Epilog. Bukan akhir yang sesungguhnya, tetapi―
.
(A/N): ATTENTION! Part yang satu ini mengandung sedikit kontradiksi karena setelah membacanya, pembaca pasti akan beranggapan cerita ini serasa seperti menggantung dan masih ada lanjutannya. Tidak. Anggap ini bukan bagian dari cerita Painful Reality, ini hanya pintu menuju gambaran yang lebih luas tentang konflik yang ada di cerita ini. Tapi kejadian di epilog ini memang ada, dan menuntun ke alur yang terluas.
Ngomong-ngomong, epilog ini sudah ditulis setengahnya oleh Rein Ave sebelum ia melanjutkan bab 2 sampai seperempatnya (nyatanya, yang dilanjutkannya tidak sampai seperempat...). Saya hanya mengubahnya sedikit, seperti membagi-bagi paragraf.Nah, selamat menikmati epilognya.
.
***
.
Setahun kemudian.
"Anne!"
Suara tersebut membuyarkan kesunyian di ruang kelas itu. Gadis berambut oranye itu sedikit kaget mendengar namanya disebut. Ia segera mendongakkan kepalanya tanpa berdiri ataupun menutup buku di tangannya.
Seorang laki-laki berambut cokelat dan bermata hazel yang tampan berdiri di depan kelas seraya mengangkat sebelah tangannya dan tersenyum. Pada Canna. Canna tersenyum balik, gembira melihat kedatangan laki-laki ini.
"Hai, Matt! Pagi sekali kamu datang, ya."
Oh, tentu saja dia tidak bisa bersikap dingin di depan laki-laki ini―pacarnya, Matthew.
Matthew melangkah mendekati Canna. "Tentu saja. Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu, Anne-ku tersayang." Ia sedikit membungkuk, mencium kening Canna.
Wajah Canna merona merah, masih dengan senyum tersungging di bibirnya. Ia berdiri dari tempat duduknya dan memeluk Matthew. "Aku juga," bisiknya perlahan.
Matthew tersenyum dan balas memeluk erat gadisnya.
Momen-momen mesra itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba pintu kelas diketuk dan dibuka, disusul oleh suara bass seseorang.
"Permisi, maaf mengganggu," kata suara itu. "Adakah yang bernama Anne Canna Greyfort di sini? Atau, Matthew Johnson?"
Canna terkejut mendengar suara itu. Ia segera melepaskan pelukannya. Ia dan Matthew melihat ke arah mulut pintu. Seorang gadis bersurai hitam lurus dengan panjang sedang dan bermata biru mistik sedang berdiri di sana. Kulitnya putih pucat, ekspresinya datar, ia mengenakan kacamata persegi dan jaket hitam―well, hari ini memang dingin, karena hujan sejak pagi. Sesungguhnya ia cantik, tapi tidak ekspresif. Melihat iris biru mistik mencekam, tatapan dingin, dan kulit pucatnya, ia terkesan seperti―
―gadis psikopat.
"Ya, itu kami." sahut Matthew tanpa beranjak dari tempatnya. Hei, ada sedikit kekesalan dalam nada suaranya.
Gadis misterius itu tersenyum tipis dan melangkah masuk ke dalam kelas.
"Kak Johnson, bisakah kamu keluar sebentar? Tapi kusarankan tetap berada di dalam ruangan. Sebentar lagi akan ada hujan badai."
Sepertinya ia sedang mencoba bersikap ramah.
Canna menoleh ke arah Matthew. Matthew hanya menghela napas, tersenyum pada Canna, dan mengatakan bahwa ia akan berada di kelas sebelah. Canna hanya membalasnya dengan senyuman lemah.
Setelah Matthew keluar dan menutup pintu kelas, gadis berambut hitam yang asing tadi mendekati Canna. Masih dengan tersenyum penuh arti ambigu, ia mengulurkan tangannya pada Canna.
"Halo, kak Greyfort. Aku adik kelasmu, dari kelas 8E," katanya. "Maaf aku lancang, tapi ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Ini penting."
Canna bergeming. Menguarkan aura dingin.
Di samping mereka, jendela kaca memamerkan pemandangan luar. Hujan bertambah deras, butiran-butiran air makin memburami kaca.
"Matamu. Sedingin milikku." komentar si gadis berkacamata. "Kukira kamu sudah berubah, melihat fakta bahwa kamu meninggalkan dunia itu."
Mata biru Canna membola secara impuls. Tersadar, ia langsung mengambil sikap normal. Kewaspadaannya antara hendak bertambah dengan berkurang. Bagaimana anak ini tahu?
"Aku tidak paham apa maksudmu."
"Well? Seharusnya kamu tahu. Dengan fantasimu yang seperti itu, kurasa kamu pun pernah... berkunjung ke dunia fantasimu, Weiss Canna."
Seketika itu sang pemilik surai oranye terkesiap. Saling beradu tatapan tertajam dengan gadis di hadapannya.
"K-Kau... siapa? Dari mana kau tahu bahwa itu... aku?"
Gadis berambut hitam itu tersenyum tipis.
"Kurasa yang senasib memang berpikiran serupa. Nyatanya, kamu tidak memakai nama itu lagi, bukan? Kak Canna." Iris biru mistik gadis itu menajam, senyumnya menjadi transparan. "Kau sudah kembali ke realitas, bagaimanapun."
Kaki Canna spontan bergeser mundur sedikit. Keringat dingin mulai melintasi wajahnya.
Cahaya kilat terlihat di jendela. Suara menggelenggar menyusul beberapa detik kemudian.
Si gadis misterius mengambil dua langkah mendekati Canna. Wajahnya menjadi serius sepenuhnya.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan," Nada suaranya mendadak tenang. "Benar. Aku juga memiliki dunia imajiner."
Canna menunduk, mata tak melepaskan gadis di hadapannya. Keingintahuan menggerakkan bibirnya. Taraf suaranya serendah bisikan.
"Siapa... namamu?"
.
―pada akhirnya, di dunia nyata, seharusnya ia tak perlu lagi goyah.
***
.
(A/N lanjutan): Akhir yang sesungguhnya dari cerita Painful Reality bukan di sini. Akhir konfliknya di bab lalu, tapi itu konflik bagi Canna.
Bagi yang membaca cerita Rein Ave yang lainnya, pasti tahu siapa gadis berambut hitam itu.
Jawaban dari teka-teki di epilog ini bukan tidak akan terungkap; semua akan dijelaskan di ending cerita kolaborasi Rein Ave dan saya; Petal. Tetapi Petal adalah cerita yang panjang, sangat lama jika sampai semua ini terungkap.Bagi yang pusing dengan semua penjelasan di atas, saya beri kesimpulannya; CERITA PAINFUL REALITY SUDAH TAMAT SEPENUHNYA DAN TIDAK AKAN DILANJUTKAN. Epilog ini sebagai hint dari cerita pengarang yang lain saja.
Dan dengan ini, cerita Painful Reality...
Selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Painful Reality
FantasyKetika kau tersesat, putus asa, dan kau berharap fantasimu merupakan kenyataan, Ketika kau menyadari kejamnya dunia, membenci dunia nyata, dan mencoba melarikan diri, Ketika hatimu lemah di tengah badai salju takdir, kau merasa berdiri sendirian, da...