku.

Gila. Orangnya di depan mata. Harusnya aku pulang lebih cepat. Aku bahkan tidak berpikiran akan bertemu dengannya di sini. Padahal tadi di sini terlihat sepi.

"Bagaimana kau tahu?" ucapku pelan. Kou senpai menghentikan tangannya yang sedang menusukkan sedotan. Dia terdiam sesaat, lalu menyesap minumannya sedikit.

"Hei, kau sendiri yang memberi clue. Jangan meremehkan indra penciumanku," katanya sambil tertawa kecil.

Aku menutup wajahku dengan telapak tangan. Bisa kurasakan wajahku memerah. Wah. Waah. Aku sungguh tidak percaya. Kalau dipikir-pikir dia bisa menemukanku hanya dengan parfum itu sungguh luar biasa.

"Dan lagi," Kou senpai meneguk minumannya, bersender di vending machine sambil menatap ke arahku. "Kau hari ini dan minggu lalu datang ke depan kelas, kan?"

Aku mengangkat kepalaku, terperangah. "Wow, senpai sadar kalau minggu lalu aku datang?"

Kou senpai memainkan sedotannya, lalu menunjukku dengan kotak minumannya. "Hei kelas satu, tampilanmu itu mencolok. Tentu saja aku sadar. Untuk apa murid kelas satu datang ke sekolah di saat jadwalnya tahun kedua?"

Aku langsung menatap seragamku, lalu memukul dahi pelan. Aku baru ingat kalau warna pitaku berbeda. Tentu akan terlihat mencolok jika ada pita ungu di kalangan senior berpita biru. Ya ampun, malunya.

Aku melirik Kou senpai. Dia masih sibuk menyedot minumannya, sambil bersender di vending machine.

Senyumku melebar, lalu tawaku lepas. "Hahaha!" Aku bisa melihat senpai menatapku dengan heran. "Tidak, tidak," Aku melambaikan tangan di depan wajah. "Senpai hebat sekali bisa menemukanku. Padahal senpai baru membau parfum di notes tadi pagi."

"Sudah kubilang, jangan meremehkan indra penciumanku. Aku bisa tahu barang teman-temanku hanya dengan membaunya," jelasnya. Wajahnya terlihat bangga.

Kayak anjing. Tapi tidak mungkin aku bilang itu di hadapannya.

Aku bertepuk tangan pelan, sambil tetap tertawa. Aduh, wajahnya. Kenapa dia terlihat sangat bangga. Ekspresinya seperti mengatakan terus-puji-aku.

Tawaku memelan, dan akhirnya berhenti. Aku menghela napas, lalu mendongak, menatap langit biru yang cerah.

"Jadi,"

Aku menoleh perlahan.

"..Namamu?"

Aku mengulas senyum, lalu terkekeh. "Aiko. Bukan tinta kuning."


- tamat.

Notes Biru MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang